Menuju Pemilu 2024

Boleh Berkampanye di Kampus, Rektor Unika: Semangatnya Bagus, Tapi...

Wacana.info
Rektor UNIKA Mamuju, Syahril. (Foto/Manaf Harmay)

MAMUJU--Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pertengahan Agustus 2023 yang lalu sedikit banyaknya mengubah beberapa ketentuan kampanye. Berkampanye di tempat ibadah memang dilarang secara mutlak, sementara kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan dibolehkan. Syaratnya, mendapatkan izin pihak terkait dan tidak menggunakan atribut kampanye.

PKPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang perubahan PKPU Nomor 15 Tahun 2023 pasca putusan MK di atas pun menjelaskan yang dimaksud fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan yang boleh dijadikan tempat kampanye meliputi gedung serbaguna, halaman, lapangan, dan/atau tempat lainnya yang ditentukan oleh penanggungjawab fasilitasi pemerintah/penanggungjawab tempat pendidikan.

Peserta kampanye Pemilu khususnya di tempat pendidikan merupakan civitas akademika di perguruan tinggi dikecualikan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 

Regulasi di atas dengan jelas memberi lampu hijau bagi peserta Pemilu untuk memanfaatkan kampus untuk aktivitas kampanye dengan catatan telah memperoleh izin dari penanggungjawab fasilitas pendidikan, dalam hal ini kampus atau perguruan tinggi. Termasuk telah memenuhi sejumlah persyaratan lainnya sesuai PKPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang perubahan PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu.

Lampu hijau bagi peserta Pemilu untuk menggunakan kampus sebagai tempat pelaksanaan kampanye mendapat atensi dari Rektor UNIKA Mamuju, Syahril. Ia memahami substansi diperbolehkannya kampus sebagai tempat pelaksaanaan kampanye. Penyelenggara Pemilu atas lahirnya aturan itu menginginkan proses edukasi politik bisa lebih dimaksimalkan dengan pelibatan civitas akademika.

"Saya memahami substansi dari lahirnya aturan boleh menggunakan kampus sebagai tempat berkampanye. Saya pun sepakat bahwa proses edukasi politik bisa lebih maksimal dengan pelibatan kampus," ucap Syahril kepada WACANA.Info, Kamis (16/11).

Meski begitu, Syahril memberi catatan kritis untuk regulasi tersebut. Mantan aktivis HMI itu meminta penyelenggara Pemilu untuk memberi pengaturan secara teknis soal apa dan bagaimana pelaksanaan kampanye di kampus.

Ia khawatir, lingkungan kampus belum siap untuk menerima gelaran kampanye dari peserta politik tertentu. Jangan sampai, 'karpet merah' bagi peserta Pemilu dalam memanfaatkan kampus sebagai sarana kampanye justru membuat polarisasi di lingkungan kampus kian terasa.

"Saya khawatirnya, kampus yang tidak siap untuk itu. Begini, mahasiswa di lingkungan kampus misalnya, jelas telah punya pandangan politik masing-masing. Jangan sampai karena hal teknis terkait kampanye di kampus itu tidak diatur secara baik, benturan kepentingan politik di internal kampus kiab menjadi-jadi. Bagi saya, ini yang tidak baik," urai Syahril.

Bagi perguruan tinggi di negara-negara demokrasi yang telah matang, penggunaan kampus sebagai sarana kampanye tak lagi menyimpan potensi persoalan. Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat, Syahril melihat, secara umum, suhu perguruan tinggi belum punya kesiapan yang matang itu hal-hal tersebut.

"Saya telah menyampaikan hal ini ke KPU ke Bawaslu. Baiknya memang regulsi tantang boleh berkampanye di kampus itu dibuatkan turunannya. Diatur secara teknis. Misalnya, diatur soal jadwalnya, atau tentang hal-hal teknis lainnya. Ini penting untuk kampus juga bisa lebih bersiap dengan berbagai hal," pungkas Syahril. (*/Naf)