Setahun Gempa Bumi Majene-Mamuju

Linor 6,2 M; Terabaikan atau Terabadikan

Wacana.info
Potret Kerusakan di Kantor Gubernur Sulbar Akibat Linor 6,2 M

MAMUJU--Gempa berkekuatan M 6,6 mengguncang Banten dan sekitarnya pada Jumat 14 Januari 2022. Momentum yang seolah jadi pengingat kejadian serupa yang terjadi di Majene dan Mamuju tepat setahun yang lalu.

14 Januari 2021 lalu, saat matahari siang sedang terik-teriknya. Majene, Mamuju dan sekitarnya digoncang gempa yang oleh BMKG bermagnitudo 5,9. Musibah yang jelas bikin aktivitas masyarakat saat itu cukup terusik. Panik ?. Sudah pasti.

Tak satu pun yang menyangka, M 5,9 itu ternyata baru permulaan. Yang oleh sebagian orang diistilahkan sebagai gempa pembuka alias fore shocks. Selang beberapa jam, tepatnya pada hari Jumat, 15 Januari 2021 pukul 02.28 WITA dini hari, musibah dahsyat itu pun terjadi.

Penulis yang saat itu memang belum benar-benar terlelap, tahu betul bagaimana mencekamnya suasana di detik demi detik saat linor berkekuatan M 6,2 itu terjadi. Di awali gemuruh suara yang entah dari mana datangnya, lalu guncanangan hebat pun terjadi.

Tak jauh dari tempat tinggal penulis di bilangan Karema, guncangan dini hari itu cukup merubuhkan gudang semen tiga lantai yang letaknya tak jauh dari kediaman penulis. Besar kemungkinan jadi alasan utama mengapa hanya ada gumpalan debu berwarna putih yang terlihat saat penulis dengan bermodalkan lampu penerang dari smartphone hendak mengevakuasi seisi rumah untuk segera meninggalkan bangunan tua kami. Oh iya, rasa-rasanya selang beberapa detik saja setelah gemuruh dan guncangan itu terjadi, listrik padam.

Kepanikan luar biasa pun terjadi. Jalan Andi Makkasau sebagai salah satu akses utama menuju tempat ketinggian saat itu benar-benar dipadati warga. Semunya berebut untuk jadi yang terdepan tiba di kompleks kantor Bupati Mamuju, salah satu titik evakuasi warga. Panik luar biasa, di tengah air hujan yang kala itu memang sedang membasahi kota Mamuju.

Kami sekeluarga, bersama ratusan atau mungkin hingga ribuan orang lainnya bertahan di kompleks kantor Bupati Mamuju saat itu. Setidaknya hingga siang menjelang. 

Benar adanya, linor dini hari itu ternyata cukup unutuk meluluhlantakkan sejumlah bangunan vital yang ada di kota Mamuju. Beberapa rumah warga ada yang rubuh, termasuk satu rumah sakit swasta yang akhirnya rata dengan tanah. Kantor Gubernur Sulawesi Barat pun bernasib naas, sebagian gedung utama kantor yang terletak di Rangas, Mamuju tersebut juga hancur. Belum lagi beberapa bangunan lainnya dibuat rusak parah oleh musibah tersebut.

Pentingya Mitigasi Bencana

Aktivitas lempeng bumi yang bersemayam di tanah Sulawesi Barat memang punya energi besar. Sejarah mencatat, telah terjadi sekian kali gempa bumi yang parahnya disertai tsunami di pesisir provinsi ke-33 ini sejak berpuluh tahun silam.

Oleh karena belum satu pun teknologi yang mampu memprediksi kapan lempeng-lempeng itu bergerak mencari kesetimbangannya, pengetahuan tentang apa dan bagaimana seharusnya publik menyikapi musibah tersebut jadi hal yang wajib untuk terus disuarakan. 

Istilah mitigasi bencana, bagi sebagian orang mungkin tak begitu penting. Padahal, karena Sulawesi Barat, atau bahkan Nusantara pada umumnya menyimpan kerawanan akan terjadinya bencana, mau tak mau mitigasi bencana mesti tersosialisasi dengan sangat baik kepada publik.

