Terusir di Tanah Sendiri, Begini Kisah Miris dari Sosok Rubaedah

Wacana.info
Rubaedah dan Kediamannya. (Foto/Hamzah)

Rumahnya tak begitu luas, jika enggan menyebutnya sempit. Atapnya terbuat dari seng tua, begitu pula di bagian dinding yang hanya ditutupi beberapa lembar seng.

Rumah berbentuk panggung itu ditinggali perempuan paruh baya. Rubaedah namanya. Kondisinya kian memprihatinkan tatkala ia mesti tinggal sebatang kara di tengah himpitan ekonomi yang semakin sesak.

Kala hujan plus angin kencang mendera, rumah yang ditinggali Rubaedah terancam roboh. Tiang-tiang penyangganya pasti bergoyang.

Lebih jauh ke dalam rumah tersebut, kita mesti sedikit berhati-hati. Langkah demi langkah hendaknya diletakkan sepelan mungkin lantaran lantai di rumah tua itu juga telah lapuk. Salah-salah jatuh kita. 

"Dulu waktu masih ada daros (musim panen), biasaji pergi. Tapi sekarang, sudah tidak kuat lagi. Yah apa lagi tidak adami juga daros sekarang," ungkap Rubaedah menceritakan aktivitasnya saat ini.

Tidur hanya beralaskan papan rapuh serta sepotong selimut lusuh ia jadikan cara untuk bertahan dari cuaca yang kadang tak menentu. Sebab, jika hujan turun, seluruh ruangan basah kuyup.

Urusan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Rubaedah cukup sudah merasa cukup dengan bantuan dari sejumlah tetangganya. Para tetangga Rubaedah rupanya ikut-ikutan miris melihat kondisi perempuan itu.

Rubaedah yang tinggal di desa Bonra, kecamatan Mapilli, Polman itu mengaku belum sekalipun merasakan sentuhan bantuan dari pemerintah. Apakah itu dari PKH (Program Keluarga Harapan) atau dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

"Belum ada bantuan pemerintah. Karena menurut orang-orang, hanya  yang punya anak sekolah saja berhak mendapatkan bantuan dari PKH," ungkapnya.

Kondisi Rubaiedah kian miris tatkala tanah tempat rumahnya berdiri itu kini telah jadi milik orang lain. Ia sendiri tak pernah tahu, tak sekalipun diberi tahu soal apa dan bagaimana alur ceritanya hingga lokasi yang ia tempati itu kini telah jadi milik orang.

Ia bahkan mengaku telah beberapa kali diminta untuk pindah dari tanah tersebut. Sementara yang Rubaedah ketahui, tanah yang ia tempati itu merupakan pemberian dari seseorang.

Kini, Rubaedah hanya bisa pasrah. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk berfikir hendak pindah kemana saja, ia sudah tak sanggup. 

Tinggal sebatang kara, tak punya sanak keluarga, terlebih dengan umurnya yang kian rentah membuat ia hanya bisa berpasrah. (Hamzah/Naf)