Memang, Pemerintah Tak Siap Hadapi Bencana...

Wacana.info
Sebagian Besar Bangunan SMK Negeri 1 Rangas yang Kini Rata dengan Tanah. Alat Berat Terpaksa Merubuhkan Bagunan di Sekolah Tersebut Lantaran Tak Lagi Layak Digunakan Pasca Diguncang Gempa Bumi 15 Januari 2021 Lalu. (Foto/Instagram Azhari Surahman)

MAMUJU--"Bercermin dari carut marutnya manajemen pengendalian pasca bencana di Sulbar, benar bahwa memang kita, pemerintah memang tak siap hadapi bencana. Yang ada hanya saling lempar tanggung jawab. Ini kewenangan kabupaten, ini kewenangan provinsi. Jadi, sudahilah tagline Sulbar bangkit itu sebab saat ini Sulbar sedang tidak baik-baik saja,".

Hal itu disampaikan koordinator aliansi masyarakat yang menamakan diri Sulbar Bergerak, Adi Riadi dalam pertemuan dengan para stakeholder penanganan bencana provinsi Sulawesi Barat di tenda darurat DPRD Sulawesi Barat, Rabu (3/03). 

Pertemuan yang difasilitasi DPRD Sulawesi Barat itu sengaja digelar untuk memberi ruang kepada Satgas penanggulangan bencana Provinsi Sulawesi Barat memberi penjelasan atas tuntutan yang sebelumnya disuarakan oleh Sulbar Bergerak. Dalam pertemuan tersebut, satu persatu OPD yang tergabung dalam Satgas memberi penjelasannya, meski ujungnya tak juga bikin Adi Riadi cs merasa tuntas untuk setiap tuntutannya.

Salah satu isu utama dalam tuntutan Sulbar Bergerak yang sempat dijelaskan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Barat pada pertemuan itu adalah tentang proses bantuan rehabilitasi rumah terdampak gempa bumi. Kepala sekretariat pos komando transisi darurat ke pemulihan bencana gempa bumi Sulawesi Barat, H. M Natsir sempat membeberkan progres permintaan bantuan untuk rumah terdampak gempa bumi itu.

"Baru kabupaten Majene yang sudah sampai pada pendataan tahap ketiga dan sudah ditetapkan lewat SK bupati, begitu juga Mamasa. Sekarang yang sangat ditunggu oleh BNPB adalah penetapan yang dilakukan Mamuju yang sampai hari ini belum ada. Masih ada dokumen lain berupa prasyarat administrasi lainnya yang mesti dilengkapi," urai H. M Natsir.

Ada tiga kategori kerusakan rumah warga yang rencananya bakal diguyur bantuan dari pemerintah. Tentu disesuaikan dengan tingkat kerusakan yang dialami.

"Kalau rusak sedang itu berlaku bagi rumah yang tingkat kerusakannya dari 30 sampai 70 Persen. Di atas 70 Persen itu masuk kategori rusak berat. Di bawah 30 Persen berarti dia rusak ringan," sambung H. M Natsir di hadapan para peserta pertemuan yang digelar dari siang hingga petang itu.

Jika seluruh proses pendataan rumah yang terdampak gempa bumi itu telah selesai, proses selanjutnya, kata H. M Natsir, adalah melakukan uji publik atas hasi pendataan tersebut. Ini penting agar masyarakat dapat melihat apakah rumahnya sudah didata atau belum, "Agar tidak ada anggapan bahwa pemerintah mengabaikan kepentingan rakyat. Termasuk pentusunan rencana aksi pemulihan," beber dia.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat berkomitmen untuk terus memback-up setiap upaya pemulihan pasca bencana gempa bumi yang terjadi pertengahan Januari 2021 lalu. Termasuk dalam hal pemenuhan persyaratan lainnya dalam hal bantuan rekonstruksi rumah warga yang terdampak bencana.

Pertemuan DPRD, Stakeholder Terkait dengan Aliansi Sulbar Bergerak. (Foto/Manaf Harmay)

"Pemprov akan terus mendorong ini semua sehingga masyatakat bisa segera merasakan manfaatnya. Ini penting untuk segera kita realisasikan sebab tidak lama lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, bagaimana ibadah itu bisa maksimal kalau masih ada yang tinggal di pengungsian. Kemudian tidak lama lagi anak-anak kita akan melaksanakan ujian nasional. Kami memahami bahwa di Kabupaten Mamuju sedang dalam masa transisi kepemimpinan. Makanya kita akan terus mendorong itu. Mempercepat kelengkapan administrasi untuk keperluan ini," urai H M. Natsir, pria yang juga Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra pemerintah Provinsi Sulawesi Barat itu.

Ribut-ribut soal ribuan tenda yang konon kabarnya tak juga terdistribusi. Atau tentang transparansi penggunaan anggaran penanganan bencana yang sumbernya dari sumbangan para donatur. Dua hal yang belakangan jadi tema utama yang dibicarakan publik, utamanya di panggung media sosial.

Hal tersebut seolah jadi alat untuk menegaskan kembali betapa sistem manajemen kebencanaan kita memang tak berjalan maksimal. Atau jangan-jangan memang tidak ada ?.

"Hal lain adalah dalam penanganan bencana ,seolah kita tidak melek atas regulasi yang ada. Sehingga dalam mengambil keputusan pemerintah gagap," keluh Adi Riadi.

APBD Tak Dirancang untuk Hadap-Hadapan dengan Bencana...

