Bulan Suci, Sampah dan Bau
Oleh: M. Syariat Tajuddin (Pekerja Seni Budaya Mandar-Sulawesi Barat)
Sore itu awal Ramadan. Sembari menunggu waktu berbuka puasa, Kaco ditemani Cicci berboncengan sepeda motor buntutnya menuju pasar. Hendak membeli takjil dan sejumlah persiapan untuk salat tarawih.
Dalam catatan belanjaan Cicci tertulis; katiri mandi, kecap, minyak goreng beberapa ikat daun sayuran seperti seledri dan bayam juga ada kol serta pucuk daun ubi. Sedang Kaco, hanya ada satu hal yang ada di dalam kepalanya untuk dibeli; parfum.
Soal parfum ini berawal dari tarawih malam pertamanya yang akhirnya tidak bisa khusyuk total. Hanya lantaran minyak wangi yang biasa disemprotkan ke tubuhnya sebelum ke masjid malam itu, ternyata telah habis, tandas dan tuntas. Itu terjadi sejak Jumat terakhir sebelum memasuki Ramadan.
Jadilah ia salat berjamaah di masjid dengan kondisi ketiak yang menyeruakkan bau yang kurang sedap bagi jamaah lain. Itu juga yang membuatnya kikuk dan tak berhenti memikirkan ketiaknya itu. Mulai dari rakaat pertama hingga rakaat terakhir tarawih dua puluh yang dilanjutkan witir dalam bilangan ganjil itu.
Hingga salat tarawih dan witir berakhir, Kaco agak lega, karena dirinya dan jamaah lainnya sudah sedikit melonggar dari rapatan saf sebelumnya. Kaco yang tadinya hendak memilih menjauh dan berjarak, ternyata telah didahului oleh jamaah lain yang mencoba membangun jarak renggang sebagaimana salat saat corona masih menggila.
Belum berakhir rasa kikuknya, penceramah malam pertama itu naik mimbar. Jadilah Kaco memperbaiki posisi duduknya dalam kelegaan untuk menyimak dengan seksama. Namun tak berlangsung lama, ustad yang berceramah itupun kemudian mengutip sejumlah ayat yang terkait dengan bulan suci Ramadan, yang menurutnya harusnya kian membuat umat Islam untuk menyadari makna dan pentingnya kesucian di bulan suci ini.
Kembali Kaco merasa kikuk setelah penceramah itu menyinggung kesucian Ramadan agar tidak dikotori dengan dosa, juga bau yang tak sedap. Kaco menelan ludah, merasa kata-kata itu tertuju kepadanya. Seakan mata panah kata-kata ustad itu melesat dan tepat menjurus padanya.
Demikianlah, soal bau ini pulalah yang kemudian menjadi satu soal. Saat dirinya berboncengan dengan Cicci menuju pasar untuk belanja parfum dan beberapa penganan takjil jelang buka sore itu. Bukan semata soal parfum, tetapi ini soal matanya yang tertumbuk kepada sejumlah jalan yang dilaluinya yang tidak saja penuh dengan bubungan sampah, tetapi juga soal bau yang menyeruak kemana-mana.
Kaco dan Cicci hendak muntah, namun ia tertolong dengan ingatan bahwa keduanya tengah dalam keadaan berpuasa. Karena itu, muntah menjadi ketakutan yang segera berkelebat di kepalanya. Karena di balik masker yang dikenakannya, bau itu masih nyata menusuk dan masuk ke hidungnya. Kalau dirinya muntah, maka hilang sudah satu puasanya. Celakanya lagi, karena hari itu sudah menjelang buka dan terlebih hari itu adalah hari pertama puasa.
Pilihan Kaco dan Cicci yang tersedia hanya satu, kembali berbelok arah dan menuju rumahnya. Bukan untuk menghindari gundukan sampah yang berbau itu, tetapi semata hanya untuk menyelamatkan puasanya di hari pertama puasa Ramadan. Karena puasa di bulan Ramadhan sebagai bulan yang suci salah satunya adalah berpuasa dan menghidar dari godaan yang kemungkinan akan membuatnya mengumpat. Termasuk mengumpat sampah-sampah yang tidak jelas siapa yang membuangnya itu.
Biarlah ia pulang ke rumahnya mandi suci dan membersihkan dirinya dan mensucikan hatinya sebelum berbuka dengan takjil apa adanya buatan Cicci. Bahwa sebentar lagi dirinya akan kembali ke masjid, pilihanya hanya satu, dirinya akan memilih untuk ikut tarawih dan witir berjamaah tidak lagi di dalam ruangan masjid, tetapi di teras masjid. Semoga angin di teras masjid mampu menerbangkan bau ketiaknya menuju langit di malam Ramadan. (*)