Menakar Masalah di Desa, SPR Bikin Pendidikan Pengorganisasian

Wacana.info
SPR. (Foto/Lukman Rahim)

WONOMULYO--Serikat Pengorganisasian Rakyat Indonesia (SPR) simpul Sulawesi Barat menggelar pendidikan pengorganisasian dan musyawarah di Wisata Pemancingan Puccero, Desa Tumpiling, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, Senin (27/02).

Selain menyoroti ketimpangan pembangunan dan penguasaan lahan di Sulawesi Barat, kegiatan tersebut juga dimaksudkan sebagai wadah untuk menakar realitas yang terjadi di wilayah pedesaan beserta problematikanya. 

Pelatihan tersebut diharapkan mampu memberi pencerahan kepada para peserta untuk memahami realitas terjadi di wilayah pedesaan di Sulawesi Barat.

Kegiatan itu sendiri mendudukkan dua orang narasumber sekaligus. Masing-masing Aswan Achsa dan Subaer Sunar.

Pada kegiatan yang diikuti perwakilan pemuda dari 6 kabupaten di Sulawesi Barat tersebut, Subaer Sunar lebih banyak membuka pengalaman pribadinya kala terlibat dalam program pendampingan desa.

Ia menyebut, selama ini proses pendampingan hanya tertuju pada pendampingan dana desa, bukan untuk mendampingi masyarakat miskin. Subaer juga mengungkapkan, nilai - nilai dalam budaya kini kian tergerus. Menurutnya, hal itu dikarenakan sistem tata kelola lahan yang diterapkan di desa tidak melihat keberadaan aturan dan tata nilai yang dipahami oleh petani sejak lama. 

Di mata Subair, saat ini banyak orang yang menggiring desa ke arah berbeda dengan eksistensi desa. Padahal mesti diketahui jika masyarakat desa itu hidup dari tanah, dan proses bekerja di tanah dan laut adalah proses peribadatan.

"Pengalaman saya selama ini, pendamping desa hanya tertuju pada pendampingan dana desa. Bukan mendampingi masyarakat miskin di wilayah pedesaan," papar Subair, pria yang sempat jadi koordinator program pendamping desa Sulawesi Barat itu.

Di tempat yang sama, Aswan Achsa menyebut, proses pendampingan seharusnya mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan realitas yang terjadi di sekitaranya.

Menurut Aswan, pendampingan selain sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran masyarakat, juga merupakan proses penyatuan kesadaran. 
"Sehingga dengan demikian, meskipun dana desa tidak ada, masyarakat di desa tetap bisa survive.," sebut Aswan.

Mantan direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan itu menambahkan, dana desa yang diperuntukkan bagi pembangunan fisik, rabat beton salah satunya, rupanya tak mampu merubah kondisi ekonomi masyarakat di pedesaan.

"Hal itu terjadi karena kita tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Olehnya itu, SPR sebagai organisasi harus punya inisiasi dalam menjalankan kerja-kerja kemanusian. Karena semangat Undang-undang desa menurut saya ialah bagaimana masyarakat bisa berdaulat atas haknya," demikian Aswan Achsa. (Ilu/B)