OPINI

Jalan Terjal Ibu Masa Kini

Wacana.info
Pertiwi Tanihaha, SST.,MM. (Foto/Istimewa)

Pertiwi Tanihaha, SST.,MM (Statistisi Ahli Muda)

Perempuan di jaman sekarang diberondong dengan berbagai tuntutan. Perempuan harus bisa berkiprah di tengah-tengah masyarakat dengan dalih separuh penduduk bumi adalah perempuan. Hal tersebut bukan perkara mudah, terutama bagi seorang Ibu yang notabene adalah jantung keluarganya. Kondisi ini membuat status Ibu semakin pelik.

Ibu harus mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya. Kenapa? Alasannya menjadi Ibu itu susah. Ibu memainkan banyak peran di dalam keluarganya. Mulai dari urusan dapur hingga keuangan keluarga. Diantara berbagai tugas Ibu, yang paling krusial adalah fungsi ibu sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Anak-anak ini lah yang akan menjadi generasi penerus masa depan. Untuk itu perempuan haruslah terdidik bahkan sebelum menjadi seorang Ibu. Agar nantinya dapat menghasilkan generasi penerus yang hebat.

Tahun 2022, Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat (Sulbar) menyiarkan bahwa perempuan berumur 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Persentase penduduk perempuan berumur 15 tahun ke atas yang buta huruf juga lebih banyak. Ini adalah cerminan pendidikan masa lalu. Masih ada stigma negatif bahwa urusan perempuan hanya lingkup dapur, sumur, dan kasur.

Namun, saat ini kesadaran masyarakat Sulbar akan pentingnya pendidikan sudah semakin baik. Anggapan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi mulai memudar. Angka Partisipasi Sekolah (APS) perempuan di Sulbar lebih baik dari laki-laki di berbagai jenjang. Dari 100 perempuan berumur 5 tahun ke atas di Sulbar tercatat hanya 9 orang yang tidak/belum pernah sekolah. Sedangkan yang masih bersekolah sebanyak 27 orang. Tidak ada perbedaaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.

Selain pendidikan, kesehatan juga menjadi hal penting lainnya. Kualitas SDM masa depan akan ditentukan tingkat kesehatan ibu, bayi dan balita. Jika kualitas kesehatan ibu baik maka dia akan menghasilkan generasi yang berkualitas baik dan sehat.

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan angka Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup dari tahun 2007 yang sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. AKI dari hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya AKI ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024 yang ditargetkan untuk turun menjadi 183 per 100.000 kelahiran.

Sedari dulu perempuan selalu didiskriminasikan. Perbedaan perlakuan, status antara laki-laki dan perempuan menjadi budaya turun temurun yang dipraktikan di masyarakat. Lazim yang selama ini melekat dalam benak masyarakat adalah perempuan hanya identik dengan kegiatan domestik atau rumah tangga. Kaum perempuan dipinggirkan.

Dalam dunia kerja misalnya, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2022 menunjukkan bahwa buruh perempuan mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki. Sama halnya ketika ingin memasuki pasar tenaga kerja, perempuan seringkali memiliki peluang yang lebih rendah. Dalam pengambilan keputusan, perempuan pun masih termarginalisasi. Tahun 2021, persentase anggota parlemen perempuan di Sulawesi Barat hanya sekitar 11 persen. Dalam pengambilan kebijakan sektor pemerintahan, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural PNS tampaknya lebih baik dengan porsi lebih dari separuh.

Diskriminasi lain terhadap perempuan juga terungkap di dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021. Perempuan kerap menjadi objek tindak kekerasan. Hasil SPHPN 2021, menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih banyak dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan yaitu 27,8 persen dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah pedesaan, yaitu 23,9 persen. Prevalensinya lebih banyak dialami oleh perempuan dengan pendidikan SMA ke atas dan juga perempuan yang bekerja.

Dengan adanya berbagai fakta tersebut, kesetaraan gender menjadi target penting dalam pembangunan manusia. Tuntutan peran lebih dari perempuan tanpa adanya pembedaan sudah digaungkan sejak penandatangan Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) Tahun 2000 yang kemudian masih berlanjut hingga saat ini melalui program pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu isu penting dalam kesepakatan tersebut. Hal ini karena masih ditemukannya diskriminasi perempuan yang tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya.

Isu kesetaraan gender ini bisa menjadi peluang maupun tantangan bagi perempuan. Peluangnya adalah setiap perempuan bisa membuktikan dirinya layak diperlakukan setara. Namun, untuk itu perempuan harus bekerja ekstra keras. Perempuan harus pandai membagi waktu antara urusan domestik dan publik. Tanpa mengurangi takaran cinta dan kasih sayang kepada keluarganya.

Kesetaraan ini bisa menjadi tantangan yang berat tanpa dukungan dari berbagai pihak.
Program pemerintah selayaknya dapat memfasilitasi perempuan untuk berkarir setinggi-tinggi nya di ranah publik tanpa mengesampingkan tugas utamanya sebagai istri dan ibu di dalam rumah tangganya. Kesuksesan bagi perempuan adalah sukses karir dan rumah tangganya.

Pemberian ASI eksklusif merupakan peran Ibu yang paling mendasar dan tak tergantikan. Kemenpan RB bisa mendukung ibu bekerja agar dapat memberikan ASI eksklusif dengan memperpanjang jangka waktu cuti melahirkan dari 3 bulan menjadi 6 bulan setelah melahirkan. Selanjutnya untuk mendukung program ASI di tempat kerja, juga perlu adanya peraturan yang tegas agar di setiap tempat bekerja tersedia ruang laktasi. Pemberian kesempatan kepada ibu bekerja untuk menyusui anaknya selama waktu kerja dan atau memerah ASI di jam kerja juga mutlak dilakukan. Semua itu tentunya agar setiap ibu bekerja dapat berkinerja baik tanpa khawatir atau merasa bersalah tidak dapat memenuhi kewajiban utamanya sebagai seorang ibu untuk anak-anaknya. (*)