OPINI

80 Tahun Indonesia merdeka; Tantangan Sosiologis menghadapi kompleksitas Bangsa

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Oleh: Anwar Sadat (Sekretaris ICMI Sulawesi Barat)

Tahun 2025 jadi momen bersejarah bagi Indonesia merayakan 80 tahun merdeka. Setelah delapan puluh tahun berlalu, kita menyaksikan sebuah negara yang telah mengalami transformasi yang signifikan. Dari awalnya sebagai negara pertanian, kini Indonesia telah bertransformasi menjadi salah satu wilayah perekonomian terbesar di Asia Tenggara, dengan populasi yang terus meningkat dan interaksi sosial yang semakin rumit. 

Namun, di balik kisah sukses ini, terdapat beragam isu sosiologis yang tetap ada dan memerlukan perhatian yang mendalam. Merayakan 80 tahun kemerdekaan juga berarti melakukan refleksi tentang pencapaian kita serta menganalisis hal-hal yang masih tertinggal.

Salah satu masalah yang paling terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Walaupun Produk Domestik Bruto (PDB) per individu mengalami peningkatan, distribusi kekayaan tetap tidak seimbang. Penumpukan kekayaan di tangan sekelompok kecil elit, baik di dalam kota maupun di luar kota, menimbulkan ketidakstabilan sosial.
 
Kesenjangan ini tidak hanya terlihat dari pendapatan, tetapi juga dalam hal akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur. Anak-anak di daerah perkotaan besar mungkin menikmati berbagai teknologi dan pendidikan yang unggul, sedangkan mereka yang tinggal di daerah terpencil masih berjuang untuk mendapatkan pendidikan dasar yang memadai. 

Hal ini menciptakan siklus kemiskinan dan ketimpangan yang sukar untuk diputuskan, mengancam persatuan sosial dan menimbulkan perasaan ketidakadilan.

Proses urbanisasi yang besar telah mengubah struktur sosial di Indonesia. Banyak individu berpindah dari desa ke kota demi mencari kehidupan yang lebih layak. Perpindahan ini tidak hanya memberikan tekanan pada infrastruktur perkotaan tetapi juga memunculkan perubahan nilai yang signifikan. 

Rasa kebersamaan (gotong royong) yang kuat di daerah pedesaan sering kali berkurang, tergantikan oleh sikap individualisme yang lebih praktis di lingkungan perkotaan. Munculnya beragam subkultur, cara konsumsi, serta gaya hidup baru menciptakan ketegangan antara generasi dan antar kelompok sosial. Jika tidak dikelola dengan baik, fenomena ini dapat membahayakan identitas budaya serta nilai-nilai mulia bangsa.

Tantangan lain yang dihadapi adalah perpecahan dalam sosial dan politik. Meski kemerdekaan memperkenalkan demokrasi, dinamika politik sering kali mengakibatkan ketegangan di masyarakat. Perbedaan dalam sudut pandang politik, ideologi, bahkan identitas primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan, semakin jelas terlihat. 

Media sosial, dengan algoritmanya yang bias, memperburuk situasi ini, menciptakan 'gelembung filter' di mana individu hanya menerima informasi yang selaras dengan pandangan mereka. Hal ini menyulitkan upaya mencapai kesepakatan dan diskusi yang produktif, serta dapat memicu konflik horizontal yang mengancam stabilitas sosial.

Sebagai sebuah bangsa yang dibangun di atas prinsip Bhineka Tunggal Ika, keberagaman merupakan kekuatan utama kita. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan peningkatan intoleransi dan fundamentalisme yang menantang persatuan kita. 

Narasi yang menyebarkan kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, baik berdasarkan agama, etnis, maupun orientasi, semakin merajalela. Pendidikan yang mengedepankan multikulturalisme dan dialog antaragama menjadi sangat penting untuk memelihara persatuan nasional. Ketidakmampuan dalam merawat keberagaman ini dapat mengganggu fondasi kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa. 

Menghadapi berbagai tantangan ini, diperlukan kolaborasi bersama. Pemerintah harus memperkuat kebijakan yang adil dan merata, khususnya dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Peran masyarakat sipil sangat krusial dalam mendorong toleransi dan dialog. Pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal, seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, keragaman, dan empati sejak usia dini.

Delapan puluh tahun merdeka adalah momen yang tepat untuk merenungkan perjalanan bangsa. Ini bukan sekadar merayakan pencapaian, melainkan juga mengenali dan menangani tantangan yang masih ada. 

Masa depan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan kita untuk menutup kesenjangan, merawat keberagaman, dan menguatkan kembali keterikatan sosial yang solid. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan tidak hanya menjadi bagian sejarah, tetapi juga sebuah janji untuk masa depan yang adil, makmur, dan bersatu. (*)

Wallahu ‘alam 
Gowa-Makassar, 23 Agustus 2025