Untuk Apa Risau dengan Masalah Stunting?
Oleh: Pertiwi Tanihaha, SST.,MM (Statistisi Ahli Muda)
Orang berpostur tinggi lebih cerdas dibandingkan yang pendek. Sebagian dari kita pasti menyangkal pernyataan itu. Maklum saja, bangsa kita yang umumnya berasal dari ras malayan mongoloid memang memiliki ciri perawakan pendek tapi sekel atau padat. Konon tinggi rata-rata koloni ini sekitar 150-165 cm saja. Kalau disandingkan dengan rata-rata pemain basket NBA, mungkin tak sampai sepundaknya. Jika pernyataan di atas benar, tentu orang yang berpostur mungil bawaan lahir benar-benar bernasib malang.
Yang pendek bisa saja berkelit dibalik nama-nama besar seperti BJ. Habibie (162 cm) atau Albert Einstein (170 cm). Kedua pesohor intelektual dunia ini dikenal memiliki postur yang relatif mungil dibandingkan rata-rata orang di lingkungannya. Tokoh lain, sebut saja Napoleon Bonaparte (167 cm), Kaisar Jepang Hirohito, Stalin, dan Lenin sama-sama bertinggi 165 cm, bahkan Yasser Arafat tak sampai 160 cm. Fakta ini tentu cukup kuat untuk meragukan hubungan tinggi badan dengan tingkat kecerdasan.
Sekedar tahu saja, penelitian Universitas Edinburgh–skotlandia, kepada lebih dari 6 ribu orang, menyimpulkan adanya hubungan signifikan antara tinggi dan kecerdasan. Tapi, apakah masalah ini yang mengerutkan dahi pembuat kebijakan di negara ini? Beberapa tahun terakhir Jokowi kerap peduli pada masalah stunting. Sekilas, kita mungkin mengidentikkan stunting dengan kekerdilan.
Tidak sepenuhnya salah, menurut Organisasi Kesehatan Dunia – WHO, stunting adalah gangguan tumbuh kembang pada anak. Gizi yang buruk, sering terserang infeksi, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai jadi musabab terjadinya stunting. Anak dikatakan gagal tumbuh kembang jika tinggi badan menurut usianya lebih dari dua kali standar deviasi di bawah Standar Pertumbuhan Anak yang ditetapkan WHO.
Isu stunting dimulai sejak abad ke-19, ketika para ahli kedokteran dan gizi mulai memperhatikan masalah gizi dan kesehatan yang dialami oleh anak-anak di seluruh dunia. Christiaan Eijkman, mengenalkan istilah "kwashiorkor" untuk menggambarka kekurangan gizi protein yang mempengaruhi anak-anak di wilayah tropis. Sejak itu, banyak penelitian dan studi untuk mengatasi masalah gizi dan stunting. Isu ini masih penting sampai sekarang. Ditetapkannya sunting dan masalah gizi anak jadi satu dari tujuh tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) oleh PBB merupakan alarm peringatan agar pemerintah harus serius mengatasi masalah ini.
Masalah Kesadaran
Banyak negara masih mengalami tingkat stunting yang tinggi, terutama di pedesaan dan daerah yang kurang makmur. Menurut WHO, ada sekitar 149 juta anak menderita stunting pada tahun 2019 di seluruh dunia. Berarti sekitar 22 persen dari total populasi anak di bawah usia 5 tahun di tahun tersebut. Di Indonesia, meskipun angkanya terus menurun, persentasenya masih tinggi. Menurut BKKBN prevalensi stunting masih sekitar 24,4 persen pada tahun 2021. Angka ini masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen.
Stunting bukan hanya masalah gizi, tetapi juga mengarah pada isu kesehatan dan pendidikan yang lebih luas. Anak stunting berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan, seperti infeksi, dan memiliki kemampuan belajar yang lebih rendah dibandingkan yang tidak stunting.
Untuk mengatasi masalah stunting, perlu kerja sama banyak pihak, termasuk pemerintah, dunia usaha, dan komunitas masyarakat. Kesadaran orang dewasa terhadap pentingnya kualitas generasi selanjutnya sangat penting. Mereka yang siap menimang momongan perlu faham tentang kesehatan dan psikologi ibu dan balita. Kepedulian ini malahan harus dimulai sejak sebelum si ibu hamil. Selanjutnya orang tua harus berupaya memenuhi kebutuhan gizi optimal anak mulai lahir hingga minimal usia dua tahun. Karena kasus stunting umum terjadi pada anak 0-23 bulan.
Selain berdampak pada masalah kesehatan dan pendidikan, stunting juga memiliki implikasi jangka panjang pada pembangunan ekonomi negara. Anak-anak stunting disinyalir memiliki produktivitas yang lebih rendah dan rentan sakit. Keadaan ini dapat menurunkan potensi ekonomi mereka dan menimbulkan beban pada sistem kesehatan negara.
Segera Perbaiki
Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) digunakan sebagai alat ukur untuk mengevaluasi keberhasilan program-program pemerintah dalam mengatasi isu stunting. Indeks ini memungkinkan pemerintah dan masyarakat untuk mengevaluasi keberhasilan program-program yang diterapkan. Selain itu, dengan IKPS pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien.
Capaian IKPS Sulawesi Barat pada tahun 2020 sebesar 65, lebih rendah jika dibandingkan capaian IKPS Nasional yang mencapai 67,3. Adanya perbedaan antara capaian IKPS Sulawesi Barat dan capaian IKPS Nasional mengindikasikan masih adanya ketimpangan penanganan stunting di Indonesia. Dengan memperhatikan IKPS ini pemerintah dapat memastikan bahwa program-program yang diterapkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Untuk mengatasi stunting, pemerintah perlu menata dan memperkuat memperkuat sistem kesehatan dan gizi. Kesehatan remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui perlu mendapat prioritas. Anak-anak dalam masa tumbuh kembang perlu nutrisi seimbang ditambah dengan aktivitas fisik yang menunjang untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak-anak.
Masyarakat dan kalangan dunia usaha bisa mendukung dengan berbagai cara. Mulai dari peningkatan kualitas gizi, penataan sanitasi dan penyediaan air bersih hingga bekerja sama pengadaan sarana publik yang bisa meningkatkan aktivitas fisik anak-anak. Lalu tak kalah penting adalah peran suami, Ibu menyusui perlu mendapat dukungan baik fisik maupun mental karena berdasarkan penelitian, kasus stunting lebih
kecil resikonya pada anak yang mendapat ASI berkualitas.
Pemerintah jangan sampai “silau” dengan pencapaian penurunan angka stunting karena penanganan masalah ini perlu berkesinambungan. Penurunan prevalensi stunting bukan tujuan utama karena Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengamanatkan permasalah tersebut. Alinea ke 4 pada pembukaan UUD ‘45 menetapkan bahwa pemerintah harus hadir dalam rangka membangun kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah, lembaga swadaya, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengatasi isu stunting dan memperkuat sistem kesehatan dan gizi bagi semua anak. Kemitraan dan kerja sama yang efektif dapat membantu memastikan bahwa semua anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan produktif, dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. (*)