Sebenarnya Minggu  

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Abdul Muttalib (Pegiat Budaya)

Minggu adalah libur. Hari yang dipuja banyak insan, sekaligus ditunggu oleh banyak orang. Hari yang berpeluang diberi makna baru. Pemaknaan dalam melakukan persinggungan kemanusian yang jauh lebih manusiawi, setelah sepekan bekerja di ragam profesi dan model kesibukan. 

Minggu seolah hadir penuh permakluman. Membuka ruang untuk serangkaian hobi, keinginan, yang mungkin tak dapat dilakukan di luar dari hari Minggu. Minggu yang jika maknanya diperluas boleh jadi menjelman sebagai hari penuh kemungkinan. Kemungkinan untuk dijadikan sebagai wadah refleksi. 

Refleksi bersifat personal, sekaligus menjadi ruang perenungan kolektif berdimensi sosial. Ia sanggup melahirkan kebaruan kreativitas, inovasi, sekaligus memperkaya perspektif atas pencarian solusi dari iklim sosioreligius yang kini laten dihajar oleh serbuan persoala yang begitu menjenuhkan.  

Meski kini, Minggu itu terasa sulit tuk diajak menepi. Meski sekadar untuk mengakrabi sepi. Sepi dari bunyi tuts keyboard laptop. Sepi dari gelegar mesin pabrik. Sepi dari raungan kendaraan. Sepi dari serbuan gosip murahan khas infotainment. Sepi dari propaganda media yang girang menyerang sistem imunitas mental dan adab manusia. 

Minggu, kini sepertinya menjadi sebab alur pikiran, kondisi psikologis atau nuansa kebatinan tak lagi mengenal jeda dan rehat. Lebih banyak menghambur ke jalan menamba, ruwet arus kemacetan untuk sekedar piknik. Lebih memilih malarut dalam riuh-gelombang informasi media sosial. 

Ia terus dicekoki oleh banjir informasi. Seperti gadget dan televisi yang telaten menyuguhi skandal para petinggi dan selebriti. Atau menyajikan berita kriminal bernuansa sadisme, bahkan diimingi kuis dengan hadiah yang wow. Sinetron dan telenovela pun tak mau kalah. Keduanya menawarkan kisah sedih yang murung, penuh deraian air mata. 

Padahal Minggu sesungguhnya dapat hadir dengan rupa yang jauh lebih sederhana. Dinikmati seusai hujan meluruh. Menyeduh kopi seraya menyaksikan mekar bunga, untuk segera melipat buku agenda kerja sepekan, dan lebih memilih diam. Sebab kadang, "inti gerak itu adalah diam," kata empu tari, Sardono W Kusumo. (*)