Imaji Cinta Sang Penenun
Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)
Sejenak jiwa dan ragaku menepi dari riuh ramai dan gemerlapnya kota. Akalku menerawang memori zaman mencari jejak-jejak cinta nan terselip di puing-puing sejarah yang lestari namun sebentar lagi usang.
Di tengah pencarianku, aku menjumpai sosok perempuan tua tengah asyik memintal setiap helai benang untuk sebuah tenunan sembari menyanyikan sebuah lagu dengan lirik Mandar, tentu saja vocalnya tak semerdu kontestan D’Academi.
Tenunannya begitu halus, rapih, indah, cantik, dan tak kalah hebatnya. Di setiap helai tenunannya terdapat banyak padanan kata-kata yang dapat melukiskan ketakjuban terhadap warna-warni dan corak kain yang ditenunnya.
Perempuan tua itu menenun dengan penuh cinta. Jemarinya lihai mengikuti irama pola-pola yang ada dalam imajinasinya. Belitan, jahitan, dan pola-pola tenunannya satu persatu menunaikan imajinasinya dalam sebuah karya bernama Sutra Mandar. Sungguh aku terkesima melihat ketekunannya dalam menenun.
Bukan soal berapa harga setiap hasil tenunannya, namun ini soal kekuatan khayaliyah cinta-nya dengan tulus mengorbankan tubuh rentaya. Sepintas aku berpikir, di usianya yang renta, dia tak pelu lagi bergelut dengan tenunan. Bukan hanya aku, mungkin orang-orang dekatnya juga punya pikiran yang sama denganku.
Kekuatan cinta memang tak tampak seperti kedua tangan kita mengangkat beban, sebab cinta adalah immaterial dimana energinya tak takluk oleh materi. Energi itulah yang menjadi kekuatan perempuan tua itu untuk mentrasformasi imajinasinya menjadi tenunan yang akrab dengan sebutan sutra Mandar.
Warisan sejarah nan agung itu adalah manifestasi cinta sang penenun. Siapapun tidak akan pernah menemukan falsafah hidup dari sutra Mandar ini, jika hanya melihatnya dari segi bentuknya saja. Padahal, motif, corak dan ragamnya merupakan elaborasi pesan sombolis kearifan serta nilai-nilai luhur yang mengajarkan kepada kita tentang makna hidup yang sebenarnya.
Sayangnya, pelestarian warisan sejarah itu perlahan-lahan meninggalkan masa sakralitasnya. Kita sendiri tak mampu menjaganya. Lalu dengan entengnya kita menuding era modernitas sebagai biangkeladinya.
Terkadang, mencari kambing hitam itu tak sesulit mengakui kelemahan diri kita sendiri. Disenangi atau tidak, pesan agung wujud sutra Mandar bukan soal senang atau tidak, melainkan sebuah karya yang tak pernah lekang oleh himpitan modernitas tekstil jutaan rupiah.
Bangga memakai sutra Mandar.Slogan ini memang tak selevel kebanggaan kita saat memakai produk modern atau selevel pakaian distro. Kebanggaan ini merupakan elegansi yang menuturkan khasanah cinta dari setiap corak dan ragamnya. Sebab itu, elegansinya akan terpahami jika kita ikhlas mengesampingkan egosentris meodern yang terlanjur kita agungkan.
Aktivitas Penenun Sutra Mandar. (Foto/Radar Sulbar - FAJAR.co.id)
Artinya, melestarikan budaya bukanlah perilaku kolot atau ketinggalan zaman. Justeru provokasi modern itu terkadang melampaui jalur nilai, lalu kita pun dengan bangga membusungkan dada mengamininya.
Sudahlah. Biarkan era ini bergerak seiring pergantian siang dan malam hingga usia membawa jasad kita menjemput surga atau neraka dihari kemudian. Mari merapal narasi cinta sang penenun dalam balutan motif, ragam atau corak kain tenununnya. Mengajak naluri trasenden untuk menemukan narasi cinta di balik imaji sang penenun memang tak semudah merapal doa sapujagat yang seolah segala urusan selamat dunia-akhirat cukup dengan berucap “Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar”.
Kata temanku, tidak usah lebay, sutra Mandar hanyalah kain yang terbuat dari hasil tenunan... Saya kan sudah bilang bahwa menemukan narasi cinta di balik imaji sang penenun surta Mandar tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sebab imajinasi itu sifatnya abstrak maka perlu akal untuk menyingkapnya. Motif, ragam atau corak setiap helai kain tenunan itu adalah bentuk aktualisasi imajinasi sang penun yang menyampaikan pesan sang tetuah kepada kita secara simbolik.
Motif, ragam atau coraknya itu adalah dalil simbolik yang menjamah alam imajinasi kita tentang eksistensinya, lalu akal pun mendalilinya (menilainya).
Karena itu, kahadiran sutra Mandar tidak sekedar dibanggakan sebagai warisan budaya, namun kebanggaan sudah saatnya bermetamorfisis menjadi kerinduan pada karya para leluhur bumi Malaqbi ini.
Kebanggaan itu tidak hanya lestari pada hari-hari besar atau hari jadi Sulawesi Barat, tapi mari membuat kebanggaan itu sebagai warisan cinta yang tak pernah pupus dibenak kita meskipun wajah zaman telah berganti.
Jika batik mempunyai hari istimewa (Hari Batik Nasional), apa salahnya menetapkan hari special Sutra Mandar untuk masyarakat Sulawesi Barat...?
Wassalam...