Tuhan dan tuhan-tuhanan
Kali ini tampaknya kita harus berbicara langsung tentang Tuhan dan tuhan. Pertama Tuhan dengan ‘t’ besar dan satunya dengan ‘t’ kecil. Yang pertama jumlahnya satu, lainnya banyak.
‘Tuhan’ adalah suatu otoritas, suatu hegemoni tunggal yang amat menentukan. Antara Tuhan dengan tuhan ada beda tingkat otoritasnya. Yang Tuhan mutlaknya nggak karuan, yang tuhan memusingkan setengah mati.
Sesungguhnya sampai kadar tertentu manusia memperoleh pinjaman otoritas dari Tuhan: kan aslinya hanya Tuhan yang rasional dan sah untuk menjadi pemilik satu-satunya segala otoritas. Tetapi karena Ia sangat murah hati, kita dipinjami juga. Atau mungkin semacam disuruh menyewa: ongkosnya adalah kepatuhan, cinta dan rasa syukur kepada-Nya.
Otoritas otentik Tuhan biasa disebut qudrah, otoritas pinjam di tangan manusia dinamakan iradah: Tuhan memberi keputusan Anda berambut lurus bagaikan ijuk, Anda menentukan rambut itu dikeriting di salon. Begitulah kira-kira penjelasan gampangnya. Tetapi permasalahannya, seberapa kadar otoritas yang dipinjamkan oleh Tuhan kepada Anda?
Seberapa berhak Anda menentukan diri Anda begini atau begitu. Seberapa sah Anda mengatur orang lain harus kayak gini, atau kayak gitu. Dan kalau ‘orang lain’ itu jumlahnya 180 juta, bagaimana pula menakar kebolehan itu? Gamblangnya, seberapa jauh ‘tuhan-tuhan’ itu boleh mengatur kehidupan Anda?
Sedangkan ‘tuhan-tuhan’ itu mungkin bernama iklan yang memvirusi Anda harus memakai pewangi apa. Atau koran-koran yang membangun pola berpikir Anda. Atau siaran TV yang mengarsiteki pandangan-pandangan hidup Anda.
Jadi kita masing-masing dan bersama-sama bisa kembali bercermin: siapakah yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah? Mana yang penting dan mana yang tidak?
Siapakah yang paling sah memilih sesuatu untuk diambil atau dibuang, didahulukan atau dikebelakangkan, diangkat atau dicampakkan, dijunjung atau diinjak, ditinggikan atau direndahkan, dimuliakan atau dihinakan?
Pengalaman sehari-hari Anda mungkin menjawab agak berbeda: baik-buruk yang menentukan adalah petugas penyangga moral, misalnya kepolisian resort, yang menentukan apakah Anda berkelakuan baik atau tidak dan mendapatkan Surat Keterangan yang menerangkan hal itu.
Untuk menentukan benar-salah adalah petugas pengemban ilmu, umpamanya Pembantu Rektor III di setiap universitas. Mahasiswa kalau mau tahu mana benar mana salah untuk dilakukan, tinggal bertanya kepada beliau. Minimal kepada Menwa.
Yang menentukan indah-jelek tentu saja adalah para perawat keindahan, misalnya produsen pewangi ketiak dan pemalsu wajah.
Kalau Anda memakai ‘tradisi liberal’ lain lagi: setiap manusia! Setiap manusia berhak menentukan nilai berdasarkan keyakinan dan anggapannya masing-masing.
Bahkan tak usah menjadi ‘liberalis’ untuk menyatakan demikian: patokan dasar komitmen kebangsaan dan kenegaraan kita sendiri menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Atau dengan tradisi latihan empati demokrasi, Anda akan menjawab: yang menentukan adalah hasil tawar-menawar dalam kebersamaan hidup manusia.
Atau karena Anda sedang jengkel oleh berkuasanya sistem-sistem sosial besar yang amat sempit memeluangi tawar-menawar kolektif, Anda lontarkan sinisme: “Yang menentukan adalah topdown guidance”. Barangkali maksudnya adalah “Petunjuk Bapak!”.
Anda yang lain ikut nyeletuk: “Tuhan de facto adalah yang berkuasa dalam politik dan yang unggul dalam ekonomi.”
