Public Speaking Dakwah: Membaca Ruang, Menakar Kata

Oleh: Nur Salim Ismail (Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga)
Dalam masyarakat modern yang serba cepat, seni berbicara di depan publik menjadi keterampilan penting bagi siapa pun. Bagi seorang da’i, kemampuan ini bahkan lebih krusial, karena dakwah bukan sekadar aktivitas menyampaikan pesan. Melainkan juga menjaga amanah kebenaran. Namun sering kali kita menyederhanakan dakwah seolah cukup dengan fasih berbicara, pandai beretorika, dan mampu mengundang tepuk tangan.
Padahal, dakwah tidak cukup hanya pandai bicara. Public speaking dalam dakwah bukan pertunjukan. Ia adalah seni menghubungkan pesan langit dengan realitas bumi. Kefasihan lisan hanya akan bermakna bila dibarengi kepekaan terhadap medan dakwah dan karakter audiens.
Setiap ruang memiliki dinamika. Masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota. Komunitas homogen berbeda dengan komunitas majemuk. Lingkungan pesantren memiliki nuansa yang berbeda dari ruang-ruang industri modern. Itu berarti tidak ada pendekatan dakwah yang sepenuhnya universal.
Seorang pendakwah dituntut untuk membaca situasi: kapan harus berbicara dengan tenang, kapan perlu menyalakan semangat, dan kapan justru lebih baik menahan diri. Sebuah nasihat lembut mungkin menyejukkan dalam pengajian kaum ibu, tapi bisa dianggap tidak relevan dalam forum mahasiswa urban. Sebaliknya, retorika yang menggelegar mungkin membakar semangat sebagian audiens, tetapi berpotensi melukai masyarakat yang baru saja mengalami trauma sosial.
Dalam dakwah, konteks sering kali lebih menentukan daripada isi. Satu kata bisa menjadi rahmat, bisa pula menjadi bencana, tergantung siapa yang mendengar dan di mana ia disampaikan.
Medan Sosial Dakwah
Dakwah selalu hadir dalam medan sosial tertentu. Karena itu, seorang da’i perlu memiliki kecakapan membaca bukan hanya geografi, tetapi juga sosiologi dan psikologi audiens. Apakah ini masyarakat yang sedang mengalami tekanan ekonomi? Apakah mereka lebih rasional atau emosional? Apakah audiens lebih dekat dengan nilai-nilai tradisional atau sudah terbuka dengan gagasan kontemporer?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu penting, sebab audiens bukan massa anonim. Mereka manusia dengan latar, luka, harapan, dan kerinduan spiritual yang berbeda-beda.
Dalam bahasa ilmu komunikasi modern, ini disebut segmentasi audiens. Dakwah kepada anak muda jelas membutuhkan bahasa yang berbeda dengan dakwah kepada orang tua. Masyarakat perkotaan yang literat digital tidak bisa didekati dengan metode yang sama seperti komunitas yang belum akrab dengan teknologi. Bahkan dalam satu masjid pun audiens bisa sangat beragam—dari akademisi, pedagang, hingga buruh harian. Semua itu menuntut kecerdasan sosial, bukan sekadar ketajaman logika.
Seni public speaking dalam dakwah tidak berhenti pada kemampuan menghindari gugup. Ia juga mencakup kepekaan dalam memilih diksi, mengatur jeda, memanfaatkan intonasi, hingga membaca ekspresi wajah audiens.
Da’i yang peka tahu kapan jamaah mulai lelah, kapan mereka butuh humor ringan, dan kapan mereka harus diajak merenung. Dalam dakwah, isi yang benar sering gagal sampai hanya karena dibungkus dalam bentuk yang kasar atau arogan. Sebaliknya, pesan sederhana bisa menjadi berkesan bila disampaikan dengan nada empati.
Di sinilah kita memahami ungkapan Marshall McLuhan, pakar komunikasi asal Kanada: “The medium is the message.” Cara penyampaian kadang sama pentingnya dengan isi. Dalam dakwah, media itu bukan sekadar platform digital, melainkan juga gerak langkah tubuh, suara, dan hati sang da’i sendiri.
Keterampilan yang Dapat Dilatih
Banyak yang mengira public speaking adalah bakat alami. Padahal, ia adalah keterampilan yang dapat dipelajari. Da’i yang baik tidak hanya berani berbicara, tetapi juga bersedia melatih dirinya.
Berlatih dengan durasi terukur, merekam diri sendiri, mendengarkan kembali ceramah yang disampaikan, hingga meminta kritik dari orang terpercaya—semua itu adalah bentuk muhasabah komunikatif yang amat berharga. Sebab bicara dalam dakwah bukan soal meluapkan isi kepala, tetapi mengetuk pintu hati.
Seorang da’i yang dewasa menyadari bahwa kata-katanya bisa menjadi cahaya, bisa pula menjadi luka. Maka sebelum berbicara ia menimbang, dan setelah berbicara ia merenung.
Keberhasilan dakwah tidak ditentukan oleh seberapa banyak kata yang diucapkan, melainkan oleh seberapa dalam ia menyentuh hati pendengar. Seorang da’i sejati tahu bahwa dakwah bukan kompetisi retorika, melainkan panggilan untuk menghadirkan kebaikan di ruang publik.
Di tengah hiruk pikuk dunia yang dipenuhi distraksi, publik tidak selalu membutuhkan da’i yang paling nyaring. Mereka lebih membutuhkan da’i yang paling tepat: tepat dalam membaca medan, tepat dalam memahami audiens, dan tepat dalam menyampaikan pesan. Bahkan tepat menyentuh relung hati.
Maka kepekaan dalam public speaking bukan sekadar keterampilan teknis. Ia adalah bagian dari adab dakwah itu sendiri. Sebab pada akhirnya, yang menentukan keberkahan bukan pada kepiawaian lidah, tetapi pada kejernihan jiwa yang melimpah. (*)