Kedewasaan Bertuhan di Tengah Pandemi

Oleh: Muhammad Nasir (Ketua Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAIN Majene)
Bertuhan adalah percaya dan berbakti kepada Tuhan atau beribadah. Dalam Islam, ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti dia percaya kepada Allah SWT. Ucapan dua kalimat syahadat tersebut menjadi identitas bahwa dia beragama Islam.
Tetapi dengan ucapan tersebut tidak secara otomatis membuat sang pengucap berbakti kepada Tuhan. Tidak heran kemudian muncul stigma 'orang beragama hanya dalam identitas tetapi dalam realitas belum mampu menunjukkan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya'.
Dalam beragama, bukan hanya sekedar percaya kepada Tuhan. Masih terlalu banyak instrumen yang harus dipelajari dan diamalkan agar bisa disebut sebagai umat yang menjalankan ajaran agamanya secara kaffah.
Mestinya tujuan awal seseorang dalam beragama adalah untuk mendapatkan kemuliaan dengan mengenal dan melayani Allah SWT. Tetapi tidak sedikit orang yang terjebak dalam tumpukan aktivitas agama yang justru membuat mereka sombong di hadapan Allah.
Misalnya kasus yang melanda dunia saat ini yaitu wabah corona. Pandangan splinter sebagian muslim mengatakan 'jangan takut pada corona tetapi takutlah kepada Allah'. Argumen ini benar tetapi terlalu simplistis, karena tidak bisa dibandingkan antara ketakutan kepada Allah dengan ketakutan kepada corona.
Ketakutan kepada Allah adalah kewajiban bagi umat Islam yang akan membuat kita dekat kepada-Nya. Tetapi ketakutan kepada wabah corona adalah ikhtiar untuk menghindar dari wabah tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa orang yang mengatakan kalimat tersebut adalah orang yang beragama tapi tidak bertuhan.
Alasannya adalah pertama, ungkapan tersebut merupakan bentuk arogansi beragama di hadapan Tuhan. Kedua, menghindari segala wabah penyakit menular merupakan ajaran Tuhan dan juga termaktub dalam sabda Rasulullah.
Salah Satu Masjid di Kota Mamuju yang Ditutup untuk Sementara Selama Pandemi. (Foto/Illang Panjul)
Islam telah mengajarkan lewat al-Qur’an bahwa "Kalau engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasullah SAW) niscaya Allah akan mencintaimu" (Q.S. Ali Imran;3:31). Ayat ini menjadi ajaran pokok bagi umat Islam bahwa untuk membuktikan seseorang beragama sekaligus bertuhan, maka jadikan Rasulullah sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan.
Banyak orang hanya sekedar beragama sehingga mentalnya rapuh dan tidak bermoral. Hal ini bisa terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupannya. Pandemi covid-19 yang melanda dunia saat ini dapat menjadi parameter kedewasaan sesesorang dalam ber-Tuhan.
Setiap hari kita disajikan himbauan, maklumat, sampai kepada peraturan-peraturan pemerintah untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat membuat seseorang terpapar virus corona. Bahkan intervensi lembaga keagamaan khususnya umat Islam telah melahirkan fatwa MUI di pusat kemudian diikuti maklumat di berbagai daerah di Indonesia, yang pada intinya melarang masyarakat untuk berkumpul.
Implikasinya, shalat jamaah lima waktu dan shalat jum’at di Masjid diganti dengan shalat dhuhur yang pelaksanaannya dialihkan ke rumah. Bahkan amaliyah ramadhan tidak dapat dilaksanakan secara berjamaah di masjid pada tahun ini. Poin inilah yang paling krusial bagi sebagian umat Islam karena menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
Fatwa MUI pusat dan maklumat MUI di daerah menjadi sasaran kritikan sebagian umat Islam karena terkesan menjauhkan umat Islam dari masjid. Bahkan fatwa atau maklumat MUI tersebut dianggap 'angin lalu' yang tidak memiliki dampak hukum bagi mereka yang merasa ghirah keberagamaannya ternodai. Meskipun fatwa MUI tersebut disosialisasikan oleh para ulama yang masyhur di Indonesia agar kegiatan ibadah dialihkan ke rumah, tetap saja sebagian umat Islam tegas tidak mengikuti fatwa atau himbauan tersebut.
Padahal, fatwa para ulama terkait dengan pandemi covid-19 bukan hanya di Indonesia, tetapi diseluruh negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Termasuk di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Iran, Kuwait dan Mesir yang para muftinya bisa dikatakan sepakat atau ada ijma’ tentang shalat berjamaah dan shalat jum’at diganti dengan shalat dhuhur yang pelaksanaannya dialihkan ke rumah masing-masing. Ijma’ merupakan konsensus para mujtahid pada satu masa atas suatu hukum syara pada suatu kasus (Abdul Wahab Khallaf, 1994).
Eksistensi ijma’ masih debatable karena adanya persyaratan menghadirkan semua mujtahid dan mereka semua sepakat terhadap hasil keputusan ijma’. Jumhur ulama ushul fiqhi berpendapat apabila rukun ijma’ terpenuhi maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti). Kalau pelarangan shalat berjamaah ditengah pandemi corona saat ini diasumsikan sebagai ijma’ seluruh ulama, maka konsekuensinya kalau dilanggar berarti orang tersebut berdosa.
Lahirnya fatwa MUI terkait dengan pandemi covid-19, didasari oleh dalil-dalil agama dan pendapat ulama salaf. Di antaranya sabda Nabi saw, yaitu 'tidak ada seorang pun, ketika terjadi wabah, lalu ia di rumah saja dengan sabar dan yakin bahwa tidak ada yang menimpanya kecuali apa yang telah ditakdirkan Allah, melainkan ia akan memperoleh pahala seperti seorang syahid' (H.R. Ahmad bin Hanbal, no. 26139).
Penekanan pada hadis ini adalah salah satu ikhtiar manusia ketika terjadi wabah penyakit menular yaitu dengan mengisolasi diri di rumah agar terhindar dari penyebaran wabah tersebut. Wujud ikhtiar dalam hadis inilah yang diadopsi oleh pemerintah lewat peraturan perundang-undangan dan fatwa MUI untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Apa yang menjadi keputusan para ulama lewat fatwa atau maklumat merupakan bagian dari ajaran agama yang mestinya ditaati oleh umat Islam. Dalam al-Qur’an sangat jelas perintah untuk mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri termasuk di dalamnya umara dan ulama (Q.S. Al-Nisa’:4;59).
Ketidaktaatan umat Islam kepada putusan ulama dan umara sama dengan ketidaktaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena wujud ketaatan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah satu paket, sepanjang ulil amri membuat kebijakan yang tidak menyimpang dari keyakinan akan ke-Esaan Allah SWT, maka paket ketaatan dalam ayat tersebut wajib untuk ditaati.
Dengan keluarnya fatwa atau maklumat MUI tentang covid-19 yang didasarkan pada dalil-dalil naqli dan aqli, maka sebagai muslim seharusnya taat pada maklumat tersebut. Kedewasaan bertuhan menjadi tuntutan bagi umat Islam agar rukhsah (dispensasi) dalam menjalankan ajaran agama tidak dianggap sebagai upaya mendegradasi kualitas keimanan umat Islam. (*)