Merujuk ke PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan pengingkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Karena ancaman bencana mustahil untuk dihindari, maka mitigasi bencana seolah jadi satu-satunya pilihan bagi publik agar semua mampu bertahan jika bencana itu benar-benar terjadi, semoga telah usai. Pegiat mitigasi bencana, Setiawan Trance menganggap, koordinasi antara BMKG, BNPB serta pemerintah daerah harus tetap terjalin. Merekalah yang mengambil posisi terdepan dalam hal mengurangi risiko bencana alam, utamanya pasca gempabumi yang terjadi dua pekan silam.

"Mereka-mereka itu lah yang harusnya menjadi komando. Dan saya pikir sudah pasti memberikan peryataan-pernyataan kepada masyarakat. Tinggal masyarakatnya ini, mengerti tidak akan imbauan-imbauan itu," ujar Setiawan kepada WACANA.Info awal Februari 2021 yang lalu.

Seperti yang sudah sering disuarakan. Misalnya, masyarakat diminta untuk tetap berada di tempat yang aman kalau terjadi gempa. Senantiasa menjauhi bangunan tinggi, terlebih jika kondisi bangunan tersebut telah mulai retak. Serta imbauan-imbuan lainnya. 

Kata Setiawan, kesemuanya itu harus menjadi pedoman utama masyarakat dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini.

"Sebaiknya itu semua harus diantisipasi," sambung pria yang sempat menjalin kerjasama dengan NOAA NWS U.S Gov (National Oceanic and Atmospheric Administration) itu.

Kata dia, di titik ini, kesadaran masyarakat jadi kunci pokok utamanya. Pilihan untuk kembali ke rumah, sah-sah saja. Meski harus dicatat, gempa bumi masih sangat mungkin dapat terjadi. Terlebih usai gempa bumi merusak dua pekan lalu.

"Kalau kondisi rumahnya memang tidak tahan gempa, yah jangan di rumah. Paling penting saat ini adalah keselamatan jiwa dulu," beber dia.

Masih oleh Setiawan, edukasi kepada masyarakat harus terus dilakukan. Baik itu berupa imbauan, atau apapun namanya, setiap upaya meminimalisir risiko bencana mesti harus tetap dilakukan. Terus menerus.

"Utamanya dalam masa darurat bencana ini. Apalagi BMKG sudah mengimbau bahwa potensi gempa ini masih terjadi hingga Februari. Nah tinggal semua pihak termasuk pemerintah daerah, termasuk TNI dan Polri untuk senantiasa menyampaikan imbauan tersebut kepada masyarakat. Bahkan hingga misalnya masa tanggap darurat bencana telah selesai atau gempa susulan sudah mulai berkurang, edukasi itu mesti tetap disampaikan kepada masyarakat," terangnya.

Untuk Ragam Rupa Bantuannya, Terima Kasih...

Di tengah kondisi masyarakat yang diselimuti ketidakpastian pasca musibah tersebut, gelombang bantuan justru terus berdatangan dari berbagai pihak. Mengalir bak air. Hilir mudik kendaraan pembawa bantuan logistik, atau yang memuat para relawan seperti tak ada habisnya. 

Bencana memang meninggalkan banyak kisah. Termasuk bagaimana 'amukan' lempeng bumi tersebut rupanya jadi pelecut yang seperti jadi momentum pembuktian bahwa derita Sulawesi Barat juga jadi derita daerah lain. Lihat saja rupa-rupa bantuan itu datang dari berbagai penjuru mata angin. Datang via darat, laut dan udara.

Tak ada alasan bagi masyarakat Sulawesi Barat untuk tidak berterima kasih atas kepedulian tersebut. Ketua DPRD Sulawesi Barat, Suraidah Suhardi menilai, bantuan dari berbagai pihak itu adalah wajah utama dari karakteristik masyatakat Indonesia. Bagaimana beban derita itu dapat diemban secara bersama-sama. Wajarlah jika ungkapan terima kasih jadi hal yang sangat pantas untuk terucap.

"Saya mewakili masyarakat Sulawesi Barat, khususnya para korban gempa bumi di Mamuju dan Majene mengucapkan banyak terima kasih. Untuk beragam bantuan yang tak lagi dapat saya sebut, termasuk komitmen para relawan yang datang membantu meringankan beban para korban, tulus saya ucapkan terima kasih," ungkap Suraidah Suhardi 

Semua Harus Siap Berhadapan dengan Bencana 

Ada sejumlah catatan penting di balik musibah dahsyat tersebut. Entah itu melihatnya sebagai refleksi, sorot balik, atau boleh disebut sebagai tafakur. Mulai dari sejumlah catatan minor di balik proses pendistribusian bantuan logistik kepada para korban. Termasuk betapa latahnya para pemangku kebijakan di daerah dalam menghadapi kondisi darurat pasca bencana yang kesemuanya bermuara pada tidak siapnya daerah ini menghadapi segala dampak buruk dari sebuah bencana alam.

