Idul Adha 1445 H

Idul Adha; 'Menyembelih' Sifat Kebinatangan dalam Diri

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

MAMUJU--Peristiwa agung itu dinamai Idul Adha. Ketika dua hamba Allah yang saleh dibanggakan oleh Tuhan karena kepatuhannya. Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail ‘alaihimassalam.

Nabi Ibrahim menjadi sosok yang menggambarkan kepatuhan tanpa syarat. Sementara Ismail memberi teladan sebagai hamba yang kesabarannya juga tanpa syarat.

Ada banyak hikmah yang dapat diambil dari peristiwa agung yang akhirnya diperingati oleh seluruh umat muslim sedunia itu. Termasuk tentang bagaimana menjaga sekaligus merawat hubungan antar umat manusia dalam kehidupan sosialnya.

Imam Masjid Agung Syuhada, Polman, Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly menilai, kerukunan dalam kehidupan sosoal masyarakat tak akan pernah mewujud ideal sebelum sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia itu disembelih.

Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly. (Foto/Istimewa)

"Harmoni dalam kehidupan komunal tidak akan pernah terwujud sebelum sebelum sifat-sifat kebinatangan dalam diri disembelih. Barangkali hakikatnya bisa kita katakan seperti itu dalam bahasa sederhana," kata Ahmad Fadlu Almahdaly kepada WACANA.Info, Minggu (16/06) malam.

Ada banyak wujud nyata tentang sifat kebinatangan itu. Yang bagi Ahmad Fadlu Almahdaly, Idul Adha tahun ini baiknya dijadilkan momentum untuk melepas itu semua; menyembelihnya layaknya umat muslim menyembelih hewan kurban.

"Sebut saja rakus, angkuh, tamak, kikir, menindas, ingin menang sendiri dan barangkali juga superior, serta dan lain sebagainya," begitu kata Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly.

Cinta Sejati yang Hadir dalam Cerita Kepatuhan

Tahun 2024 ini, umat muslim kembali merayakan hari raya Idul Adha. Saat dimana manusia benar-benar menjadi bagian dari hamba yang dibanggakan oleh Allah. Pertanyaannya, sudah patutkah kita menjadi bagian dari hamba-hamba yang dibanggakan itu ?.

Jika ada yang bertanya, adakah cinta sejati itu ?. Maka jawabannya; ada. Nur Salim Ismail menjelaskan, cinta sejati hadir dalam cerita kepatuhan Nabi Ibrahim bersama keluarganya kepada Tuhan. 

"Itu sebabnya, cinta sejati hanya ditemukan dalam selimut kepatuhan kepada Allah. Tanpa itu, cinta sejati hanya akan menjadi seonggok cerita yang hanya menakjubkan dalam cerita, namun mengecewakan dalam realita," ucap Nur Salim Ismail, Ketua LDNU Sulawesi Barat itu.

Nur Salim Ismail. (Foto/Instagram)

Pelajaran terpenting atas kepatuhan Ibrahim adalah sikapnya yang terus menempa diri dalam ketaatan kepada Allah. Inilah yang disebut dengan praktik Al ‘Akifu bi dinihi, wal arifu bi hali ummatihi. Sebuah keberagamaan yang ketat ke dalam, namun lentur keluar. 

"Secara personal kita dituntut untuk mendisiplinkan diri dalam hal beribadah. Namun di saat yang sama, kita diminta agar arif dan bijaksana kepada mereka yang belum menjalankan kepatuhannya dengan baik. Kita diajarkan sebuah pesan penting agar mewaspadai diri untuk tidak menjadi kufur terhadap nikmat Ilahi. Namun di saat yang sama kita berhati-hati menuduh kafir terhadap orang lain," Nur Salim Ismail menutup. (*/Naf)