Hukum Islam; Antara Teks dan Realita

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)
Lebih kurang 10 hari yang lalu tepatnya 6 Mei 2020, saya mendapat undangan menjadi salah satu pembicara dalam sebuah kajian online; hasil kerjasama STAIN Majene dan Kementrian Agama provinsi Sulawesi Barat.
Tema yang diberikan oleh panitia saat itu adalah membincang seputar fiqh Islam pada tataran Aksiologi. Hal menarik yang penulis rasakan adalah ketika dalam dialog tersebut salah seorang bertanya tentang pandangan fiqh Islam seputar masalah kebijakan pemerintah terkait pelarangan shalat jumat secara berjamaah pasca penyebaran covid-19.
Penulis sepenuhnya meyakini bahwa pertanyaan sejenis sudah terjawab oleh narasumber sebelumnya. Namun dimuncul kembali kemungkinan besar untuk mencari wawasan baru dengan pendekatan yang berbeda.
Secara singkat, penulis hanya meluruskan pertanyaan tersebut dengan berkata, "jangan katakan kita dilarang oleh pemerintah untuk shalat jumat secara berjamaah, tapi katakanlah bahwa kita diarahkan untuk melaksanakan sunnah Rasulullah khususnya pada masa penyebaran wabah".
Secara akademik ada sebuah fakta yang sangat mengemuka dalam kajian sejarah sosial hukum Islam, yaitu sebuah pergumulan yang tiada henti antara teks hukum dengan realitas sosial masyarakat.
Dalam konteks inilah upaya pembentangan teks atas realitas sosial yang kemudian mewujud dengan istilah ijtihad mengalami sedikit perlawanan. Ironisnya, trend metodologi yang dimaksud tenggelam oleh sejarah politik hukum dan luput dari pantauan diskursus pemikiran hukum bahkan hingga dewasa ini.
Akibatnya, dapat kita lihat sebuah PR dari masa lalu yang masih menganga lebar yang segera harus dituntaskan di masa kini.
"Sungguh Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mau bergerak untuk merubah (paradigma) dalam dirinya" (QS al-Ra'd : 11). Sebuah prinsip yang sengaja ditanamkan oleh Sang Pencipta yang kurang dilakukan oleh umat Islam terutama dalam pengembangan kapasitas keilmuannya.
Kenyataan historis yang mewarnai pemikiran Islam awal adalah bahwa memahami dan merealisasi idealitas suatu ajaran tidak boleh dilepaskan dari realitas manusia yang menjadi object ajaran itu. Sehingga fiqhi sangat menggambarkan situasi sosial yang membutuhkannya.
Sebagai konsekuensinya terjadi dialog yang sangat mesra antara dalil-dalil fiqhi dengan dalil empirik, karena realitas hidup manusia Islam tidak pernah merasa dirugikan oleh fiqhi yang ada. Justru sebaliknya selalu diuntungkan.
Sebut saja sebuah contoh yang ditampilkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah dialog (baca: curhat sipelanggar hukum) seorang sahabat seputar seberapa besar vonis sanksi yang harus diterimanya. Dalam kasus itu terjadi beberapa kali perubahan hukum sesuai kenyataan realitas dari sahabatnya itu yang menunjukkan keluesan hukum Islam.
Rasulullah SAW dilapori bahwasanya sahabat tersebut baru saja menggauli isterinya di siang hari bulan Ramadhan. Rasulullah kemudian memaklumatkan bahwa dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Sahabat itu kemudian curhat menyatakan ketidaksanggupannya. Rasulullah kemudian merubahnya dengan menyuruh untuk membebaskan budak.
Sahabat tadi kemudian berkata bahwa dia tidak memiliki budak. Rasulullah kemudian merubah vonis dengan memerintahkan untuk menyantuni fakir miskin di wilayah. Sahabat tersebut masih meminta dispensasi dengan berkata bahwa di wilyahnya dialah yang paling miskin.
Akhirnya Rasulullah sambil tersenyum menyerahkan sekantong kurma untuk di bawah pulang ke rumahnya. Dalam kasus ini sahabat tersebut setiap kali menerima bentuk hukuman dari Rasulullah. Ia menawar dan nabi menerimanya sehingga dia tidak terkena sanksi apapun malah diberi hadiah.
Kasus ini menunjukkan betapa kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah mencari teknis penerapan hukum sehingga masyarakat awam sekalipun semakin termotivasi untuk hidup dengan Islam.
Kasus ini pula mengisyaratkan kecerdasan sosial dalam melihat kondisi realitas sosial yang sementara berkembang. Hilangnya format fiqhi itu dalam perkembangan pemikiran hukum Islam terakhir telah menjadi salah satu sumber kelemahan dan ketidakberdayaan umat Islam dalam proses menemukan jati dirinya sebagai umat wasatiyyah yang akan menjadi pelopor peradaban kemanusiaan.
Kekeliruan kita selama ini adalah pembacaan teks terlalu banyak dengan melecehkan realitas hidup. Padahal meminjam istilah al-Syatibi, pembacaan teks dan proses pemaknaannya hampir sudah berakhir. Sementara pembacaan realitas (untuk menjadi bijak) adalah suatu proses yang tidak boleh berakhir bahkan sampai dunia kiamat. Wallahu a'lam bis shawab...
Rea Barat, 16 Mei 2020