Anda yang lain lagi pakai bahasa dongeng: “Yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk dan lain sebagainya itu ada tiga. Pertama, makhluk yang keberadaan dan kehadirannya membuat ngeri semua orang. Kedua, makhluk yang sekali bersin keluar dari lubang hidungnya uang miliaran rupiah. Dan ketiga, makhluk yang mengendalikan peralatan komunikasi zaman: pers, jurnalisme audiovisual, iklan-iklan!”
John F. Kennedy pernah sempat meromantisir peran karya seni dalam sejarah dengan ucapannya yang terkenal, “kalau politik kotor, puisi yang membersihkannya.”
Dari situ kita menangkap ada dialog sejarah antara berbagai wilayah fungsi dalam sejarah. Antara berbagai macam pelaku sejarah terdapat kesejajaran posisi, kesediaan untuk saling mendengarkan, untuk saling belajar dan menghargai satu sama lain. Antara satu orang dengan lainnya, antar institusi, antar kelompok, antar profesi, antar bidang. Kekuasaan tidak menggumpal, hanya pada salah satu komponen sejarah.
‘Suku’ kesenian mengapresiasikan otoritas politik dan birokrasi karena kehidupan bernegara memang memerlukan sistem otorisasi. Demikian juga sebaliknya pemerintah dan kekuasaan juga menyediakan empati kepada kesenian, karena suatu pemerintahan selalu memerlukan kontribusi menuju pemberbudayaan dan pemberadaban bangsa yang diurusnya.
Demikian jugalah saling empati itu berlangsung antar para profesional, antar bangunan dan kantong sosial, antara eksekutif, legislatif, yudikatif, serta apa pun ornamen-ornamen dalam sejarah. Manusia, pada tataran fungsi dan titik orbit mana pun dan kapan pun, senantiasa membutuhkan sawang-sinawang, saling bercermin dan saling mengoreksi.
Akan tetapi Amerika Serikat sendiri ternyata adalah ‘tuhan’ bagi masyarakat dunia. Bahkan jenis ‘tuhan’ yang mengerikan.
Dan ternyata, dalam skala yang berbeda-beda, masyarakat bumi ini—di rumahnya masing-masing—juga tidak sedikit yang memiliki ‘tuhan’ mereka sendiri-sendiri. Sebatas mana pikirannya boleh mengembara dan kakinya boleh melangkah: sudah tersedia pedomannya di corong radio, layar teve, pidato upacara, suara dari kabel telepon, atau yang terpapar di forum-forum training moral nasional.
Bagaimana tampil beda, macam mana hidup yang penuh gengsi, apa model pakaian yang mesti dibeli: sudah ada ‘firman’-nya di lembar-lembar iklan. Bahkan sebotol minyak goreng menentukan sehat-tidaknya akal manusia.
Sekarang ini ‘tuhan’ duit sedang menggarap ‘potensial tuhan’ yang selama ini belum sungguh-sungguh disentuhnya. Dunia pers secara teoritis, jika punya idealisme, bisa memperjuangkan suara ‘Tuhan’ melawan otoritas ‘tuhan’. Tetapi di negara-negara yang demokrasinya masih try out, pers memang ada tiga macam.
Pertama, yang bersikeras menegosiasikan nilai-nilai, misalnya, kayak apa yang demokratis dan yang tidak. Pers macam ini jargonnya adalah “Insya-Allah cepat mati”. Jenis kedua, pers yang tiap hari menjelang deadline menyanyikan lagu “Whatever You Say, My Lord”. Dan adapun pers jenis ketiga adalah yang mengajari masyarakat bahwa mempertontonkan separuh buah dada dan paha serta tonjolan misterius di pangkalnya itu lebih penting dan lebih ada harganya dibanding pergi ke gereja, ke masjid atau ke kuil.
Sebabnya sederhana: kalau Anda punya teve swasta, infrastruktur kreatif dan produktifnya sama sekali tidak siap. So, umbar saja suguhan impor itu sekenanya. Pokoknya tuhan kita adalah ideologi pasar. Adapun soal pendidikan, kepribadian dan keberbudayaan bangsa, itu kan urusan Tuhan, bukan urusan tuhan.
Jadi saya ucapkan selamat menikmati suguhan tuhan-tuhan semu, yang membuat mimpi-mimpi semu. Merekalah guru besar putra-putri Anda.
Diambil dari buku OPLëS, Emha Ainun Nadjib, Mizan, 1995.
(Sumber: www.caknun.com/)