"Bercermin dari carut marutnya manajemen pengendalian pasca bencana di Sulbar, benar bahwa memang kita, pemerintah memang tak siap hadapi bencana. Yang ada hanya saling lempar tanggung jawab. Ini kewenangan kabupaten, ini kewenangan provinsi. Jadi, sudahilah tagline Sulbar bangkit itu sebab saat ini Sulbar sedang tidak baik-baik saja,".

Hal itu disampaikan koordinator aliansi masyarakat yang menamakan diri Sulbar Bergerak, Adi Riadi dalam pertemuan dengan para stakeholder penanganan bencana provinsi Sulawesi Barat di tenda darurat DPRD Sulawesi Barat awal Maret tahun lalu.

Benar bahwa tak satu pun yang menginginkan terjadinya bencana alam. Soal kapan dan bencana apa yang akan terjadi, minim pengetahuan kita untuk memastikan hal tersebut. Di titik ini, penting kiranya untuk kita semua menyiapkan segala sesuatunya sebelum bencana itu benar-benar terjadi.

Gempa bumi bersakal M 6,2 yang terjadi 15 Januari 2021 yang lalu menghentakkan seisi Sulawesi Barat. Masa tanggap darurat pun diberlakukan dengan harapan penanganan para korban gempa dapat dilakukan semaksimal dan secepat mungkin.

Lalu apa yang terjadi saat itu ?. Toh di beberapa sudut masih terlihat jelas para korban gempa yang tak kebagian bantuan. Yang mesti memaksakan lelapnya di tengah serba tidak layaknya pengungsian yang mereka tinggali. Miris. Sementara jelas di pelupuk mata betapa bantuan dari berbagai pihak itu terus berdatangan. Dari segala penjuru.

"Struktur APBD kita tidak boleh dipahami secara kaku. Artinya, memang benar bahwa APBD kita tidak dirancang untuk menghadapi sebuah bencana, itu benar. Karena kita tidak tahu bahwa akan terjadi bencana. Tapi bukan berarti APBD kita tidak memungkinkan untuk dihadapkan pada situasi atau upaya kita menjawab persoalan yang kita sedang hadapi. Ini harus diluruskan. Jangan karena APBD kita tidak perspektif dengan bencana, lantas kita mengalah dengan keadaan. Kebijakan selalu memberikan kelonggaran untuk itu. Termasuk disetiap APBD selalu disiapkan nomenklatur BTT (Biaya Tak Terduga). Salah satu item yang dimaksukan itu yah seperti bencana," papar Abdul Rahim, Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat dalam sebuah kesempatan diskusi Maret tahun lalu.

BTT yang diporsikan ke dalam APBD Tahun 2021 jumlahnya mencapai Rp 15 Miliar. Adalah hal yang ironi menurut Rahim jika besarnya BTT tersebut tak digerakkan secara maksimal untuk penanganan pasca bencana ini. Kian miris, jika segala kebutuhan pasca bencana hanya mengandalkan bantuan logistik maupun uang tunai yang berasal dari para donatur.

"Kebijakan realokasi anggaran kan ada. Tinggal diperlukan duduk bersama, dikomunikasikan bersama dengan DPR kalau untuk realokiasi itu. Tidak bisa sepihak. Berapa anggaran yang akan direalokasikan untuk penanganan bencana, tinggal didiskusikan bersama," ucap politisi NasDem itu.

Tak sekadar mendudukkan kembali perencanaan anggaran, Rahim menilai, Provinsi Sulawesi Barat juga memerlukan sebuah perubahan untuk arah kebijakan pembangunan di masa mendatang. 

Suara yang dengan lantangnya diteriakkan oleh Sulbar Bergerak. Plus beberapa kasus tentang gagapnya pemerintah utamanya di masa-masa tanggap darurat bencana yang telah barlalu itu seperti jadi bukti sahih pemerintah memang tak punya kesiapan apa-apa soal penanggulangan bencana.

