Catatan Pinggir dari Batu Losa Tapandulu

Oleh: Syarifuddin Mandegar
(Pemerhati Sosial)
Tepat pukul 15.00, hari senin 26 Desember 2016, kami anak-anak muda komunitas Jalan-Jalan Ner, beranjak meninggalkan kota Mamuju menuju sebuah kampung yang berbatasan dengan Desa sumare. Kampung itu bernama Batu Losa Tapandulu. Yakni sebuah kampung yang sering dikeramatkan oleh sebagian orang. Konon kabarnya, Batu Losa itu menyimpan segudang cerita mistis, itulah yang membuat kami makin penasaran ingin mengetahui lebih jelas tentang kampung itu. sebuah kampung yang tidak hanya santer dengan cerita mistis, namun sebuah kampung yang menyajikan pamandangan alam yang begitu indah. Alam yang hijau, lautan yang membentang luas, siapa yang tak terkesima menyaksikan karunia Ilahi nan indah itu.
Kendatipun bermodalkan alat champing seadanya kami pun memacu kendaraan roda dua, Menyusuri pesisir pantai yang riuh deburan ombak seolah menghilangkan penat akibat jalan yang kami lalui, bebatuan nan terjal..sesekali kami menghela napas panjang pertanda rasa syukur kami menyaksikan akan indahnya ciptaan Allah. Sungguh suatu perjalanan yang menyenangkan hingga Tak terasa kami telah menempuh perjalanan selama 1 (satu) jam..kami pun berhenti sejenak disebuah dusun bernama Melauwa. seketika itu pula, aku terkisama melihat Orang-orang sekitar memandangi kami dengan tatapan yang polos dan menyapa kami dengan lontaran senyuman. Raut wajah yang tak terbiasa dengan penampilan kami adalah isyarat bahwa mereka adalah orang-orang desa yang bersahaja. Senyuman dan tatapannya yang terpancar dari wajah mereka yang polos, membuatku tertegun kagum, seolah senang atas kehadiran kami. Tanpa saling menyapa antara kami dengan mereka, kami pun kembali memacu sepeda motor kami melanjutkan perjalanan.
Disepanjang jalan, aku dan seorang teman berbincang-bincang tentang potret jalanan yang kami lalui begitu memperihatinkan, tanggaul-tanggul yang dulunya kokoh menghalau kerasnya hantaman ombak, kini hanya tinggal puing-puing. Hingga kerasnya ombak secara perlahan mengikis badan jalan. Melihat kondisi jalanan yang rusak itu, temanku pun bertanya, kenapa Pemerintah Kabupaten dan Provinsi tidak memperhatikan jalanan mereka..? bukankah dengan akses jalan yang bagus, memudahkan masyarakat setempat yang rata-rata menggantungkan hidupnya dilaut dan di perkebunan dapat meningkatkan pendapatan mereka..?.
Coba bayangkan, setiap hari masyarakat melalui jalanan seperti ini dengan kendaraan roda dua justru hasil laut dan kebun yang mereka jual yang tidak seberapa menguntungkan, dimana sebagian dari keuntungan itu, mereka pakai untuk memperbaiki motornya yang rusak akibat kondisi jalanan yang tidak mendukung. Cetus temanku yang sangat perhatian dengan kondisi itu. lalu saya pun menimpalnya dengan nada bercanda, sekiranya kamu yang jadi Bupati atau Gubernur mungkin jalanan ini sangat indah. Inilah potret betapa kehidupan masyarakat desa dengan akses jalan yang kurang mendukung. Suatu saat ketika tidak dibenahi, akses jalan yang menghubungkan antar kampung akan lebih parah dari apa yang kita saksikan. Tapi sudadahlah, mari kita menikmati perjalanan yang cukup menantang ini.
Tanpa banyak bicara, mata saya pun tertuju pada jalanan yang cukup mendaki. Lalu saya bertanya apakah jalanan ini yang disebut Batu Losa..? temanku menjawabnya, iya inilah Batu Losa. Dulu kata dia, jalanan ini adalah batu besar yang berlubang sehingga disebut Batu Losa. Dimana Losa itu sendiri adalah Lubang. Jadi Batu Losa adalah batu yang berlubang, lubang itulah yang dilalui oleh masyarakat kecamatan Simboro hingga sampai ke Tappalang Barat. Tapi Lubang Batu itu tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Namun atas dukungan pemerintah yang menghancurkan batu itu dengan bom, akhirnya batu yang dulu terkenal sakral itu akhirnya kini tinggal kenangan. Yang tampak hanyalah jalanan mendaki dan Batu Losa kini tinggal kenangan.
