Merokok (Lebih Banyak) Jangan Ketengan
Oleh: Pertiwi Tanihaha, SST.,MM (Statistisi Ahli Muda)
Anda yang berbujet minim siap-siap puasa merokok. Pasalnya, penjualan rokok batangan atau eceran akan diatur pemerintah. Pelarangan tersebut akan dituangkan dalam peraturan yang bakal disusun tahun 2023 mendatang.
Peraturan penjualan rokok eceran muncul dalam lampiran Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Keppres tersebut sudah diteken Jokowi pada 23 Desember 2022 lalu. Aturan itu nantinya akan menjadi bagian dari Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Larangan menjual rokok batangan merupakan salah satu dari tujuh pokok materi dalam rancangan peraturan pemerintah itu. Poin lainnya yang juga akan diatur adalah ketentuan rokok elektronik. Selain itu, Pemerintah pun akan mengatur pembesaran ukuran gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau. Aturan lain yang akan dicantumkan adalah penegakan dan penindakan serta pengaturan kawasan tanpa rokok. Ada pula ketentuan pelarangan serta pengawasan iklan produk tembakau. Aturan-aturan baru tentang rokok dan produk tembakau itu diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan. Aturan tersebut merupakan turunan dari pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Larangan ini tentunya diharapkan dapat menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan keluarga miskin, anak anak dan remaja. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa angka perokok di Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih di sekitaran angka 28 hingga 30 persen. Artinya terdapat 2 sampai 3 orang perokok dalam setiap 10 penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas. Tingkat konsumsi masyarakat untuk rokok juga tercatat sangat besar. Rata-rata pengeluaran perkapita masyarakat untuk rokok menempati posisi kedua setelah pengeluaran konsumsi makanan dan minuman jadi. Pengeluaran masyarakat untuk rokok tersebut lebih besar dari pengeluaran untuk beras sebagai kebutuhan pokok. Pada tahun 2021 rata-rata belanja rokok dan tembakau perkapita mencapai Rp76.583 perbulan, sedangkan belanja padi-padian hanya Rp. 69.786 perbulan. Artinya bagian dari pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi rokok sangatlah besar.
Penjualan rokok dengan cara eceran tentu saja turut menunjang tingginya tingkat konsumsi rokok, alasannya, masyarakat berpendapatan rendah dan anak-anak dengan uang saku terbatas dengan leluasa mampu membelinya. Jika dilihat berdasarkan kelompok pengeluaran, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok pada golongan kuintil 1 dan kuintil 2 cukup tinggi. Ada sebanyak 27 persen pada kuintil 1, yaitu kelompok penduduk sangat miskin, dan 29 persen kuintil 2, yaitu kelompok penduduk miskin dan rentan miskin. Sedangkan angka perokok anak yaitu penduduk yang berusia 18 tahun ke bawah di Indonesia sejak tahun 2015 sampai sekarang tercatat tidak kurang dari 3 persen. Bahkan ada sebanyak 0,11 persen anak berumur antara 10 sampai 12 tahun yang sudah mengkonsumsi rokok. Persentase tersebut mungkin saja bisa terus bertambah jika penjualan rokok batangan tidak dihentikan.
Di satu sisi, bisa saja kebijakan ini akan menekan jumlah anak di bawah umur yang ingin mencicipi rokok melalui eceran. Tetapi di sisi lain, bagi mereka yang sudah memiliki pendapatan yang cukup, kebijakan ini sepertinya tidak akan terlalu berpengaruh. Meskipun demikian upaya ini harus kita dukung mengingat rokok sangat merugikan kesehatan tubuh. Berbagai laporan medis mengindikasikan banyaknya penyakit berbahaya dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok. Tak hanya bagi si perokok, dampak buruk rokok juga berbahaya bagi siapa pun yang menghirup asapnya atau si perokok pasif.
Kebijakan larangan penjualan rokok secara eceran ini tentu bukan hal yang mudah diterapkan. Rokok telah menjadi 'teman' bagi banyak orang di Indonesia. Kongkow bareng tanpa asap mungkin jadi hal yang kurang lumrah jika hal ini sudah menjadi tradisi. Selain itu industri rokok, toko kelontong dan warung kecil pasti juga akan menentang wacana ini. Meskipun upaya ini tidak akan mudah, namun diharapkan
pemerintah tidak melunakan sikap dalam mengawal kebijakan ini.
Upaya pelarangan penjualan rokok ketengan harus dibarengi mekanisme pengawasan yang tepat. Keterlibatan pemerintah daerah di bawah pengawasan dinas perdagangan atau dinas UMKM setempat sangat diperlukan karena mayoritas penjualan ketengan dilakukan oleh penjual asongan, kios atau kelontong kecil hingga di daerah-daerah pinggiran. Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelanggar agar aturan ini nantinya dapat dipatuhi. Semoga dengan berlakunya aturan ini akan
menjadikan Indonesia yang lebih sehat dan kuat. (*)