Menuju Pemilu 2019; Partai dan Elektabilitas Caleg
Oleh: Suhardi Duka (Ketua DPD Demokrat Sulawesi Barat)
Pada dasarnya, Pemilu adalah hal yang tidak asing bagi Indonesia karena sejak tahun 1955 di awal kemerdekaan sudah tradisi ini sudah dimulai. Walaupun memang setiap kali Undang-Undang selalu diperbaharui setiap pelaksanaan Pemilu itu.
Pemilu tahun depan diikuti oleh 16 partai politik. Termasuk empat partai politik baru dan menggunakan sistim perhitungan baru yaitu sainte legue Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 sebagai landasannya. Pertanyaannya, siapa yang berpeluang untuk memenangkan Pemilu 2019 ?.
Tentu setiap partai politik berniat untuk menang dan berusaha untuk mendudukkan sebanyak mungkin kadernya di parlemen. Dalam beberapa pengamatan dan praktek yang dilakukan, untuk bisa menang minimal ditentukan oleh dua hal besar.
Pertama, kapasitas partai politik dan kedua elektabilitas Caleg. Sungguh banyak orang yang baik dan berkemampuan masuk dalam daftar calon di partai politik tertentu kemudian tidak terpilih. Sebaliknya, ada juga figur yang biasa-biasa saja, cenderung dipandang sebelah mata justru terpilih.
Mengapa demikian ?. Karena adanya pengaruh partai yang ditempati.
Dalam partai politik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kekuatan dan citra partai. Yang dijadikan rujukan masyarakat dalam hal ini adalah siapa yang memimpin partai itu, mulai dari pusat sampai ke daerah, serta sejauh mana partai itu mampu menciptakan struktur dan konsolidasi sampai ke tingkat ranting atau desa. Yang terakhir adalah kiprah dan citra partai itu di publik.
Ketua partai adalah simbol dan wibawa partai. Bila dipimpin oleh orang yang memiliki nama baik di publik, maka partai akan besar. Ukurannya tidak pada kedudukan formal, tapi pada citra di publik. Selanjutnya struktur partainya, kalau akarnya besar dan merata di semua wilayah, maka pohon itu kuat.
Bila tingkat kepengurusan hanya pada tingkat kabupaten tidak sampai di kecamatan dan desa, kondisi itu tidak mendukung partai untuk bisa menjadi kuat. Demikianpun citra dan azasnya, kalau hanya nasionalis atau religius saja maka segmennya terbatas. Biasanya menganut keduanya; nasionalis religius.
Kekuatan partai berpengaruh signifikan terhadap perolehan kursi pada setiap Pemilu. Sebagaimana partai Golkar, kalah dalam pemilihan Presiden, tapi kursinya tetap signifikan dan selalu menempati posisi kedua. Mengapa ?, itu karena Golkar memiliki struktur yang baik, walaupun sekarang juga sudah banyak partai yang memiliki kepengurusan sampai di desa.
Partai oposisi atau partai penguasa, dua sisi yang berbeda dapat menjadi keuntungan, dapat pula menimbulkan kerugian. Bila tingkat kepuasan publik mencapai ekpektasinya, maka menjadi keuntungan bagi partai penguasa. Tapi justru menciptakan konflik kesenjangan dan ketidakpuasan dan bisa menjadi keuntungan oposisi.
Bisa saja penguasa di pusat tapi justru oposisi di daerah. Atau oposisi di pusat tapi penguasa di daerah.
Selanjutnya bagaimana dengan Pemilu 2019 yang bersamaan dengan Pilpres. Dalam analisa saya, ada sekitar 30 Persen pemilih yang pilihannya linear dengan pilahan partai dan calon presiden, dan 70 Persen lagi yang memilih berbeda dengan pilihan Presiden dan partai pendukungnya. Mengapa ?, karena kekuatan Caleg lokal bisa merubah pilihan Presiden dan partainya.
Banyak juga pengurus partai yang tidak pede, ingin mengambil Caleg lemah karena takut kalah secara internal. Ini adalah managemant partai yang lemah. Karena hanya menghitung pengurus, intinya mendapat kursi. Bila dalam satu Dapil mengajukan Caleg kuat lebih dari empat sampai lima orang, maka kemungkinan partai itu bisa memperoleh kursi lebih dari tiga. Tapi bila mengajukan hanya satu orang Caleg yang kuat diinternal partainya bisa jadi partai itu tidak mendapat kursi sama sekali.
Dalam Pemilu 2019, mau tidak mau kita akan menemukan sesuatu yang tidak disangka. Mengapa ?, karena masyarakat pemilih belum sepenuhnya sadar akan pilihannya. Banyak wilayah-wilayah yang pragmatis, artinya pemilih yang dibayar. Pemilih seperti ini akan manghasilkan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan bahkan hanya mampu duduk diparlemen tapi tidak mampu memperjuangkan harapan publik.
Untuk mengatasi hal yang demikian, partai politik dan elite politik harus bisa memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar terjadi demokrasi yang lebih sehat dan bermanfaat. Memilih orang yang memiliki kapasitas dan punya kompotensi yang akan mewakili di DPR-RI, dimana mereka akan membuat Undang-Undang yang masa berlakunya sampai 20 tahun ke depan diperlukan kajian mendalam, demikianpun dengan kepentingan daerah yang begitu besar harus deperjuangkan di pusat agar kehadiran anggota legislatif dirasakan manfaatnya oleh pemilihnya.
Demikianpun halnya wakil-wakil di daerah. Sebaiknya jangan memilih yang tidak bagus tabiatnya dan tidak memiliki reputasi baik di publik.
Kesalahan memilih adalah penyesalan yang berlanjut. Banyak konstituen kecewa atas hasil pilihannnya. Pertama karena yang dia pilih tidak bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan pilihannya tidak kenal apalagi dia mau memperjuangkan nasibnya, bahkan membuat jarak dengan masyarakat.
Dalam Pemilu, rakyat menempati posisi yang lemah karena ia terlebih dahulu memberi suara kemuadian berharap perubahan. Di sisi lain yang dipilih jika sudah duduk merasa di atas angin di jabatan yang diperoleh tanpa menyadari rakyat memilih karena mempunyai harapan untuk diperjuangkan.
Kondisi seperti ini tidak sehat dalam politik. Untuk itu agar demokrasi sehat maka Indonesia masih perlu pendidikan politik dan demokrasi agar terjalin kerjsama antara yang memilih dan dipilih.
Pemilu 2019, saya meyakini akan lebih baik dari pada Pemilu sebelumnya. Mengingat pengalaman rakyat pemilih sudah ada, namun ekspektasinya tidak terlau tinggi karena kelemahan-kelemahan masa lalu masih akan terulang. Sistim politik yang baik dan kesadaran masyarakat yang baik pula akan melahirkan demokrasi yang sehat. Bila keduanya masih rendah, tentu belum bisa berharap banyak.
Siapa pemenang di Pemilu 2019 tidak semata ditentukan oleh publikasi dan brending mobil yang banyak. Justru karya dan ketulusanlah yang akan menjadi salah satu barometer politik dalam Pemilu 2019. Dan nantinya itulah yang jadi pemenang. (*)
Mamuju, 9 oktober 2019
S D K