Semangat Persatuan dan Kesatuan, Itu yang Harus Diperkuat
JAKARTA--Purnawirawan perwira tinggi TNI-AD ikut mengomentari jalannya debat calon Presiden ke-IV yang digelar di hotel Shangri-La, Jakarta, beberapa waktu lalu. Isu pertahanan dan keamanan (Hankam) jadi hal yang paling disorot.
Dalam debat tersebut, Capres nomoe urut 01, Prabowo Subianto menyebut pertahanan dan keamanan Indonesia lemah dan rapuh dikarenakan minimnya anggaran pertahanan.
Mengomentari hal tersebut, Mayor Jenderal TNI (Purn) Johny L. Tobing, menilai, seorang Jenderal idealnya tak boleh menyatakan bahwa pertahanan negara sedang lemah.
"Seorang jendral nggak boleh ngomong kalau pertahanan kita lemah !. Itu termasuk membuka rahasia negara," beber Johny yang mantan Pangdam VI/Mulawarman itu seperti dikutip dari rilis media yang diterima WACANA.Info, Kamis (4/04).
Dalam debat tersebut, Prabowo menyoroti rendahnya anggaran pertahanan. Sementara Capres nomor urut 01, yang juga petahana, Joko Widodo mengatakan, pemerintah telah fokus pada investasi di industri pertahanan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan, meskipun anggaran masih terbatas.
Jokowi juga menyampaikan soal rencananya untuk menaikkan anggaran pertahanan menjadi 1,5 Persen dari PDB sejak menjadi Presiden dari tahun 2014. Namun, dalam perjalanannya sulit dilaksanakan karena pertumbuhan PDB yang lambat, sementara ada defisit anggaran yang tinggi.
Mengomentari pemaparan dari kedua Paslon, Johny, lulusan Akademi Militer tahun 1983 dari kecabangan Infanteri itu mengatakan, sejarah panjang Indonesia dari zaman perjuangan hingga 73 tahun merdeka, tidak pernah hanya mengandalkan alutsita saja dalam dotrin pertahanan negara.
"Kita sampai dunia ini kiamat nggak akan mungkin mengejar Amerika, China. Tapi kita tidak akan kalah dari mereka kalau sistem senjata sosial ini yang diperkuat. Apa itu? Semangat persatuan dan kesatuan. Nah persoalannya sekarang semangat itu sudah terbelah-belah," paparnya.
Johny menambahkan, dotrin pertahanan negara dijelaskan soal prinsip fundamental pertahanan itu harus mencakup kekuatan diplomasi, kekuatan intelijen, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, kekuatan finansial, kekuatan informasi, kekuatan hukum, dan kekuatan sosial budaya.
"Seharusnya pertarungan dalam debat itu di area itu, lebih ke strategi pembangunan, atau tepatnya pembinaan kekuatan itu," ujar purnawirawan perwira tinggi TNI AD tersebut.
Prabowo, yang mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu juga mengkritik soal anggaran pertahanan Indonesia yang hanya sebesar 4,4 Persen dari total pengeluaran pemerintah atau di bawah 1 Persen dari PDB.
Mantan Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu juga membandingkan dengan Singapura yang mengalokasikan 30 Persen dari pengeluaran pemerintah. Atau sekitar 3,3 Persen dari PDB untuk pertahanan.
Meskipun hanya dianggarkan di bawah 1 Persen dari PDB, menurut data Global Fire Power, kekuatan militer Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, ternyata menempati posisi 15 dari 137 negara menurut data dari Global Fire Power terkait Peringkat Kekuatan Militer 2019. Level ini satu tingkat di atas Israel yang berada di posisi 16. Sementara, Singapura, meski menggelontorkan dana militer 30 Persen dari GDP-nya, berada di peringkat 59. (*)