Menuju Pemilu 2024

NasDem: Proporsional Tertutup Menguatkan Oligarki Partai Politik

Wacana.info
Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem, Atang Irawan. (Foto/Istimewa)

JAKARTA--Isu penggunaan sistem proporsional tertutup pada pelaksanaan Pemilu 2024 mendapat tanggapan dari Partai NasDem. Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem, Atang Irawan mengungkap kekhawatiran menguatnya oligarki partai politik yang semakin tak terpatahkan dengan mencuatnya isu Pemilu dengan sistem proporsional tertutup. 

"Sejarah buram eksistensi Parpol yang kerap dipandang hanya elitis, birokratis dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri melalui skema konspirasi konfigurasi kepentingan elit partai menjadi momok yang menakutkan bagi civil society," ucap Atang dalam keterangan pers yang diterima WACANA.Info, Minggu (1/01).

Kandidasi dalam sistem elektoral dengan model proporsional tertutup semakin mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyat. Sehingga, kata dia, akselerasi kepentingan rakyat akan terbantahkan dalam ruang gelap partai politik. 

"Memilukan bagi demokrasi ketika rakyat diberikan otoritas untuk menentukan wakilnya namun kemudian dirampas kembali oleh Parpol," sambung dia.

Masih oleh Atang, semakin menjauhnya artikulasi kepentingan rakyat dan bahkan semakin jauhnya wakil dan terwakili sehingga fungsi representasi akan semakin rentan bagi rakyat terhadap wakilnya, karena tanpa dipilih oleh rakyat yang penting ditetapkan nomor urut terkecil oleh Parpol.

Yang lebih memprihatinkan lagi jika rekruitmen Caleg semakin tertutup tanpa memberikan ruang informasi yang transparan dalam rekruitmen dan seleksi Caleg. Meskipun dalam Pasal 241 UU Pemilu mensyaratkan seleksi Bacalon dilaksanakan secara demokratis dan terbuka. 

Sistem proporsional tertutup, kata Atang, bukan hanya langkah mundur dalam perjuangan demokrasi, bahkan menuju titik nadir bagi hak konstitusioal rakyat untuk menentukan siapa yang berhak mewakilinya dalam rangka representasi.

Ilustrasi. (Foto/Net)

Atang mewanti-wanti bahwa rendahnya kepercayaan terhadap Parpol akan terulang kembali sehingga apatisme dan apolitis bakal bersemi kembali. 

"Sebab, dengan sistem proporsional tertutup rakyat tidak pernah tahu siapa yang akan mewakili dirinya karena semua menjadi otoritas parpol atau seperti memilih kucing dalam karung," kata dia.

Mirisnya lagi, wakil yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat dapat melenggang di legislatif hanya karena nomor urutnya lebih kecil daripada suara terbesar. 
"Miris memang. Suara rakyat hanya akan menjadi komoditas partai politik dan dimanipulasi oleh oligarki parpol," Atang menyayangkan.

Tentang tudingan proporsional terbuka sangat high cost, Atang yang politisi sekaligus ahli hukum tata negara ini mempertanyakan apakah rekruitmen Caleg di internal dengan proporsional tertutup tidak memungkinkan terjadinya ruang suap agar mendapatkan nomor urut kecil. 

"Apakah ada jaminan proses kandidasi tidak menjadi benih unggul yang dapat menstimulan korupsi dikemudian hari, karena ada kekhawatiran sejak awal dalam kandidasi sudah terjadi mahar di internal Parpol dalam penentuan nomor urut," bebernya.

Legal Standing Pemohon Dipertanyakan

Atang pun mempertanyakan legal standing pemohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.

"MK sebaiknya menguji betul terkait legal standing pemohon terhadap permohonan pengujian Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu," sebut Atang.

Untuk diketahui, pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem); Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok).

"Lantas, apakah para pemohon pernah menjadi Caleg dengan urutan kecil dalam kapasitas sebagai pengurus partai, namun dikalahkan dengan urutan nomor lebih besar.  Bahkan, akan menjadi ironis jika pemohon tidak dicalonkan oleh Parpolnya dalam kontestasi 2024, sehingga dimana letak legal standingnya para pemohon," Atang Irawan menutup. (*/Naf)