OPINI

Memutus Rantai Kemiskinan di Sulawesi Barat

Wacana.info
Pertiwi Tanihaha, SST.,MM. (Foto/Istimewa)

Oleh: Pertiwi Tanihaha, SST.,MM (Statistisi Ahli Muda)

Masalah kemiskinan sepertinya tak pernah putus dalam pembahasan kita. Entah karena kemiskinan itu abadi seperti pendapat neo-Malthusian atau selama ini kita salah dalam menerjemahkan kemiskinan itu sendiri.

Thomas Malthus berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat akan berdampak pada ketersediaan sumber daya alam. Pertumbuhan yang tidak terkendali akan mengarah pada kelangkaan dan akhirnya adalah adanya kemiskinan. Sehingga, kemiskinan akan tetap ada sampai kapanpun. Namun, banyak ilmuwan tidak sependapat dan percaya bahwa isu ini dapat diakhiri. Salah satunya sebut saja Jeffrey David Sachs, seorang ekonom berkebangsaan Amerika dalam bukunya berjudul The End of Poverty menuliskan bahwa kemiskinan adalah efek dari tindakan manusia maka tentu saja permasalahan ini dapat dituntaskan dengan tindakan manusia pula. 

Sachs juga memberi syarat, yakni isu kemiskinan tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cara yang komprehensif dan terkoordinasi oleh semua pihak. Penanganan kemiskinan tidak mungkin tuntas jika para pembuat kebijakan merasa cukup kala mampu mengatasi dampak kemiskinan tanpa menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Beberapa tahun terakhir pemerintah di tingkat pusat makin intensif dalam mengkaji masalah kemiskinan. Sumber informasi kemiskinan yang dimiliki pemerintah sampai saat ini rupanya belum mampu menjawab tentang seperti apa si miskin. Sadar dengan hal ini, pemerintah—BPS melakukan pendataan bertajuk Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Hasilnya konon diharapkan menjadi salah satu data referensi yang bisa digunakan bersama dalam merancang segala kebijakan pro rakyat, kita tunggu saja.

Seperti menjalarnya virus, saat pemerintah pusat menginstruksikan penanganan stunting dan kemiskinan ekstrim, ia menjalar dengan cepat ke setiap daerah. Upaya penanganan kemiskinan juga tak luput dilakukan pemerintah sulawesi barat. Berbagai pertemuan dilakukan untuk membahas masalah-masalah seperti stunting kemiskinan ekstrim, dan pengendalian inflasi.

Berdasarkan data BPS, diperkirakan ada sekitar 165,72 ribu penduduk Sulawesi Barat terkategori miskin pada Maret 2022. Angka ini bertambah sekitar 13 ribuan penduduk dibandingkan kondisi pada bulan yang sama di tahun 2020. Artinya meskipun ada indikasi perekonomian mulai berjalan normal namun pemulihan tersebut belum memberikan dampak positif pada masalah kemiskinan. Lebih rinci, BPS memperkirakan jumlah penduduk miskin di perkotaan pada periode yang sama sebanyak 27,99 ribu jiwa atau turun sekitar 0,27 persen dibandingkan dengan kondisi september 2021 dan turun sebesar 3,68 persen dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2020. 

Kemiskinan di perdesaan memiliki cerita yang berbeda, angkanya terus merangkak naik dari sekitar 120,34 ribu orang pada maret 2020 menjadi 137,73 ribu orang di bulan yang sama tahun 2022. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa pemulihan ekonomi yang dimaksud belum menjangkau kantong-kantong kemiskinan yang ada di wilayah perdesaan di Sulawesi Barat.

Jika melihat profil kemiskinan perdesaan lebih dalam, menurut catatan BPS tahun 2021 sekitar 70 persen lebih Rumah tangga miskin di pedesaan bekerja pada sektor pertanian,.yang benar-benar tidak bekerja sekitar 9,26 persen dan sisanya ada di sektor industri dan sektor lainnya. Dengan fakta-fakta itu, jika penanganan kemiskinan perdesaan berhasil maka ada peluang tingkat kemiskinan akan menurun secara signifikan.

Dimensi Kemiskinan

Kemiskinan sejatinya perlu dilihat dari banyak dimensi, setidaknya ada enam dimensi utama yang perlu mendapat perhatian dalam menangani isu kemiskinan, yakni ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosal, lingkungan, dan keamanan. Pemahaman tentang keenam permasalahan ini akan membuat kita mengerti profil mereka yang hidup berlabel miskin. Dengan pengetahuan itu, kita akan mampu menyusun kebijakan yang lebih baik dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Para pembuat kebijakan perlu melihat dimensi-dimensi ini dengan cara terintegrasi agar penanganan kemiskinan yang dilakukan dapat berdampak secara efektif pada pengurangan penduduk miskin. Penanganan masalah kemiskinan saat ini masih berjalan sendiri-sendiri, koordinasi masih menjadi sekedar formalitas semata. Akhirnya program pemerintah seperti tanpa mempertimbangkan keterkaitan antar aspek dan dimensi tersebut.

Catatan terakhir mengenai kemiskinan multidimensi kiranya masih mengacu hasil penelitian PRAKARSA (2020). Lembaga ini membuat estimasi kemiskinan multidimensi masing-masing provinsi di Indonesia dengan data referensi tahun 2015-2028. Berdasarkan laporan tersebut angka kemiskinan multidimensi (AKM) di Sulawesi Barat pada 2018 sebesar 17,71 persen. Sebagai gambaran, persentase kemiskinan BPS pada tahun yang sama sekitar 11 persen. Ada selisih sekitar 6 persen lebih banyak persentase penduduk terkategori miskin multidimensi dibandingkan angka kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran yang dirilis BPS. Artinya tantangan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan yang sesungguhnya masih jauh lebih besar dari angka yang selama ini dipercaya dalam mengukur kemiskinan.

Sementara itu BPS pernah melaporkan profil kemiskinan multidimensi yang lebih spesifik tentang profil rumah tangga pertanian. Dari data tahun 2014 tersebut kemiskinan multidimensi pada rumah tangga usaha pertanian (RTUP) diperkirakan sebanyak 40,93 persen RTUP di Sulawesi Barat terindikasi miskin multidimensi.

Masalah Partisipasi dan Optimalisasi Sumber Daya Manusia

Masalah utama kemiskinan adalah partisipasi dan optimalisasi potensi. Penduduk yang sehat, cerdas, dan merasa aman dan nyaman dalam beraktivitas tentu berpeluang lebih sejahtera dibandingkan mereka yang tidak. Pendapat ini senada dengan Sachs dan Amartya Sen bahwa masalah kemiskinan dapat diatasi seiring meningkatnya partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Tingkat partisipasi yang tinggi mutlak perlu agar setiap individu dapat menggapai potensi dirinya yang optimal.

Untuk mencapai tujuan ini tentu saja perlu didukung dengan peningkatan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana yang menjadi alat untuk meningkatkan kualitas dari enam dimensi yang disebutkan sebelumnya. Para pembuat kebijakan perlu segera mempertimbangkan informasi multidimensional kemiskinan dalam upaya pengentasan yang dilakukan agar program-program yang dilakukan tepat sasaran.

Kajian yang lebih mendalam mengenai kemiskinan multidimensi sangat penting dan urgen dilakukan pemerintah agar target penanganan permasalahan kemiskinan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. (*)