Kontribusi Generasi Milenial di Tahun Politik

Wacana.info
Shalahuddin. (Foto/Istimewa)

Oleh : Shalahuddin

(Divisi Riset Wacana & Media ESENSI Sulawesi Barat, Ketua Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Mamuju)

Kontestasi politik pemilu 2019, posisi kalangan millennial secara bertahap mulai mendapat sorotan dan atensi dari berbagai pihak. Betapa tidak, secara kuantitatif populasi mereka dianggap cukup potensial untuk menggerakkan grafik prestasi partai politik mendulang suara di bilik tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini wajar saja sebab faktanya menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55 persen pada pemilu tahun 2019 nanti.

Tak hanya sampai disitu saja. Selain keberadaan mereka yang dapat memberi kontribusi positif terhadap capaian parpol pada pemilu, kalangan millennial juga dapat bergerak sekaligus sebagai bagian dari pendongkrak popularitas parpol hingga politisi yang menjadikan media sosial sebagai alat preferensi gerakan sosialnya.

Kendati elit partai politik memahami bahwa menggerakkan kalangan millennial dengan sederet kepentingan mendongkrak posisi elektoralnya tak semudah yang dibayangkan. Sebab kalangan millennial memiliki konstruksi berpikir sendiri. Kecenderungannya yang individualistik menjadi satu diantara karakter yang menempel pada mereka. 

Termasuk referensi dalam mengonstruksi paradigma terhadap wacana publik dan politik yang sedang bergulir. Berikut dengan menggunakan pola mainstream yang mereka tempuh dalam memenuhi kebutuhan informasi mereka tentang politik yakni melalui media daring. Demikian halnya dengan kepentingan mereka diera digital pada tahun politik ini. Kalangan millennial melihat tahun politik yang kini sedang bergulir dapat menjadi peluang bagi mereka. 

Meski kelompok sosial ini sesungguhnya juga sedang dilanda dilema. Dalam hal ini tentu akan diperhadapkan pada dua dimensi narsis atau eksis didunia maya dengan beragam identitas hingga suara politik mereka. Melalui segala kondisinya yang kerap kontroversial, mengakomodir kalangan millennial merupakan hal yang patut untuk menjadi atensi bersama . Karenanya media sosial pun menjadi keniscayaan bagi elit politik yang hendak memanfaatkan keberadaan kaum millennial ini.

Seperti kita ketahui bagi kalangan millennial, media sosial sekaligus ruang yang memberi mereka tantangan. Faktanya media sosial wadah generasi millennial berkumpul menjadi tantangan tersendiri. Secara positif media sosial memantik mereka untuk terus menggali kreatifitasnya melalui unggahan-unggahan mereka.

Namun pada ruang lain, media sosial dapat menjadi malapetaka bagi mereka. Apalagi jika dikaitkan dengan politik. Kondisi psikis mereka yang kerap masih labil dalam menanggapi isu turut menjadi hal yang patut untuk menjadi fokus elit parpol jika hendak memanfaatkan mereka sebagai agen sosialisasi. 

Proses kreatif yang menjadi tawaran mereka dalam produksi konten kampanye tak selalu seiring dengan sikap reaktif yang kerap dihadirkan saat menanggapi wacana yang tak menguntungkan ruang ekspresi mereka. Keberadaan kaum millennial yang disokong oleh lahirnya media sosial membuka akses yang begitu luas. Siapapun bisa menjadi content writer sehingga tidak mengherankan ketika media sosial benar-benar menjadi media bebas yang diisi konten positif maupun negative.

Kita tidak sedang ingin memperdebatkan siapa yang salah. Media sosial atau kaum
millennial kah yang keliru pada ruang ini. Tetapi yang jelas hari ini adalah media sosial adalah tantangan kita bersama, ini perang mengenai siapa yang paling mampu mengisi konten tersebut. Olehnya, politisi sebagai bagian dari pemilik kepentingan ini punya tanggung jawab untuk tetap memberikan edukasi politik atau konten yang positif kepada generasi millennial.

Sehingga kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran politik yang positif. Edukasi tersebut termasuk didalamnya dengan memberinya akses dan ruang terhadap panggung politik. Baginya, orientasi politik dimedia sosial bukan sekedar pada figur atau calon yang menjadi “Ayah” bagi mereka. Tetapi sebagai “teman” bagi mereka. Karena politik tidak sekedar membicarakan kompetisi. Karena kecenderungan interaksi yang terbangun di media sosial adalah relasi yang egaliter.

Artinya, kita hendak mengajak politisi beserta followernya untuk mengambil bagian dari proses mengaktifasi budaya bijak berteknlogi. Sehingga kehadiran politisi hari ini tidak menjadi sumbu atas munculnya kekecewaan kalangan millennial yang nantinya terabaikan pasca kontestasi politik selesai. Karena mereka hanya didekati untuk kepentingan efektifitas kampanye saja. 

Kekhawatiran inilah pernah diungkapkan oleh Daniel Wittenberg tahun 2013 lalu dan jangan sampai terjadi. Pada konstalasi politik lokal di Sulawesi Barat, kita dapat melihat secara gamblang media sosial diwarnai dengan kehadiran generasi millennial. Kehadirannya tidak sekedar dijadikan bumper. 

Tetapi turut dimasukkan sebagai bagian dari aktor politik kendati pada saat yang sama mereka pun sesungguhnya menjadi korban atas praktek politik praktis di akar rumput. Mereka tampak terombang ambing pada substansi yang jika dirunut tak juga Ia pahami asal usulnya.

Karenanya, selain mendorong kalangan millennial dalam konsolidasi demokrasi yang digulirkan melalui media sosial, patut juga kiranya untuk tetap memandu mereka dalam mengenal banyak hal yang hanya bisa dipelajari di lapangan. Sebab teknologi hanya alat pendukung. Sedangkan politik kita masih harus menemu kenali dinamika yang tidak terakomodir dalam jangkauan teknologi informasi. (*)