Pemerhati budaya boleh saja berdalih, bahwa pemerintah telah menghilangkan otentitas Batu Losa, namun perlu disadari, semua ini demi kepentingan masyarakat. Mempertahankan Otentitas Batu Losa tidak berarti menyelesaikan persolan dimasyarakat. Tentu saja, akses jalan yang memadai akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosialnya.
Sejenak meninggalkan otentitas histroi Batu Losa. Waktu sudah diambang senja, Izinkan kami melanjutkan perjalanan mencari titik starategis disepanjang bibir pantai untuk mendirikan tenda-tenda kami untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan kurang selama 2 (dua) jam.
Semalam Bersama Kepala Desa
sembari menunggu malam datang menjemput senja, kami pun bergegas mendirikan tenda, menyiapkan alat champing seadanya serta mengumpulkan ranting-ranting kayu. Tepat pukul 18, matahari terbenan bersama senja di upuk barat, hari pun mulai gelap pertanda malam tiba. Kini giliran api unggun menyibak dinginnya malam, tak ketinggalan deburan ombak bersahutan, berdengang ria disela-sela batu karang.
Malam pun semakin larut, hingga tepat pukul 21.30 kami kedatangan pemuka desa yang tidak lain adalah Kepala Desa. Kami bergegas menyiapkan alat rekaman untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Kepala Desa seputar batu losa dan aktivitas sosial masyarkat Desa Mepaang.
dalam wawancara itu, Kepala Desa menyampaikan seputa. kisah mistis tentang Batu Losa. Tanpa ada rasa mencekam diwajahnya, beliau (pak Desa) menuturkan bahwa dulunya Batu Losa memang terkenal angker. Bebarapa cerita orang-orang tua kita dulu, ketika mereka turun ke laut, dan pada saat mata mereka tertuju ke Batu Losa, tiba-tiba area sekitar Batu Losa itu kelihatan seperti Kota yang cukup ramai. Begitu orang-orang Tua mendekati Batu itu, sungguh suatu keanehan ternyata apa yang barusan mereka saksikan tidaklah demikian. Imbuh pak Desa.
Menurut cerita Pak Desa, Waktu terdengar rencana pengeboman Batu Losa oleh aparat TNI, para tokoh masyarakat dikampung itu meminta kepada aparat TNI, syaratnya harus menyembelih seekor kambing sebagai persembahan atas sakralitas Batu Losa. Tanpa banyak basa-basi aparat TNI pun menyepakati syarat itu. dan tidak hanya kambing, seorang kakek saat melintasi Batu Losa itu, jadi korban pas ditengah Batu itu. cetus Pak Desa. Mendengar kisah itu, saya bergumam dalam hati apakah kematian kakek itu adalah tumbal atas di bomnya batu itu...? entahlah aku pun tak tahu.
Selain itu, masyarakat Batu Losa pada umumnya sehari-harinya adalah bercocok tanam diladang dan sebagian berprofesi sebagai nelayan. Kampung yang masih jauh dari akses pasar itu, sehingga membuat mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh menuju Desa seberang untuk memasarkan hasil dagangan mereka ditambah jalanan yang licin saat musim penghujan tiba. Namun kondisi itu tak membuat semangat mereka surut demi mewujudkan masa depan keluarga mereka.
Tidak hanya itu menurut Pak Desa, fasilitas pendidikan yang tidak ada sehingga membuat anak-anak mereka juga harus menempuh perjalanan ke Desa Sumare sepanjang 5 (lima) kilo meter untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Bahkan mereka kadang tidak masuk sekolah saat hujan, lagi-lagi karena jalanan yang tidak mendukung.
Sekelumit catatan pinggir ini, memberikan gambaran, betapa kondisi masyarakat Batu Losa butuh perhatian yang serius, tidak hanya pemerintah Desa dan Kecamatan, juga pemerintah Kabupaten Mamuju. Bahwa masyarakat yang mendiami wilayah tersebut hanya sekitar 20 kepala keluarga, bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan yang paling penting adalah akses jalan yang layak. Sakralitas Batu Losa tidak hanya menyimpan segudang cerita mistis, namun dibalik itu, Batu Losa juga menyimpan energi wisata bahari yang memikat hati bagi siapapun yang berkunjung kesana.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah membawa kami Komunitas Jalan-Jalan Ner ke Batu Losa hingga kami mempu menyaksikan karunia-Mu yang Indah ini. Semoga dengan Hidayah-Mu menggugah nurani mereka yang Engkau serahi amanah sebagai pemimpin untuk mau mengulurkan tangannya membantu kesulitan saudara-saudara kami di Batu Losa.
Wassalam...