Waspada Ujaran Kebencian dan Isu SARA di Pilkada 2018

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

JAKARTA--Pemilukada 2018 diperkirakan bakal tercoreng oleh maraknya ujaran kebencian dan isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). 

Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Ilmu Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Adrianus Meliala.

“Dapat dipastikan akan meningkat,” kata Adrianus Meliala, kemarin.

Dikutip dari portal tempo.co, Kamis (28/12), ujaran kebencian dan pemanfaatan isu SARA dapat terjadi karena biasanya ada sebagian orang yang memanfaatkan ujaran kebencian dan isu SARA sebagai salah satu model kampanye hitam untuk menyerang lawan politiknya.

Dalam pemilihan umum, baik tingkat kepala daerah maupun Presiden, ujaran kebencian kerap dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing politik. 

“Banyak pihak yang terkagum-kagum pada khasiat ujaran macam ini dalam memojokkan lawan,” kata Adrianus. 

Mereka tidak peduli dampak negatif dari ujaran kebencian yang disebarnya terhadap publik. Publik menjadi terpecah dan rentan bermusuhan.

Persoalan lain, sambung Adrianus, penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian masih lambat. Hal itu menyebabkan pelaku penyebar ujaran kebencian tidak jera untuk mengulangi perbuatannya. 

“Bahkan, pelaku menganggap sepele perbuatannya karena merasa tidak melanggar hukum,” sambungnya.

Karena itu, ia meminta aparat penegak hukum mempertegas sanksi bagi para pelaku penyebar ujaran kebencian. 

“Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus melakukan penegakan hukum,” ucap Adrianus. 

Ketiga instansi tersebut mesti membuktikan sikap tegas itu dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan. 

“Ini jadi kode keras menjelang kampanye Pilkada. Sehingga, orang-orang akan berpikir untuk melakukan tindakan itu,” pungkas Adrianus.

Terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyebutkan,  isu SARA berpotensi menjadi salah satu bahan kampanye dalam Pemilukada nanti. Isu SARA yang sering kali digunakan dalam kontes politik lebih kepada mengasosiasikan sosok tertentu dengan fakta yang tidak sebenarnya, dan sejauh mana asosiasi itu dibuat. Tidak jarang hanya karena berbeda kepercayaan, seorang calon disebut sebagai orang yang tidak beragama.

Ray memprediksi penggunaan isu SARA bahkan berpotensi berlanjut hingga pemilihan legislator serta Presiden pada 2019 nanti. 

“Partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk mengantisipasinya,” ujar Ray Rangkuti. 

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini juga berkesimpulan yang sama. Menurutnya, politik sektarian dan politik identitas yang menggunakan isu SARA masih akan efektif dalam Pemilukada nanti. Ia berkaca pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang diwarnai politik sektarian dan politik identitas.

Ia khawatir strategi itu akan kembali diterapkan untuk Pilkada 2018 di daerah lain oleh sebagian partai politik. 

“Karena belum ada penyeimbang yang relatif sama atau mengemuka untuk mengatakan kepada publik bahwa apa yang terjadi kemarin (saat pilgub Jakarta) itu tidak benar,” jelas Titi Anggraini.

2018 mendatang, tercatat bakal ada 171 provinsi/kabupaten/kota yang bakal menggelar Pemilukada. Di Sulawesi Barat sendiri, akan ada 2 kabupaten yang bakal menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan itu; Polman dan Mamasa. (*/Naf)