Serambi Ramadhan

Peran Muballigh, Biar Ramadhan Kian Teduh...

Wacana.info
Suasana Pelaksanaan Salat Tarawih di Masjid Arrahiem, Karema, Mamuju. (Foto/Instagram Info Mamuju)

MAMUJU--Penting kiranya untuk menyamakan persepsi di kalangan muballigh dalam usaha mencerdaskan ummat khususnya selama bulan suci Ramadhan kali ini. Sebagai tokoh utama dalam setiap pesan syiar agama, muballigh dituntut untuk menempatkan diri di posisi yang tepat.

Ketua Lembaga Dakwan Nahdlatul Ulama (LDNU) Sulawesi Barat, Nur salim Ismail berharap, setiap muballigh idealnya fokus pada upaya untuk mengajak ummat agar memanfaatkan momentum Ramadhan ini sebagai sarana Imsak; menahan.

"Bahwa kita menahan bukan sekadar menahan makan dan minum. Namun juga menahan segala aktivitas yang berpotensi merusak bobot ibadah Ramadhan. Termasuk menahan aktivitas media sosial yang berpotensi merusak keberkahan Ramadhan," ucap Nur salim Ismail kepada WACANA.Info, Minggu (3/04).

Nursalim Ismail. (Foto/Istimewa)

Masih oleh Nur salim Ismail, para muballigh pun diharapkan untuk tampil sebagai penyampai pesan-pesan Islam yamg damai lagi menyejukkan. Etika dan metode dakwah pun yang harus senantiasa diterapkan oleh para muballigh. Sebab sebejad apa pun orang yang didakwahi, tetaplah harus mengedepankan kelembutan dan kasih sayang.

"Mari kita bantu umat. Setidaknya dengan tidak menambah beban pikiran dan derita hidupnya," demikian Nur Salim Ismail.

Setali tiga uang. Ketua umum PW Muhammadiyah Sulawesi Barat, Wahyun Mawardi menambahkan, umat Islam idealnya dapat memanfaatkan setiap ibadah Ramadhan sebagai wahana untuk semakin meningkatkan kualitas iman dan taqwa, senantiasa berlomba untuk memperbanyak amal saleh. Kepada para muballigh, Wahyun berharap agar di di bulan suci ini, materi ceramah Ramadhan diisi dengan konten Islam sebagai 'rahmatan lil alamin'.

"Islam yang membawa damai. Islam yang membawa persaudaraan, serta Islam yang menyatukan," sebut Wahyun Mawardi.

Para muballigh pun diminta untuk menjauhi isi ceramah yang bersifat menakut-nakuti umat. Berdakwah-lah dengan penuh pencerahan dan kemajuan.

Wahyun Mawardi. (Foto/Net)

"Jangan jadikan ceramah Ramadhan sebagai ajang kampanye dan propaganda politik praktis yang dapat berpotensi menimbulkan kontroversi dan disharmoni. Mari ciptakan ibadah Ramadan yang tenang aman dan tertib," begitu kata Wahyun Mawardi.

Mendorong Kepekaan Sosial

Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan dan momen penting dalam memberikan pencerahan kepada umat. Karenanya, para muballigh perlu mempersiapkan strategi dalam membina umat. Para muballigh wajib menciptakan suasana yang sejuk di tengah masyarakat via bahasa agama.

"Dorongan pada kepekaan sosial dan pengendalian diri. Jangan mi banyak bicara soal perbedaan2-perbedaan, dan hujatan-hujatan pada kelompok lain," beber Imam besar masjid Raya Syuhada Polewali Mandar, Sayyid Fadlu Al Mahdaly.

Dikutip dari geotimes.id, prinsip 'rahmatan lil alamin' sebagai karakter agama Islam bertujuan untuk membimbing manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang paham betul akan peranannya sebagai 'khalifah fil ardh'. Dimana manusia sebagai utusan Tuhan di muka bumi, harus bisa menjaga dari kerusakan dan ketidakadilan. Itulah konsep dalam Islam yang menuntun manusia untuk mengukuhkan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial yang punya tanggung jawab menjaga alam semesta.

Sayyid Fadlu Al Mahdaly. (Foto/Facebook)

Bagi Sayyid Fadlu, salah satu prinsip utama dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah saling menghargai. Ada dimensi saling menghargai antara mereka yang menjakankankan ibadah puasa dengan yang tidak berpuasa, kata Sayyid Fadlu, merupakan satu frame keindahan tersendiri di bulan penuh berkah ini.

"Justru orang berpuasa yang mesti menghormati orang yang tidak puasa. Mereka (orang berpuasa) adalah orang yang punya kualitas terbaik dalam keimanan. Itu pendapat pribadi saya," kata tokoh Nahdlatul Ulama itu.

Frame saling menghargai dan menghormati itu, sambung Sayyid Fadlu memuat makna permakluman atas kondisi orang lain. Misalnya, prasangka baik yang memenuhi batin orang yang berpuasa jika bertemu dengan umat Islam yang tak menjalankan ibadah puasa.

"Prasangka baik dengan membatin mungkin mereka tidak puasa karena musafir, atau prasangka baik lainnya. Yang puasa memaklumi orang tidak puasa, secara bersamaan, yang tidak puasa menghornati orang berpuasa dengan tidak menggodanya dengan perilaku vulgar," pungkas Sayyid Fadlu Al Mahdaly. (Naf/A)