OPINI

Maulid Nabi Muhammad dalam Perspektif Sosiologi Hukum Islam

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Oleh: Anwar Sadat (Sekretaris ICMI Sulawesi Barat)

Peringatan maulid (baca: mammaulu’ atau pammunuang) istilah kearifan lokal, adalah peringatan hari lahir Sayyidul a’lam Rasulullah SAW, merupakan salah satu tradisi paling umum dan dikenal luas di kalangan umat muslim di penjuru jagat semesta. 

Secara sosiologis dan hukum Islam, perayaan ini menjadi fenomena yang menarik untuk dianalisis karena posisinya yang spesifik; ritual ini jelas tidak termasuk bagian dari ajaran Islam (baca: syariah) yang ter-eksplisit dalam Al-Qur'an maupun hadis, namun mempunyai legitimasi serta fungsi sosial yang kuat dalam masyarakat muslim.

Kajian normatif menunjukkan, para ulama (ahlu sunnah) membuat pembedaan antara peringatan ini dengan ibadah mahdhah (ibadah yang murni) yang langsung berasal dari Allah, salat dan puasa contohnya. Diskusi hukum (fiqh) mengenai maulid telah berlangsung berabad-abad lamanya. 
Beberapa ulama menganggapnya sebagai bid'ah (inovasi dalam agama) yang tidak berdasar. Sementara sebagian lainnya memandangnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik) karena bertujuan untuk memuliakan Nabi dan memperkuat cinta kepada beliau.

Di dalam sosiologi hukum, aspek yang lebih penting untuk dianalisis bukanlah apakah maulid itu 'halal' atau 'haram' dengan jelas, melainkan bagaimana tradisi ini memperoleh pengakuan sosial di mata masyarakat. Pengakuan ini tidak hanya berlandaskan pada teks-teks hukum saja, tetapi juga pada kesepakatan sosial (ijma' 'urfi) dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat. 

Maulid menjadi semacam 'hukum yang tidak tertulis' yang mengikat komunitas, di mana perayaannya dianggap sebagai bentuk ketaatan dan identitas kolektif mereka sebagai muslim.

Jika kita memotret lebih dalam, Maulid Nabi memiliki fungsi sosiologis yang penting, di antaranya:

1. Memperkuat solidaritas antara warga
Perayaan maulid sering kali dijadikan acara bersama yang memastikan masyarakat berkumpul di masjid, musalah, atau rumah-rumah. Kegiatan ini melibatkan pembacaan salawat, ceramah agama, dan penyajian makanan. Aktivitas kolektif ini meningkatkan hubungan sosial dan rasa solidaritas di antara anggota komunitas. Biasanya menjadi ajang silaturrahmi para perantau untuk kembali berkumpul dengan saudaranya di kampung halaman, selain mudik lebaran. Ini tentu sejalan dengan konsep integrasi sosial dalam perspektif ilmu sosiologi.

2. Penyebaran nilai dan pengetahuan agama
Ceramah atau tausiyah yang diadakan selama maulid berfungsi sebagai momentum untuk menyampaikan ajaran Islam, terutama kisah hidup Nabi Muhammad SAW dan akhlaknya. Dengan demikian, maulid menjadi sarana pendidikan nonformal yang efektif di masyarakat, membantu mewariskan nilai-nilai moral dan etika dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

3. Identitas dan ekspresi budaya
Di banyak daerah, maulid tidak hanya diisi dengan kegiatan keagamaan, tetapi juga dipengaruhi oleh tradisi budaya setempat. Sebut saja, di Indonesia khusus di wilayah Pambusuang, kabupaten Polewali Mandar, terdapat tradisi mammunu’ atau pammunuang (Mandar). Kombinasi antara ritual islam dan budaya lokal menunjukkan bahwa hukum islam tidak berdiri sendiri, tetapi berinteraksi secara dinamis dengan konteks sosial dan budaya sekitar. Maulid menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan keimanan dan identitas budaya mereka secara bersamaan.

Sosiologi hukum Islam menjelaskan bahwa keabsahan suatu tindakan tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan teks, melainkan juga oleh pengakuan dari masyarakat (al-aadah muhakkamah), kaidah Fikih. 

Perayaan maulid berlangsung dan berkembang secara continue, bukan disebabkan oleh alasan 'teks', tetapi karena memenuhi kebutuhan sosial dan spiritual kelompok tersebut. Acara ini bertindak sebagai perekat sosial yang efektif, memperkuat ikatan komunitas serta identitas kolektif, meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara para penghulu agama.

Dengan kata lain, maulid Nabi dalam perspektif sosiologi hukum Islam merupakan sebuah fenomena yang berkaitan dengan sosial dan agama, yang menunjukkan interaksi antara hukum dengan masyarakat. 

Hukum tidak hanya berfungsi untuk mengatur masyarakat, tetapi juga terbentuk dari praktik sosial yang selalu berubah dan beradaptasi. Jelas, ini merupakan sebuah 'penyapaan' sosiologis sekaligus teologis terhadap kerinduan umat kepada Nabi Besar Muhammad SAW, berbasis kearifan lokal yang terbentang nyata di tengah masyarakat kita. (*)

Wallahu a’lam