Melihat Putusan Bawaslu yang Loloskan Eks Koruptor dari Sudut Pandang Sosiologis dan Normatif

Wacana.info
Muhammad Yusuf. (Foto/Manaf Harmay)

MAMUJU--Bawaslu Mamuju memerintahkan KPU Mamuju untuk mengakomodir Bacaleg usungan PKS Dapil II Mamuju atas nama, Maksum Dg Manassa ke dalam Daftar Calon Sementara (DCS).

Dalam sidang sengketa Pemilu yang dipimpin oleh Ketua Bawaslu Mamuju, Rusdin beserta pimpinan Bawaslu Mamuju lainnya beberapa waktu lalu, juga diputuskan adanya pembatalan berita acara KPU Mamuju nomor 81/PL014-BA/7602 KPU- KAB/VIII/2018 tentang penetapan DCS Anggota DPRD Kabupaten Mamuju pada Pemlihan Umum 2019 yang diterbitkan pada tanggal 11 Agustus 2018 lalu.

KPU sedianya tak meloloskan alias menyatakan Maksum Dg Manassa sebagai Bacaleg Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Itu lantaran KPU menemukan fakta bahwa 'jagaon' PKS di Dapil II Mamuju itu pernah terlibat kasus korupsi. Berdasarkan PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019, pasal 4 ayat 3 dalam PKPU tersebut disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar Narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. 

KPU juga dalam proses pencalonan juga berdasar pada PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018.

Sementara Bawaslu Mamuju yang pada akhirnya memutuskan agar KPU mengakomodir Maksum Dg Manassa ke dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Pemilu 2019 beralasan, PKPU di atas bertentangan dengan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang di salah satu pasalnya disebutkan bahwa bagi mantan narapidana dilarang mencalonlan, kecuali jika secara terbuka melakukan pengumuman ke publik.

Menyikapi dua aturan yang faktanya saling bertolak belakang tersebut, praktisi hukum tata negara dari Universitas Tomakaka (Unika) Mamuju, Muhammad Yusuf menjelaskan, semua pihak terkait hendaknya melihat kasus itu dengan menggunakan ragam pendekatan. Bukan hanya melihatnya dari kaca mata hukum normatif saja.

"Yang pertama, mari kita gunakan prespektif sosiologis. Kenapa PKPU itu lahir, itu karena saya dan kita semua sepakat agar para calon yang terpilih nantinya adalah mereka yang tidak pernah terlibat kasus korupsi, Narkoba atau pelecehan seksual," kata Yusuf saat ditemui di salah satu Warkop di Mamuju, Minggu (2/09).

Menurutnya, benar bahwa baik PKPU dan Undang-Undang yang digunakan sebagai dalil KPU dan Bawaslu dalam keputusannya itu saling bertolak belakang. Di PKPU tegas, melarang pencalonan eks koruptor, terpidana kasus Narkoba dan pelecehan seksual. Sementara di Undang-Undang, membolehkan pencalonan para narapidana dengan catatan telah mengumumkannya ke publik.

"Kemudian, kalau kita gunakan sudut pandang normatif, karena PKPU dianggap bertentangan dengan Undang-Undang, maka hendaknya tidak boleh ada putusan apapun sebelum ada hasil judicial review terkait kedua aturan tersebut dari Mahkamah Agung (MA)," sambung Yusuf, pria yang juha sekretaris LBH Mandar Yustisi ini.

Belakangan, menunggu hasi judicial review dari MA tentang kedua aturan di atas juga menjadi rekomendasi KPU RI dalam surat edarannya yang juga diterima KPU Mamuju belum lama ini. Diloloskannya eks narapidana kasus korupsi ke dalam DCS yang menjadi keputusan Bawaslu itu rupanya juga terjadi di sejumlah daerah lain di Indonesia.

Dikutip dari Kompas.com, Ketua  KPU RI, Arief Budiman menuturkan, pihaknya akan menunggu putusan akhir MA judicial review PKPU tentang Pencalonan legislatif. Hal itu dinilainya sebagai solusi untuk mengakhiri polemik diloloskannya sejumlah Bacaleg mantan narapidana korupsi oleh Bawaslu belakangan ini. 

"Dalam pandangan saya, salah satu pintu menyelesaikan persoalan ini adalah PKPU itu bisa di-judicial review," ujar Arief di gedung KPU, Jakarta, beberapa waktu lalu. (*/Naf)