Pesta Nelayan; Ritus Sederhana, Cara Warga Mengetuk Restu Tuhan
Oleh: Rusman 'Uchok' Rusli (Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat)
MAMUJU--Embun masih menempel di dedaunan tatkala sang fajar perlahan mendaki ufuk timur. Di tepi Sungai Lembang, Kabupaten Mamuju, warna-warni bendera dan perahu hias tampak meriah.
Deretan kapal nelayan berderet rapi di tepi sungai. Mengayun pelan ikuti arus air. Minggu 5 Oktober 2025, masyarakat pesisir berkumpul dalam satu perayaan besar yang sarat makna; pesta nelayan.
Jam analog yang melingkar di pergelangan tangan saya menunjukkan jam 9 pagi. Suasana berubah menjadi khidmat tatkala lantunan barzanji menggema dari pengeras suara. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat jelas para pemuka agama yang duduk bersila di atas panggung sederhana hasil gotong royong warga melantunkan doa-doa, pujian-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW.
Di sekeliling mereka, hadir sejumlah tokoh masyarakat, serta ratusan warga lokal maupun pendatang. Gema selawat tersuar susul menyusul, berpadu dengan desir angin laut serta gemericik air sungai. Harmoni spiritual yang menggetarkan hati.
“Ini bukan sekadar pesta, ini adalah doa kami bersama,” tutur Sule', salah satu tokoh nelayan yang turut meramaikan acara.
“Kami ingin laut tetap menjadi sumber kehidupan yang membawa berkah, bukan bencana," ia menambahkan.
(Foto/Rusman Rusli)
Asap dupa membumbung dari geladak kapal. Diiringi bacaan doa dan harapan agar setiap pelayaran selalu berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Aromanya yang berpadu dengan wangi khas pesisir meninggalkan impresi yang kuta di benak saya.
Di tengah kemeriahan, saya sempat berbincang dengan Sudirman, salah satu pemilik kapal yang perahunya ikut berlabuh hari itu. Wajahnya legam terbakar matahari, meski senyumnya teras hangat dan tulus.
“Saya bersyukur sekali,” ujarnya pelan, menatap perahunya yang dihiasi janur dan bendera kecil. “Tahun ini tangkapan kami cukup baik. Mungkin ini karena doa kami yang tak pernah putus. Laut memberi rezeki, tapi semua datangnya dari Tuhan. Kalau bukan karena kemurahan-Nya, kami bukan siapa-siapa," ungkapnya.
Kalimat sederhana itu terlontar begitu jujur. Menggambarkan rasa syukur dari seorang nelayan yang hidup berdampingan dengan ketidakpastian laut.
Setelah doa bersama, masyarakat berbondong-bondong menuju area makan bersama. Di atas tikar panjang yang digelar di tepi sungai, tersaji aneka makanan tradisional. Dari jepa yang renyah, legitnya onde-onde, manisnya cucur, serta berbagai hidangan hasil laut digelar di sana.
Tak ada sekat antara tua, muda, maupun anak-anak. Semua duduk bersama, berbagi cerita, tawa, serta rasa syukur.
“Acara ini sederhana, tapi penuh makna,” beber Nurlaela, warga setempat yang sibuk membagikan kue. “Kami percaya, kebersamaan seperti inilah yang membuat hidup kami tenang. Selama laut masih ada, selama doa masih terucap, rezeki akan selalu datang," begitu yang Nurlaela yakini.
Bagi masyarakat Sungai Lembang, pesta nelayan bukan sekadar hiburan tahunan. Ia jadi kearifan lokal, wujud rasa syukur serta harapan yang tetap membuncah. Ritus pengikat manusia dengan alam dan Sang Pencipta.
Dengan perayaan ini, mereka meneguhkan iman dan kebersamaan. Dua hal yang menjadi kekuatan sejati di tengah gelombang kehidupan.
Jelang waktu zuhur, langit kian menajamkan cahanya, seperti memberi restu pada hajatan dari para nelayan. Cahaya matahari memantul di permukaan sungai, bergoyang di sela-sela berderet perahu yang berlabuh.
Selawat masih mengalun. Berpadu dengan bisikan angin laut. Di Sungai Lembang, iman dan laut menyatu. Menghadirkan kisah syukur yang abadi, lahir dari hati masyarakat yang sederhana namun penuh cinta pada Tuhan dan tanah kelahirannya. (*/Naf)









