Madrasah Keikhlasan Idul Adha

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/http://www.nu.or.id)

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Mantan Presiden India, A.P.J. Abdul Kalam pernah mengatakan: “Let us sacrifice our today so that our children can have a better tomorrow—mari kita korbankan hari ini agar anak-anak kita memiliki esok yang lebih baik.”

Berkorban tidak cukup sekedar mempersembahkan. Kurban harus berproses menujupendidikan dan pembangunan jiwa, kemudian memasuki visi besarnya “pembiasaan keikhlasan”. Adakah di antara kita yang pernah ikhlas? Atau barangkali belajar menjadi ikhlas? Jangan-jangan kita tidak pernah mencobanya sama sekali.

Idul Adha sebagai salah satu hari besar Islam berkaitan erat dengan pengembangan diri manusia. Bukan dalam arti uang yang dikeluarkan untuk membeli hewan kurban, melainkan kerelaan kita melepaskannya. Keunggulan tertinggi manusia—selain berakal—mampu bertindak bertentangan dengan keinginannya.

Siapa yang tidak enggan menjalankan puasa di panas terik yang menyengat? Siapa yang tidak berat mengeluarkan hartanya untuk berzakat? Hampir tidak ada. Semua manusia, dalam hatinya,merasa keberatan, tapi kenapa mereka masih melakukannya? Karena keimanannya.

Namun, keimanan masih jauh dari cukup. Seringkali manusia beramal untuk memperoleh sesuatu, bukan memberikan sesuatu. Ibadah mereka diperhitungkan seperti dagangan, harus ada untung rugi, paling tidak untuk citra mereka sendiri (riya’). Tuhan dijadikan mitra dagang. Sehingga sering keluar dari mulut manusia: “Kenapa aku yang rajin ibadah miskin sedangkan dia yang pemabok dan tak pernah shalat kaya raya?”

Manusia, selain mampu bertindak berlawanan dengan keinginannya, pun mampu bertindak sangat sesuai dengan keinginannya, bahkan cenderung berlebih, rakus. Mereka senang mengumpulkan kenikmatan duniawi, berkorupsi dan memanipulasi, demi pemuasan keinginannya yang berlebih. Ini lebih buruk dari binatang buas.

Seburuk-buruknya binatang buas, singa misalnya, mencari mangsa sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak lebih dari itu. Ketika kebutuhan itu telah terpenuhi, mereka akan berhenti. Apakah kita pernah mendengar singa yang menyimpan persediaan makanan? Tentu saja tidak. 

Berbeda dengan manusia, tanpa mengendalikan kerakusannya, tidak hanya menyimpan persediaan, tapi juga mencuri hak orang lain. Karena itu, agama diturunkan untuk manusia, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kompleksitas tinggi, dengan beragam watak yang saling berlawanan satu sama lain.

Idul Adha, hari dimana hewan kurban disembelih, adalah aktualisasi dari keawaman kita. Hewan yang dikurbankan bukan binatang buas. Dua binatang yang memiliki karakter berbeda. Alasannya—mungkin—, sebagian besar manusia adalah orang yang berada di tengah-tengah (tidak shalih, tidak pula jahat). 

Penjahat kelas kakap (binatang buas) jumlahnya tak banyak. Orang shalih pun sangat sedikit. Ini adalah perlambang agar kita mulai meningkatkan perspektif keikhlasan kita dalam memandang kehidupan.Agar kita mulai memproyeksikan diri kita untuk naik kelas bersama orang-orang shalih.

Ikhlas bukan hal mudah untuk diterangkan. Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri ketika ditanya tentang ikhlas meminta diberi waktu untuk bertanya kepada Jibril as. Ternyata Jibril pun sama, dia perlu menanyakannya terlebih dahulu kepada Allah. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman yang artinya:

“(Ikhlas) adalah rahasia diantara rahasiaKu yang Kutitipkan pada hati orang yang Kucintai dari kalangan hamba-hambaKu.”

Memahami gambaran di atas, ikhlas adalah upaya, bukan rasa yang diketahui pemiliknya. Ikhlas adalah tujuan, bukan tempat tinggal yang seenaknya dapat kita masuki. Ikhlas adalah proses, yang diperoleh seorang hamba dengan cinta Tuhannya. Meskipun cinta Tuhan itu misterius, ghaib dan tidak ada standarisasinya.

Hikmahnya, agar orang-orang yang ikhlas tidak tahu jika mereka sedang ikhlas. Perasaan ujub, takabbur, sum’ah dan riya' tidak akan muncul di hati orang yang tidak mengetahui keikhlasannya sendiri. Abu Bakar al-Daqaq berkata artinya artinya:

“Kekurangan setiap mukhlis dalam keikhlasannya adalah dia mengetahui keikhlasannya. Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasan seorang hamba, Dia akan melenyapkan pengetahuan keikhlasan hamba tersebut, maka jadilah dia orang yang diikhlaskan, bukan orang yang ikhlas.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, hlm 208-209)

Alangkah baiknya jika kita bisa belajar banyak dari seluruh prosesi Idul Adha ini. Kita yang lebih sering menjadi penerima daging kurban, harus membuka diri untuk memahami makna praktisnya. Ketika kita diberi sesuatu oleh seseorang, hal pertama yang kita lakukan adalah melihat pemberiannya, “Berharga atau tidak? Banyak atau sedikit? Dan seterusnya.” Sehingga kita lupa melihat pada orang yang memberi.

Dengan kata lain, rasa syukur yang kita miliki diukur oleh seberapa berhargakah pemberian yang kita dapatkan. Lalu, bagaimana dengan Sang Maha Pemberi, Allah SWT. Kenapa kita juga menggunakan standar yang sama dalam mengukur pemberianNya, meski jika dihitung satu persatu, tak mungkin kita mampu mensyukuri semuanya. Allah telah memberikan begitu banyak kepada kita, hingga mengantar seorang sufi berdoa yang artinya:

Oh Allah, sungguh Kau mengetahui ketidakmampuanku bersyukur sesuai dengan semua karuniaMu. Karena itu, ya Allah, (aku mohon) bersyukurlah pada DiriMu Sendiri untukku.” (Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi, Kitâb al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hlm 71).

Semoga Idul Adha ini bisa menjadi 'Madrasah Keikhlasan' untuk kita semua. Tempat belajar tiada akhir. Museum pembiasaan budi pekerti hingga akhir hayat. Wa Allahu a’lam. (*/Naf)

Penulis adalah warga NU dari Yogyakarta, alumni Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.