Benar bahwa tak satu pun yang menginginkan terjadinya bencana alam. Soal kapan dan bencana apa yang akan terjadi, minim pengetahuan kita untuk memastikan hal tersebut. Di titik ini, penting kiranya untuk kita semua menyiapkan segala sesuatunya sebelum bencana itu benar-benar terjadi.

Gempa bumi bersakal M 6,2 yang terjadi 15 Januari 2021 yang lalu menghentakkan seisi Sulawesi Barat. Masa tanggap darurat pun diberlakukan dengan harapan penanganan para korban gempa dapat dilakukan semaksimal dan secepat mungkin.

Lalu apa yang terjadi saat itu ?. Toh di beberapa sudut masih terlihat jelas para korban gempa yang tak kebagian bantuan. Yang mesti memaksakan lelapnya di tengah serba tidak layaknya pengungsian yang mereka tinggali. Miris. Sementara jelas di pelupuk mata betapa bantuan dari berbagai pihak itu terus berdatangan. Dari segala penjuru.

Wakil Ketua DPRD Sulbar, Abdul Rahim. (Foto/Net)

"Struktur APBD kita tidak boleh dipahami secara kaku. Artinya, memang benar bahwa APBD kita tidak dirancang untuk menghadapi sebuah bencana, itu benar. Karena kita tidak tahu bahwa akan terjadi bencana. Tapi bukan berarti APBD kita tidak memungkinkan untuk dihadapkan pada situasi atau upaya kita menjawab persoalan yang kita sedang hadapi. Ini harus diluruskan. Jangan karena APBD kita tidak perspektif dengan bencana, lantas kita mengalah dengan keadaan. Kebijakan selalu memberikan kelonggaran untuk itu. Termasuk disetiap APBD selalu disiapkan nomenklatur BTT (Biaya Tak Terduga). Salah satu item yang dimaksukan itu yah seperti bencana," papar Abdul Rahim, Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat.

BTT yang diporsikan ke dalam APBD Tahun 2021 ini jumlahnya mencapai Rp 15 Miliar. Adalah hal yang ironi menurut Rahim jika besarnya BTT tersebut belum digerakkan untuk penanganan pasca bencana ini. Kian miris, jika segala kebutuhan pasca bencana hanya mengandalkan bantuan logistik maupun uang tunai yang berasal dari para donatur.

"Kebijakan realokasi anggaran kan ada. Tinggal diperlukan duduk bersama, dikomunikasikan bersama dengan DPR kalau untuk realokiasi itu. Tidak bisa sepihak. Berapa anggaran yang akan direalokasikan untuk penanganan bencana, tinggal didiskusikan bersama," ucap politisi NasDem itu.

Tak sekadar mendudukkan kembali perencanaan anggaran, Rahim menilai, Provinsi Sulawesi Barat juga memerlukan sebuah perubahan untuk arah kebijakan pembangunan di masa mendatang. 

Suara yang dengan lantangnya diteriakkan oleh Sulbar Bergerak. Plus beberapa kasus tentang gagapnya pemerintah utamanya di masa-masa tanggap darurat bencana yang telah barlalu itu seperti jadi bukti sahih pemerintah memang tak punya kesiapan apa-apa soal penanggulangan bencana.

Sedang ke Rendah. Peta Indeks Kapasitas Daerah Provinsi Sulbar dalam Hal Penanggulangan Bencana. (Foto/BPBD Sulbar) 

Padahal di pasal 4 poin c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana secara tegas disebutkan; menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.

Mari mengingat kembali, apakah proses penanggulangan bencana yang dilakukan selama ini sudah terecana dengan baik, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh ?. Rasa-rasanya mendekatinya pun tidak. Yang ada adalah pemerintah memperlihatkan tingkahnya yang gagap utamanya di masa tanggap darurat kemarin. 

Sulawesi Barat yang jika dilihat dari peta tingkat risiko multi bencana memang masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Fakta tersebut mestinya bikin orientasi pembangunan di provinsi ke-33 ini juga mendudukkan sektor penanggulangan bencana alam di posisi yang strategis.

Peta Indeks Risiko Multi Bencana di Sulbar. (Foto/BPBD Sulbar)

Namun, hingga hari ini pemerintah absen untuk melahirkan payung hukum untuk menaungi urusan itu belum juga tersedia. Perda atau Pergub yang berbicara secara spesifik tentang penanggulangan bencana memang tak tersedia. Wajar jika kapasitas Provinsi Sulawesi Barat terhitung rendah dalam hal penanggulangan bencana.

Tentu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kita. Banyak hal yang mesti kita benahi, perbaiki. Termasuk kebijakan anggaran. Misalkan kebijakan kita harus dibuat regulasi tentang penanganan bencana. Itu bisa dijadikan panduan kita semua utamanya dalam hal penanganan keadaan emergency.

"Ke depan APBD harus mengakomodir kondisi itu. Saya kira kita harus memulai dengan hal-hal yang elementer terlebih dahulu. Harus dimulai dari pentusunan Perda yang mengatur secara detail tentang sistem manajemen negelolaan kedaruratan. Mengatur sirkulasi tanggung jawab di masing-masing OPD, bagaimana mereka menjalankan fungsi kedaruratannya masing-masing. Tidak seperti sekarang, masyarakat sudah berada di pengungsian berhari-hari, sementara kita masih kelabakan," tegas Rahim.

"Kita ingin melalui kebijakan APBD, manajemen bencana sudah kita punya. Tentu manajemen yang baik lagi ideal. Sehingga tidak terjadi lagi ketidak siagaan kita dalam mengambil langkah taktis di lapangan jika terjadi bencana," pungkas Abdul Rahim. (Naf/A)