Memahami Mudik Sebagai Perjalanan Spiritual

Wacana.info
Lukman Rahim. (Foto/Istimewa)

Oleh: Lukman Rahim (Wartawan Wacana.info)

Jalan besar itu kini mulai ramai. Kendaraan roda dua, roda empat, bahkan kendaraan yang memiliki banyak roda terus memadati jalan-jalan ibu kota. Saat kita semua disibukkan oleh ragam persiapan untuk kembali ke kampung halaman, Bulan suci Ramadan pun seolah merapikan diri, bersiap pergi meninggalkan kita semua.

Menahan diri sembari memperbanyak amalan nyaris tuntas telah kita lakoni. Di saat yang sama, tak satu pun yang berani menjamin, apakah Tuhan bakal memberi syafaatnya untuk kita bisa bertemu kembali dengan bulan yang penuh rahmat ini di tahun berikutnya.

Sibuknya jalan, nyaris sama dengan pemandangan di bandara, terminal, pelabuhan atau stasiun kereta api. Untuk mudik; pulang berlebaran ke kampung halaman, orang rela untuk berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan lembar tiket. Iya, mudik. Sebuah kebiasaan atau bahkan tradisi yang lahir di negara berkembang, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia.

Meski harus berdesak-desakan, melewati macetnya jalan raya atau letihnya perjalanan, mereka yang mudik hanya ingin berkumpul dengan sanam famili di hari lebaran. Mudik sebagai ajang untuk saling bersilaturrahmi mengandung nilai primordialisme yang bersifat positif. Di sana ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara.

Jauh lebih dalam, kebiasaan mudik di hari raya tak ubahnya seperti sebuah perjalanan spirtual yang luar biasa atau. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, mudik adalah usaha manusia dalam memenuhi tuntutan sukma dan rathinnya untuk bertemu sekaligus berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya dengan rasa kemanusiaan yang utuh.

Ilustrasi. (Foto/Liputan6.com)

Zaman globalisasi yang serba individualis lagi oportunis seperti sekarang ini, sebuah senyum sapa salam bak barang langka jika tak ingin menyebutnya telah punah. Di kota-kota besar, rasa curiga terhadap satu sama lain seolah telah menjadi budaya. Di titik itu, mudik yang hadir dalam setiap tahunya bisa tampil sebagai penawar sekaligus metode untuk penumbuhan kembali rasa kemanusiaan kita sebagai mahluk sosial ciptaan Tuhan.

Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan bahwa mudik lebaran sebagai sebuah perjalanan melintasi dimensi waktu. Di saat manusia merasa menjadi modern dan kehilangan rasa kemanusiaannya, di saat itulah ruang kasih sayang terus tergerus. 

Jika kondisinya telah seperti itu, maka yang muncul adalah perangai kasar, cenderung mementingkan diri sendiri serta agresif. Itu semua yang sepertinya kini telah mengrogoti sendi-sendi kehidupan anak-anak bangsa saat ini.

Sepertinya perlu untuk memberi terapi yang sifatnya massal. Terapi yang dimaksud haruslah ampuh untuk mengubah sifat individulis ke semangat kekeluargaan yang spritual. 

Dalam hal ini, nilai spritual dalam tradisi mudik paling tidak mampu mengingatkan kita akan keluhuran manusia yang memiliki semangat kembali ke asal. Lewat mudiklah, kita diingatkan kembali kepada awal kejadian kita. Saat kita untuk kali pertama melihat dunia, mencenungi saat kita begitu damai dalam kandungan sang ibu.

Di Sulawesi Barat sendiri; tanah kelahiran penulis, mudik belumlah semassif pulau Jawa atau di beberapa daerah lain. Namun jika melihat dinamika perkembangan yang terjadi di bumi malaqbi saat ini, bukan hal mustahil di masa mendatang tradisi mudik itu akan sama atau bahkan lebih ngeri ketimbang daerah-daerah lain. 

Daerah dimana nilai kemanusiaan tersandera kaku oleh kalkulasi materi, hasrat direproduksi sehinggah memungkinkan terbentuknya sikap individualis dan oportunis sebagai akibat dari kerasnya kehidupan ditengah hantaman gelombang besar globalisasi.

Sekali lagi, mudik merupakan oase di tengah gersangnya nilai kemanusiaan. Mudik adalah jalan yang mengantarkan kita kepada penyempurnaan ibadah puasa kita, sekaligus melihat makna suci di hari yang fitri. 

Bagi penulis, mudik bukan soal seberapa jauh anda pulang, seberapa banyak harta yang anda bawa pulang untuk dibagi-bagikan. Tapi mudik kian indah jika diisi oleh pertanyaan, seberapa dalam kita memahami nilai-nilai silaturahmi kala semua kembali ke kampung halaman ?. Selamat Jalan...

Wallahulmuafiq illaa aquamiq tharik...