Menerka... Merdeka !
Oleh: Lukman 'Ilu' Rahim (Wartawan)
Di satu sore yang cerah. Langit sedang ramah-ramahnya, tak terik tak pula kelewat gelap, Fulan duduk terpaku, bersandar di tembok sebuah pagar di gang yang sempit. Ia terpaku memandangi setiap orang yang lewat tepat di hadapannya. Pikiran dan hatinya kalut, galau, gundah gulana.
Tak lama lagi malam menyapa, sedang dirinya sampai saat itu belum juga mendapatkan kain bendera merah putih yang sedari tadi dipesanan oleh istrinya di rumah.
Dadanya yang tipis, kembang kempis sembari berkejaran dengan waktu, belum lagi perut yang keroncongan sebab sejak pagi belum sekalipun ia makan. Itu sebabnya matanya mulai berkunang-kunang.
Sejak pagi butam, Fulan memang sudah meninggalkan rumah untuk mencari rezeki, harapannya, dengan itu ia dapat membeli bendera merah putih. Tujuannya jelas, benderanya itu rencananya akan dipasang di depan rumahnya sebagai bukti rasa nasionalisme dirinya dan keluarganya masi terpatri.
Cukup beralasan bagi Fulan sampai sebegitu getolnya mendapatkan bendera merah putih. Pasalnya, ia dan keluarganya sudah kenyang dengan cibiran dari beberapa tetangga. Ia dianggap tidak nasionalis, tidak cinta tanah air, lantaran sejak himbauan Ketua RT untuk mengibarkan bendera dan umbul-umbul lainnya, Fulan tak kunjung melakukannya.
Padahal, hampir semua rumah yang ada di kiri dan kanan, depan serta belakang rumah Fulan, semuanya telah dilengkapi dengan bendera merah putih dan umbuk-umbuk. Semua demi kemeriahan menyambut HUT proklamasi RI.
Bukan karena tak mau seperti tuduhan yang dialamatkan warga, bukan. Bukan juga karena Fulan tak nasionalis, tak cinta tanah air, bukan itu. Namun Fulan tak punya cukup uang untuk membeli sejumlah simbol nasionalis tersebut. Apa daya, ia datang dari keuarga yang tidak mampu.
Fulan memang sungguh sangat miskin. Tak usah bicara soal beberapa atribut kemeriahan HUT proklamasi di atas. Atau sekedar ikut ambil bagian pada kemeriahan yang digelar pemerintah provinsi tempat Fulan berdomisili, untuk makan sehari-hari saja, tak jarang Fulan dan istrinya harus mengikat erat-erat perutnya karena makanan yang tersedia hanya cukup untuk kedua buah hati mereka.
Fulan terus masih saja kebingungan. Masih bersandar di tembok lorong sempit yang sudah mulai lapuk itu. Ia bingung bukan karena memikirkan cibiran orang terhadap keluarganya. Sejenak ia berfikir soal pemahaman nasionalisme yang simbolistik dari sebagian besar orang yang tidak mampu diurai oleh nalarnya.
Mengapa rasa dan sikap cinta tanah air seseorang hanya diukur dari seberapa tinggi dan besarnya bendera bangsa ini berkibar di halaman rumah.
Fulan menghela nafas panjang. Fikirannya jauh menerawang, ia teringat saat dirinya sedang sibuk memunguti plastik bekas minuman. Saat itu, memang sedang berlangsung pengibaran bendera merah putih. Sadar sang merah putih dikibarkan, spontan ia berdiri tegap, hormat dan ikut lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sementara di sisi lain, ada pegawai berpakaian kebesaran KORPRI sedang asyik berselfir ria, bahkan ada di antara mereka yang duduk sedang yang lain tegap berdiri dengan tangan di posisi hormat.
Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI yang Ke-72. (Foto/Manaf Harmay)
Fulan juga pernah melihat segerombolan orang sedang meninjau sekaligus mengukur tanah bersama beberapa pejabat. Tanah yang luas yang mereka tinjau itu rencananya akan dijadikan tambang.
Padahal di wilayah itu mengalir sungai yang selama ini menjadi sumber irigasi bagi puluhan Hektar sawah milik petani. Jika pembangunan proyek itu berjalan, bisa dipastikan ratusan hektar sawah milik petani kekurangan air.
Sering juga Fulan membaca headline dari beberapa koran bekas yang memuat berita para pejabat di negeri ini digelandang pihak keamanan karena memakan uang rakyat alias korupsi.
Begitu lama Fulan terpaku. Ia tak tau harus berbuat apa, di alam pikiran pria paruh baya itu, jika dirinya balik ke rumah tanpa membawah bendera, keluarga kecilnya pasti bakalan kecewa berat.
Akhirnya, malam pun tiba. Nyaring Adzan maghrib terdengar merdu mengalun di telinga penuh keringat Fulan. Ia pun bangkit sambil terus menghela nafas panjang. Ia memutuskan, berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan pelann, ia melangkah menuju sebuah mushallah yang tak jauh dari tempatnya tadi.
'Menghadap' tuntas ia laksanakan. Seolah mendapat hidayah pasca 3 rakkaatnya, Fulan menuju pulang.
Hampir sejam ia berjalan kaki untuk sampai ke rumah sangat sederhana yang ia sewa. Kedua anaknya berlarian tertawa riang begitu melihat Fulan pulang. Tak mampu ia berkata tatkala si sulung menanyakan bendera merah putih.
Istri terkasihnya pun muncul dari balik gorden yang terbuat dari bekas kain lusuh. Dengan nada datar, Fulan menceritakan semua yang dialaminya kepada istrinya. Sejak meninggalkan rumah, hingga duduk terpaku di sebuah tembok gang. Fulan juga jujur bercerita jika sampai ia tidak bisa mendapatkan bedera pesanan istrinya.
Dengan penuh kasih sayang, istrinya hanya mampu tersenyum.
"Kita betul miskin, tapi kita tidak pernah membuang sampah di selokan. Karena kita sadar itu akan bisa mencemari sumber mata air yang akan diminum seluruh mahluk ciptaan Tuhan. Kita sekeluarga tidak pernah membeda-bedakan orang karena kita punya hak sama di mata hukum," kata isteri Fulan dengan nada pelan.
"Yang pastinya nasionalisme adalah rasa cinta kasih kepada alam dan seluruh makhluk yang mendiami nusantara ini,"sambung perempuan yang dinikahi Fulan 9 tahun silam itu.
Manusia Indonesia hendaknya memeriahkan kemerdekaan dengan cara yang jauh lebih bermakna. Melihat HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang tahun ini digelar untuk yang ke-72 kalinya dari sisi substansi, bukan sekedar merayakan kulitnya saja. Tidak memaknai kemerdekaan sebatas simbol semata.
Lomba karaoke, lomba tari tobelo, atau beragam lomba lainnya memang bukan hal yang harus diposisikan sebagai hal yang 'haram' untuk dilakukan. Bukan. Tapi akan jauh lebih berisi jika HUT Proklamasi Kemerdekaan itu dijadikan momentum untuk mengevaluasi masing-masing kita, sejauh mana kita telah berbuat bagi daerah, bangsa dan negara kita...
MERDEKA...!