Paradigma

Ramadhan dan Abdi Gemawan

Wacana.info
Manaf Harmay. (Foto/Istimewa)

Oleh: Manaf Harmay (Pemimpin Redaksi WACANA.Info)

Malam itu, tumben blackberry jenis classic kepunyaanku berdering. Maklum, setelah sekian lama, gadget ku yang satu itu sudah jarang
kugunakan bagi keperluan komunikasi. Kini, ia lebih sering ia kumanfaatkan untuk kepentingan pekerjaan.

Bergegaslah aku mengengok handphone yang kala itu kuletakkan tak jauh dari tempatku merebahkan badan. Benar saja, deringan telepon tersebut rupanya berasal dari panggilan salah seorang teman yang sudah kuanggap adik sendiri. Abdi Gemawan namanya.

Terhitung telah lama ia tak menelponku. Dulu-dulu, terbilang rajin ia menghubungiku. Berdiksusi tentang banyak hal, atau bahkan sekedar 'curhat' tentang ragam persoalan yang ia rasakan. Saya pun sudah cukup terlatih untuk jadi pendengar yang baik, jika bukan jadi pemberi solusi atas hitam putih persoalan yang ia kisahkan kepadaku.

"Apa ji kandiq ?," tanyaku kepada Abdi Gemawan begitu panggilannya aku terima.

"Yak tidak ji kakak. Rinduki sama kamu," jawabnya sambil mempedengarkan tawanya yang sayup.

"Ooh, kukira kenapako lagi," caraku menimpali apa yang jadi jawabannya itu.

Seolah tak kubiarkan ia melanjutkan percakapannya, aku pun menimpalinya dengan satu pertanyaan yang sesungguhnya cukup menohok bagi pria yang akrab disapa Wawan itu.

"Puasa jeko itu aaa ?," begitu tanyaku kepadanya.

Pertanyaanku itu bukan tanpa alasan. Wawan, setahu ku adalah pria yang terbilang jauh dari kesan agamawan. Sebagai seorang muslim, cukup jarang aku melihatnya menjalankan ibadah layaknya penganut agama Islam lainnya. Pun begitu dengan tindak tanduknya sehari-hari. Gayanya yang ceplas-ceplos, serta jauh dari kesan pria baik-baik, membuatku punya kesimpulan sendiri soal cara dia menjalani bulan Ramadhan ini.

Namun, sungguh terkejutnya aku saat ia menjawab pertanyaanku soal ibadah puasa di atas. Dengan nada lumayan meninggi, serta kecepatan bicara yang berlipat ganda, ia dengan tegas bilang begini;

"Astaghfirullah. Masa bertanya begituko kakak. Yak puasa lah. Saya ini sudah sembahyangnya cuma hari Jumat, naik haji belum, sedekah juga belum apa-apa, masa tidak puasa lagi. Minimal, Ramadhan ini, saya puasa Kakak. Belum ada batal puasaku ini tahun. Tidak kayak tahun-tahun kemarin," jelas Wawan dengan yakin.

Pada titik itu, tersadarlah aku bahwa puasa di bulan Ramadhan memang selalu menyimpan keistimewaan tersendiri. Betapa puasa itu punyan tempat yang spesial di sisi Tuhan. Bahkan, dari berbagai literatur disebutkan, nilai pahala puasa langsung diterima oleh Sang Maha Pencipta. Tanpa perantara.

Bukan tidak mungkin, orang seperti Abdi Gemawan-lah yang benar-benar memahami keistmewaan ibadah puasa itu. Bisa jadi ia telah menyadari bahwa dengan berpuasa, ia telah menahan diri untuk tidak melakukan sejumlah hal yang bisa membatalkan puasa itu sendiri, meski sesungguhnya ia mampu melakukannya.

Atau boleh jadi, Abdi Gemawan tak menyadari bahwa dengan komitmennya untuk berpuasa di bulan Ramadhan ini, ia pun mengamini apa yang juga Tuhan sedang lakukan. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib dalam bukunya 'Tuhan Pun Berpuasa' bahwa Tuhan tetap memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungkan berbagai pengkhianatan manusia terhadap-Nya. Tuhan 'berpuasa', menahan diri dari murka-Nya terhadap manusia.

Puasa adalah 'milik khusus' di haribaan-Nya. Sampai-sampai Ia mengorbankan diri-Nya seakan-akan Ia butuh sesuatu dari ibadah
manusia. Padahal puasa merupakan proses dasar pembebasan dan penyelamatan manusia atas dirinya sendiri.

Percakapanku dengan Abdi Gemawan pun berlanjut.

"Dimanako ini ?," tanyanya kepadaku.

"Di rumahka Dek. Apa ji ?," kujawab pertanyaanya sekaligus kuberi ia pertanyaan lanjutan.

"Mau ka kasi kembali koper," ucapnya.

Tak lama setelah percakapan itu usai, si Wawan pun bertandang ke rumah. Ia menepati janjinya dengan mengembalikan koper yang ia pinjam sejak beberapa hari yang lalu.

Terima Kasih Abdi Gemawan....