Mendorong Pemuda untuk (Kembali) Bertani

POLMAN--Banyak anggapan yang menyebut menjadi seorang petani adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan. Tak mampu menopang masa depan.
Bermandikan lumpur, bekerja di bawah terik matahari, hasilnya pun tidak menjamin mampu memenuhi kebutuhan ekonomi.
Anggapan seperti itu bikin generasi muda dewasa ini sama sekali tak melirik bertani sebagai sebuah aktivitas yang menjanjikan. Realitas itu mendasari FPPI, LIAR dan SPRI mengadakan pendidikan pertanian alami khusus bagi generasi muda. Bertempat di desa Suruang kecamatan Campalagian, Polman, pendidikan pertanian bagi pemuda digelar selama 3 hari, dari 13 sampai 15 Maret.
"Kami berharap pemuda yang ikut di pendidikan ini bisa kembali bergairah untuk bertani. Kalau pemuda sudah tidak mau bertani, dunia pertanian yang menghidupi manusia akan musnah, itu tanda kemusnahan ummat manusia," ungkap Koordinator SPRI simpul Sulawesi Barat, Nurdin Cacculu, Rabu (15/03).
Memilih pertanian alami sebagai materi dalam pendidikan kali ini menurut Cacculu merupakan merupakan jawaban atas pertanyaan akan besarnya beban produksi yang selama ini mencekik petani. Pupuk dan pestisida yang selama ini banyak menyedot biaya produksi bagi petani, kata Cacculu, bisa diatasi dengan bertani alami.
"Ini kan biaya murah. Bahan pembuatan nutrisi dan pestisida bagi tanaman mudah didapat karena sudah tersedia di alam," jelasnya.
Selain pembuatan nutrisi dan pestisida alami, pendidikan ini menitikberatkan pemahaman bagi peserta tentang budaya tani yang selama ini ditinggalkan. Padahal, menurut Cacculu, pengetahuan lokal petani merupakan cara petani terdahulu dalam merawat keseimbangan alam.
Mejadikan petani bisa terus bertahan hidup sebagai petani, secara bersamaan mereka bisa mengkaji segala hal yang selama ini menghambat petani dalam mengembangkan model pertaniannya.
Juga didaulat sebagai pemateri pada kegiatan tersebut, Muhammad Abid, menuturkan, banyaknya lahan pertanian yang beralih fingsi menjadi lahan industri perumahan menjadi salah satu faktor yang mengancam dunia pertanian.
Hal itu diperparah oleh hadirnya ilmu pengetahuan yang hanya melihat pengetahuan lokal warisan nenek moyang petani sebagai pemahaman yang sudah harus ditinggalkan.
"Hari ini kita diperhadapkan pada persoalan kehadiran ilmu pengetahuan yang tidak menjawab persoalan kaum tani, tapi justru menjustifikasi bahwa pengetahuan kaum tani tempo dulu sudah tidak relevan lagi dengan pertanian modern hari ini," tutur Muhammad Abid.
Menurutnya, salah satu indikator kehancuran dunia pertanian ialah ketika tanah sudah tidak dianggap sakral lagi. Tanah dipandang hanya sebuah benda mati yang tidak berarti. Abid menjelaskan, generasi muda harus kembali hadir di tengah penghancuran dunia pertanian. (Keto/A)