Idul Fitri; Momentum Meretas Perbedaan Politik Pasca Pemilu
MAMUJU--"Sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia hendaknya tak melupakan dua tugas utamanya. Selain menjaga hubungan dengan Sang Pencipta, kita pun dituntut untuk senantiasa menjaga hubungan dengan sesama manusia,".
Hal tersebut diungkapkan politisi senior asal Sulawesi Barat, Salim S Mengga saat ditemui usai melaksanakan Shalat Jumat di salah satu masjid di kota Polewali, Jumat (7/06). Menurut Salim, kontestasi politik Pemilu April silam telah tuntas, saatnya untuk kembali mempererat tali silaturrahmi sesama kita.
"Momentum Idul Fitri ini hendaknya mempertegas salah satu tanggung jawab kita untuk terus menjaga hubungan sesama manusia. Tak peduli dengan beragam pilihan politik kita pada Pemilu yang lalu," papar Salim, politisi partai NasDem itu.
Sebagai sebuah kompetisi, Pemilu mewajibkan munculnya pemenang dan mereka yang kalah. Di mata Salim, kalah menang dalam Pemilu adalah hal biasa. Tak mesti jadi alasan untuk saling bermusuhan sesama kita, kata dia.
"Siapa tahu Tuhan memang punya rencana tersendiri khusus bagi mereka yang kalah di Pemilu. Sebab yang jauh lebih penting adalah keutuhan daerah kita, keutuhan bangsa kita sendiri. Momentum Idul Fitri kali ini harus menjadi penanda bahwa kita semua punya tujuan yang sama, yakni menjaga ketuhan bangsa, ketuhan daerah kita," urai Salim S Mengga.
Pelaksanaan Pemilu adalah hal yang lazim bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Ketua DPD Demokrat Sulawesi Barat, Suhardi Duka menegaskan, pesta elektoral itu tak boleh diterjemahkan sebagai sebuah peperangan.
"Seharusnya tidak ada yang cidera," sebuh Suhardi Duka.
Menurut dia, wajib bagi semua pihak untuk kembali bersatu, pasca pesta demokrasi lima tahunan itu. Apalagi dalam balutan hangatnya nuansa Idul Fitri, hari dimana kemenanan yang sesungguhnya berhasil diraih oleh setiap manusia.
"Kembali merajut merah putih dan mengibarkannya. Kita salam-salaman di hari yang fitri, di hari dimana kita bersama sama meraih kemengan yang sesungguhnya dari perang yang besar yaitu melawan diri sendiri dari nafsu keserakahan, kemunafikan dan kepura-puraan," beber Suhardi Duka.
Ia pun mengajak semua pihak untuk bersama-samma menciptakan atmosfer politik yang santun dan berpradaban, tidak beringas dan material.
"Karena hanya itu yang bisa melahirkan politisi yang jujur dan negarawan," pungkas Suhardi Duka, pria yang sempat memimpin pemerintahan di kabupaten Mamuju dalam kurun waktu 10 tahun itu.
Tantangannya Pasca Idul Fitri
Idul Fitri adalah puncak perjalanan dari ibadah puasa. Di hari kemenangan itu, predikat taqwa diberikan kepada siapa saja yang dengan sempurna menjaga hati dan pikirannya selama berpuasa.
Dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar menilai, Idul Fitri tidak cukup dengan kata maaf saja. Ia butuh konsistensi dalam merawat hati dan pikiran siapa saja yang menginginkan nilai dari hari kemenangan itu.
"Kalau Idul fitri adalah momentum untuk mendinginkan kembali suasana politik yang memanas gara-gara perbedaan pilihan, saya kira ini baru permulaan. Sebab tantangannya adalah pasca Idul Fitri, seberapa konsisten para politisi dan para simpatisan untuk merawat perbedaan politik di atas nilai-nilai kemanusiaan. Jika setiap momentum politik diwarnai dengan cara-cara yang tidak beretika, maka bisa dikatakan bahwa kata maaf pada Idul Fitri hanya ritualitas formil semata. Kita berharap, Idul Fitri dijadikan sebagai awal yang baik untuk merawat perbedaan pilihan politik sebagai hak asasi manusia tanpa harus saling menghina, mencela dan memfitnah, apalagi jika hubungan persaudaraan jadi retak," jelas Syarifuddin kepada WACANA.Info.
Menurut Syarifuddin, nilai kemanusiaan harus jadi hal yang ditempatkan di atas kepentingan politik semata. Salah satu bagian terpenting dari Idul Fitri adalah kembalinya kita kepada kehidupan yang normal.
"Kita bersyukur jika para politisi mampu menjaga nornalnya politik dari iri, dengki, saling fitnah dan saling mencela hanya karena perbedaan politik dalam setiap momentum politik," simpul Syarifuddin Mandegar. (Naf/A)