Menyoal Legitimasi Penjabat Kepala Daerah
MAMUJU--Sebanyak 101 kepala daerah bakal mengakhiri masa jabatannya di tahun 2022 ini. Tujuh di antaranya adalah gubernur, termasuk gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar.
Karena pelaksanaan Pemilukada baru akan digelar secara serentak di tahun 2024 nanti, Sulawesi Barat serta 100 daerah lainnya akan dipimpin oleh seorang penjabat kepala daerah. Persoalannya kemudian, kondisi tersebut akan memunculkan persoalan legitimasi penjabat kepala daerah yang menggantikan gubernur, bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir sebelum 2024.
Anggota DPR RI, Suhardi Duka menilai, hal tersebut jelas bertolak belakang dengan konstitusi. Yang mana telah dengan jelas disebutkan bahwa kepala daerah adalah ia yang dipilih langsung oleh rakyat melalui proses yang demokratis.
"Di dalam konstitusi kita itu jelas bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Tapi sekarang kan akan ditunjuk seorang penjabat. Nah kewenangan untuk menunjuk penjabat kepala daerah itu kalau misalnya ia gubernur itu ada di Kementerian Dalam Negeri," sebut Suhardi Duka kepada WACANA.Info, Kamis (13/01).
Suhardi Duka yang ketua DPD Demokrat Sulawesi Barat itu pun berharap agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri bisa melihat persoalan tersebut secara lebih luas. Membicarakannya dengan banyak pihak, kata Suhardi, bisa jadi pilihan yang paling bijak.
Anggota DPR RI, Suhardi Duka. (Foto/Manaf Harmay)
"Itu dia masalahnya (penjabat kepala daerah bisa saja tak punya legitimasi). Penjabat itu kan sifatnya sementara. Anggaplah tiga bulan saja. Tapi ini sekitar dua sampai tiga tahun lamanya, nah itu apa namanya ?. Bagi saya itu bukan penjabat, tapi penjabat yang lama," sambung dia.
Selain Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar, enam gubernur lain yang akan mengakhiri masa jabatannya di tahun 2022 antara lain; Gubernur DKI Jakarta, Anies baswedan, Aceh, Nova Iriansyah, Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan, Banten, Wahidin Halim, Gorontalo, Rusli Habibie serta gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan.
"Harusnya melalui proses demokrasi, kalau kita mau bicara konstitusi. Kemendagri itu harusnya berkonsultasi dengan pimpinan DPR RI. Harusnya seperti itu supaya bisa diterima secara baik di daerah," beber Suhardi Duka, bupati Mamuju dua periode itu.
Terlepas dari hal di atas, Suhardi Duka menyimpan harapan agar penjabat kepala daerah di Sulawesi Barat hendaknya mengantongi pengetahuan yang cukup tentang kondisi daerah. Bukan ia yang baru ingin beradaptasi dengan persoalan dan potensi daerah.
"Tentu Eselon I. Tapi kan kita harap agar Eselon I yang ditunjuk itu benar-benar tahu kondisi di daerah. Memahami potensi wilayah. Kalau ternyata penjabat yang ditunjuk itu sama sekali tidak tahu kondisi di daerah, maka dia harus belajar dulu, menyesuaikan diri dulu. Itu kan perlu waktu lagi. Sementara di satu sisi seorang penjabat kepala daerah kita perlu agar keberlanjutan itu tidak terhenti. Harus memacu diri kan," terangnya.
"Kalau opsinya memperpanjang masa jabatan kepala daerah, yah tentu harus diubah Undang Undang dulu. Untuk saat sekarang ini, opsi itu tidak punya tempat di Undang-Undang. Untuk saat ini yah, kecuali kalau diubah Undang-Undangnya, misalnya dibuatkan Perppu," jelas Suhardi Duka tentang opsi memperpanjang masa jabatan kepala daerah.
Berbahaya Menempatkan Penjabat yang Tak Tahu Kondisi Daerah
Pemerintah pusat perlu memperhatikan banyak hal dalam hal menempatkan seorang penjabat kepala daerah. Sosok penjabat kepala daerah itu idealnya setidaknya punya modal pemahaman yang cukup kondisi sosiologis,ekonomi, budaya dan politik lokal. Terlebih jika yang bersangkutan harus duduk di posisi itu untuk rentang waktu yang terbilang cukup lama.
"Sangat berbahaya jika daerah justru dipimpin oleh mereka yang sama sekali tak punya pemahaman yang cukup dengan kondisi lokal daerahnya," akademisi Universitas Sulawesi Barat, Muhammad dalam penjelasannya.
Akademisi Unsulbar, Muhammad. (Foto/Facebook)
Bagi Muhammad, mendudukkan seorang penjabat kepala daerah tanpa melalui proses demokratis untuk waktu yang cukup lama bukan pilihan yang tepat. Secara politis, hal itu berpotensi mencederai semangat demokrasi lokal, sebab sejatinya sejak diberlakukannya Pemilukada, rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi memilih pemimpin sesuai hati nuraninya.
"Seorang penjabat kepala daerah selama dua sampai tiga tahunan. Itu artinya daerah akan dipimpin oleh kepala daerah bukan pilihan rakyat tapi penunjukan dari Kemendagri. Belum lagi berbicara substansi kewenangan seorang penjabat yang tentu masih ada batasan-batasa kewenagannya dibanding pejabat definitif. Sekali lagi dua atau tiga tahunnan itu sebenarnya sangat lama," simpul Muhammad. (Naf/A)