Narasi Politik dalam Film Our Brand Is Crisis
Oleh: M. Fitrah Wardiman
Ada banyak sindiran tentang politik. Baik berupa tulisan maupun visual. Salah satunya adalah film berjudul Our Brand Is Crisis. Film ini menarik, sebab menyuguhkan cerita tentang bagaimana politik pemasaran itu bekerja dengan cara yang paling dangkal. Menghilangkan nalar sehat dan mengoyak kohesi sosial. Yang paling mendasar.
Sinema ini diadaptasi dari kisah nyata tentang sepak terjang seorang konsultan politik bernama Jane Bodine yang diperankan oleh aktor kenamaan Sandra Bullock. Ia dikenal sebagai sosok yang diundangus, arogan dan machiavellian.
Berkat kemampuannya itu, ia mendukung untuk memenangkan Castillo dalam perhelatan politik Afrika Selatan. Berlangganan cerita tegang yang terjadi di Afrika Selatan kala itu, Bodine yang menjadi konsultan politik Castillo dalam cerita, membahas skenario keributan di tengah masyarakat lewat penyebaran fitnah dan berita palsu.
Lalu, memunculkan gambar kandidat yang dianggap bisa mengatasi krisis buatannya sendiri. Yang menyebalkan, Bodine mencitrakan Castillo sebagai sosok yang peduli sebetulnya penuh skandal.
Cuplikan layar ini juga menyiratkan pesan tentang tampilan karismatik yang dapat memperbaiki skandal dan kebodohan di hadapan publik. Kata Ibarat. Jika Tristan Harris, ahli desain etika Google, berhasil membuat orang hanya melihat pentingnya mesin pencari google, maka Jane Bodine sukses membuat yang busuk tampak indah. Begitu lah pemasaran politik bekerja,
"Tidak perlu itu baik atau buruk, saya butuh!", Katanya dalam salah satu adegan.
Mudah untuk dicerna, Merek Kami Adalah Krisis Ini Menjadi Hubungan Pemasaran Yang Dihidupkan Dalam Konteks Elektoral Politik. Yakni menyedot perhatian masyarakat sekaligus mendongkel popularitas lawan lewat penyebaran krisis.
Bisa krisis ekonomi, krisis pelayanan sosial, atau krisis kesejahteraan. Layaknya marketing yang tak bisa lepas dari transaksi. Maka elok untuk mengatakan 'saya promosi Anda beli'.
Ada narasi yang paling bandel yang sengaja ditempatkan pada akhir cerita. Usai menjuarai pemilihan, Bodine menyatakan berujar, "Jika pemungutan suara mengubah apa pun, mereka akan menjadikannya ilegal. Itu dimulai dengan janji besar dan berakhir dengan omong kosong," Terjemahan bebasnya, " memulai kampanye politik dengan meluncurkan fiksi besar" . Sontoloyo!
Memutuskan dari cerita itu. Jika dilihat dalam kontestasi politik yang akan berlangsung di Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu pada 2020 mendatang, maka kita pasti sependapat di sini juga banyak politisi produk pencitraan (baca; pemasaran).
Maksudnya, tidak muncul karena kemampuan intelegensia. Tidak perlu membatasi golongan mana saja yang termasuk kategori ini. Seringkali tak kasat mata. Namun itu ada. Meski begitu, di sini lah seruan tersirat narasi politiknya. Terkait politik ideal tidak dibangun dalam sistem pemasaran atau pencitraan yang melepaskan kamuflase dan meninggalkan jejak trauma di ruang batin.
Pada tahap ini, masyarakat harus melihat gambar persetujuan agar tidak jatuh lagi dalam kubangan depresi lima tahunan. Tidak ada yang salahnya mendewasakan demokrasi tanpa perlu disetujui kemudian berakhir dengan fiksi.
Kedengarannya mengerikan memang. Lagipula, jangan pernah berpikir kalau broker politik yang canggih macam Jane Bodine akan santun di hadapan Anda dan berkata; lebih baik kehilangan pemilih kehilangan demokrasi. Itu membahas. (*)