Pasal 4 poin c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana secara tegas disebutkan; menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.

Mari mengingat kembali, apakah proses penanggulangan bencana yang dilakukan selama ini sudah terecana dengan baik, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh ?. Rasa-rasanya mendekatinya pun tidak. Yang ada adalah pemerintah memperlihatkan tingkahnya yang gagap utamanya di masa tanggap darurat kemarin. 

Sulawesi Barat yang jika dilihat dari peta tingkat risiko multi bencana memang masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Fakta tersebut mestinya bikin orientasi pembangunan di provinsi ke-33 ini mendudukkan sektor penanggulangan bencana alam di posisi yang strategis.

Musibah gempa bumi yang terjadi tahun lalu wajib menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kita semua. Banyak hal yang mesti kita benahi, perbaiki. Termasuk kebijakan anggaran. Misalkan kebijakan kita harus dibuat regulasi tentang penanganan bencana. Itu bisa dijadikan panduan kita semua utamanya dalam hal penanganan keadaan emergency.

"APBD harus mengakomodir kondisi itu. Saya kira kita harus memulai dengan hal-hal yang elementer terlebih dahulu. Harus dimulai dari pentusunan Perda yang mengatur secara detail tentang sistem manajemen negelolaan kedaruratan. Mengatur sirkulasi tanggung jawab di masing-masing OPD, bagaimana mereka menjalankan fungsi kedaruratannya masing-masing. Tidak seperti sekarang, masyarakat sudah berada di pengungsian berhari-hari, sementara kita masih kelabakan.Kita ingin melalui kebijakan APBD, manajemen bencana sudah kita punya. Tentu manajemen yang baik lagi ideal. Sehingga tidak terjadi lagi ketidak siagaan kita dalam mengambil langkah taktis di lapangan jika terjadi bencana," begitu papar Rahim kala itu.

Lalu, apakah gempa bumi 14 dan 15 Januari 2021 yang lalu itu cukup diabaikan saja, atau mesti diabadikan ?. Rasa-rasanya musibah yang menelan banyak korban jiwa plus kerugian materil yang tak sedikit itu wajib untuk kita abadikan. Mengabadikannya dengan maksud agar kita semua mampu untuk menjadikan musibah tersebut sebagai sebuah ajang pembelajaran yang teramat sangat mahal. Pembelajaran bukan hanya bagi masyarakat, tapi juga pemerintah serta para pemangku kebijakan khususnya di daerah yang sepertinya perlu banyak belajar dari kejadian pilu tersebut.

Kalau dipikir-pikir, sisa-sisa bangunan Manakarra Tower yang proses pembangunannya seperti 'dihold' itu sepertinya bisa dijadikan sebagai monumen pengingat bagi siapa saja tentang betapa dahsyatnya bencana tahun lalu itu. Dari pada dibiarkan menyendiri begitu saja di jantung keramaian kota Mamuju, mungkin akan lebih baik jika memanfaatkan bangunan yang mulanya digadang-gadang bakal jadi land mark kota Mamuju itu sebagai monumen mengabadikan musibah linor 14 dan 15 Januari 2021. Iya Kan ?.

Ini sifatnya saran saja. Jika dijadikan monumen pengingat musibah gempa bumi, Manakarra Tower bukan tidak mungkin bakal mendatangkan cuan bagi pemerintah. Di sana, bisa jadi satu destinasi pariwisata baru bagi masyarakat. Bisa dijadikan tempat untuk memasang segala bentuk potret kengerian musibah gempa di Majene dan Mamuju, sekaligus jadi pusat pertunjukan seni dan budaya yang keberadaannya terbilang sangat jarang di ibu kota Provinsi Sulawesi Barat ini. 

Ide ini pun selaras dengan tagline Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat tahun 2022 ini; 'di Sulbar aja'. Pandemi yang seolah tak berkesudahan ini jelas jadi alasan betapa sulitnya mendatangkan wisatawan dari luar daerah ke Sulawesi Barat. Jika Manakarra Tower dijadikan monumen pengingat gempa bumi Majene-Mamuju, maka potensi kedatangan wisata lokal ke destinasi itu sungguh punya peluang yang besar.

Selanjutnya Manakarra Tower kita ubah sebutannya menjadi monumen linor 6,2 M. Bagaimana Pak Kadis Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat, mashook tohh ?, he he he...

Sumber foto: Instagram Azhari Surahman