Amin dan Yulianti, Dua Perawat dengan Kisah yang Miris

MAMUJU--Aksi unjuk rasa para perawat di DPRD dan kantor Gubernur Sulawesi Barat sepertinya bakal membuahkan hasil. Baik DPRD maupun pemerintah provinsi Sulawesi Barat sama-sama punya komitmen untuk lebih memperhatikan nasib para perawat.
Setidaknya komitmen itu yang diungkapkan Ketua Komisi IV DPRD Sulawesi Barat, Abdul Rahim dan Pelaksana Tugas Gubernur Sulawesi Barat, Carlo Brix Tewu saat keduanya menerima tuntutan massa yang tergabung dalam Persatuan Peerawat Nasional Indonesia (PPNI), Kamis (16/03).
Secercah harapan yang muncul dari komitmen pemerintah di atas seolah tak lagi dirasakan oleh Muhammad Amin Indris dan Yulianti. Keduanya adalah perawat yang telah bertahun-tahun mewakafkan waktu, tenaga dan fikirannya sebagai seorang perawat honorer di Polewali Mandar.
Tentang impian untuk menjadi seorang PNS sebenarnya telah lama ia idam-idamkan. Mengingat waktu pengabdian yang telah terhitung lama, ditambah usia yang tak lagi muda. Sayang mimpi untuk menjadi seorang birokrat itu tak kunjung terwujud.
"Saya sejak 13 Maret 2005 sudah mengabdi menjadi perawat. Umur saya sekarag 47 Tahun. Upah yang saya terima tidak menentu," tutur Amin kepada WACANA.info, Kamis (16/03).
Ditemui di sela-sela aksi unjuk rasa, Muhammad Amin menyebut, besaran upah yang ia terima selama menjadi perawat tak pernah menentu. Semuanya tergantung jumlah pasien yang ia rawat. Antara Rp. 300 Ribu sampai Rp. 500 Ribu.
"Dan tidak menentu, kapan kita terima. Apalagi ketentuan dalam pemberian upah tidak diketahui. Tidak tahu bagaimana penghitungannya. Biasa hanya disuruh tanda tangan saja baru dikasiki uang," sambungnya.
Sementara itu, Yulianti, perawat yang bekerja di PKM Matakali sejak 2006, silam juga mengungkapkan, upah yang ia peroleh sangat kecil. Bahkan tidak cukup untuk menutupi ongkos pergi pulang dari rumah ke tempat ia mengabdi.
"Saya per bulan digaji Rp. 50 Ribu Dek. Itu biasa diterima pertiga bulan biasa sampai enam bulan. Untuk ongkos pete-pete saja tidak cukup. Jadi biasanya saya menjual kripik pisang untuk menutupi ongkos," tutur Yulianti.
Yulianti menyebut, upah itu sudah termasuk biaya ketika ia terpaksan harus lembur. Dikatakannya, upah tersebut sangat rendah dan tidak seimbang dengan beban kerja sebagai perawat.
Padahal, kata dia, resiko sebagai perawat sangatlah besar sebab menyangkut nyawa manusia.
"Kami juga rentang tertular penyakit Dek. Hampir setiap hari kami selalu melayani pasien dengan beragam penyakit," keluh Yulianti.
Muhammad Amin dan Yulianti adalah dua kisah kelam seorang perawat di Sulawesi Barat. Keduanya sejak lama ingin meninggalkan profesi tersebut. Tapi api harapan untuk dianggkat menjadi seorang PNS terus masih menyala di benak keduanya. Selain kecintaan terhadapn profesi mulia tersebut.
"Kami mau keluar, sudah di dalami namata di K2 (Kategori 2). Jadi pasrah saja meki. Tapi mudah-mudahan perjuangan kami tidak sia-sia," pungkas Yulianti. (Keto/A)