Dari Honorer ke Kursi Ketua DPRD
Di sela-sela kesibukannya, dengan sederet agenda yang mesti dituntaskannya hari itu, Ketua DPRD Sulawesi Barat, Suraidah Suhardi menyempatkan diri menerima kunjungan WACANA.Info, Kamis (17/11).
Hampir 30 menit perbincangan kami di ruang kerjanya. Santai, diselingi gelak tawa, bahkan sempat live instagram via akun resminya, Suraidah Suhardi menceritakan banyak hal. Dari awal karir politiknya, lika liku perjalanan yang telah ia lalui, hingga segala hal yang belum ia raih hingga kini, dituturkannya dengan runut.
Berikut wawancara khusus WACANA.Info dengan Ketua DPRD Sulawesi Barat, Suraidah Suhardi.
Bagaimana anda mengawali karir di dunia politik ?.
Saya memulai ini semua berawal dari kegagalan saya waktu mendaftar PNS di tahun 2006. Waktu itu, Bapak (SDK) masih menjabat sebagai Bupati kan, beliau yang tidak meluluskan saya. Pada saat itu Sulbar pisah dari Sulsel, jadi waktu itu saya jadi bendahara DPD Demokrat Sulbar. Lalu di tahun 2007 dilaksanakan Muscab pertama Demokrat Mamuju, saya pun maju. Dan pada saat itu saya terpilih aklamasi. Ada 16 PAC waktu itu, Mateng masih gabung. Mulai dari situ saya mulai berpartai.
Siapa yang kenal Suraidah waktu itu ?, bagaimana anda bersosialisasi ?.
Iya. Waktu itu siapa sih yang kenal saya ?. Saya diajarkan untuk tidak begitu mengandalkan nama SDK. Sehingga saya jalan sendiri. Bersosialisasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda.
Selain bersosialisasi, apa aktivitas anda waktu itu ?.
Di masa-masa itu, saya nyambi juga jadi staf protokoler. Jadi Sesprinya Wakil Bupati kala itu. Saya tidak lulus PNS, tapi kan saya juga mau kerja, minimal ada pengalaman. Saya sengaja memilih untuk tidak bekerja di ruangannya Bapak, meski pada saat itu sebenarnya bisa-bisa saja. Saya tidak mau nepotisme, jadi saya memilih profesional. Itu semua saya jalani sampai tahun 2009. Saya ini kan terhitung sebagai honorer dari 2006 sampai 2009. Sambil honorer, saya juga bersosialisasi sebagai seorang politisi, sambil kuliah juga. Di zaman itu kan tenaga honorer yang sudah mengabdi lama ada kebijakan untuk diangkat menjadi CPNS, dan nama ku keluar. Sementara di saat yang sama, waktu Pemilu 2009 saya terpilih sebagai anggota DPRD Mamuju.
Apa yang membuat anda memilih untuk menjadi seorang anggota legislatif, ketimbang mengabdi sebagai seorang PNS ?.
Saat itu, Bapak kasi pilihan. Mau jadi PNS atau jadi seorang anggota DPRD. Saya bilang, bagaimana saya memilih sebagai PNS sementara saya ini sudah bersosialisasi. Saya sisa menunggu pelantikan waktu itu. Jika saya memilih sebagai PNS, bagaimana dengan orang-orang yang telah memilih saya ?. Kalau seperti itu, sama saja saya ini pengecut. Banyak yang sudah mengharapkan saya, memilih saya, masa saya lari dari itu semua?. Sudah banyak masyarakat yang mengharapkan saya untuk bisa membantu mereka, terus saya memilih jadi PNS ?, saya bilang ke Bapak waktu itu, saya tidak seperti itu orangnya. Meski hanya lima tahun masa jabatan seorang anggota DPRD, sementara jadi PNS itu seumur hidup. Tapi menurut saya, mungkin rezeki ku ada di dunia politik sebagai anggota DPRD. Saya ingin mengabdikan diri untuk menjadi seorang politisi. Memperjuangkan harapan masyarakat. Jadi saya dilantik tahun 2009, waktu itu duduk di kursi Wakil Ketua DPRD. Demokrat waktu itu ada lima kursi, dari sebelumnya tidak ada kursi sama sekali.
Dari seorang honorer, sekretaris pribadi Wakil Bupati Mamuju, menjadi seorang Wakil Ketua DPRD. Bagaimana anda menyesuaikan diri ?.
Sebenarnya subtansinya sama. Sama-sama melayani, sama-sama pengabdian. Yah namanya kita ini seorang staf di ruang pimpinan, saya cukup sering melayani masyarakat. Jadi bukan hal yang baru lagi bagi saya untuk bagaimana melayani masyarakat. Dari kecil pun saya sudah ditempa untuk melayani masyarakat. Saya sering melayani tamunya Bapak. Sudah terbiasa, sudah menjadi rutinitas. Mulai dari bikin kopi kalau ada tamunya Bapak, menghadiri acara pernikahan atau melayat, atau apapun itu yang memang Bapak tidak bisa menghadirinya. Pada saat itu memang saya yang sering diminta untuk mewakili Beliau. Jadi memang dari kecil sudah bisa dibilang saya ini sudah seperti wakilnya Bapak untuk acara-acara tertentu. Bahkan sejak usia SMP itu saya sudah dijahitkan baju untuk menghadiri acara pernikahan. Bayangkan. Jadi bukan hal yang baru lagi kalau konteksnya melayani. Apalagi ketika terpilih menjadi anggota DPRD. Hanya porsinya saja yang berbeda. Kalau dulu saya mewakili keluarga, mewakili pimpinan saya. Ketika saya terpilih, saya mewakili masyarakat yang menjadi konstituen saya. Melayani mereka. Itu saja yang membedakan kalau menurut saya.
Pemilu 2014 terpilih kembali, bahkan berhasil duduk di kursi Ketua DPRD Mamuju. Sementara Pemilu 2019 anda kembali terpilih, hingga menduduki kursi Ketua DPRD Sulawesi Barat. Bagaimana sebenarnya anda dalam meyakinkan masyarakat ?.
Saya bersyukur karena memang nama Bapak itu tidak mungkin saya kesampingkan. Nama beliau ada pada saya, itu yang juga memudahkan langkah saya. Tetapi saya juga tidak serta merta hanya mengabdalkan Bapak lalu ongkang-ongkang kaki, saya tidak turun ke lapangan. Saya pun menjaga basis massa itu. Saya turun ke massa ku, ke konstituenku. Dengan seperti itu, dengan rajin ke lapangan. Saya rasa, semua politisi juga pasti punya cara yang sama bagaimana memenangkan hati masyarakat. Tapi bagi saya, memenangkan hati masyarakat itu tidak bisa dibuat-buat. Saya bekerja dengan hati. Karena saya meyakini, sesuatu yang dilakukan dengan hati itu akan sampai ke hati masyarakat juga. Pesannya itu akan sampai. Tidak bisa kita buat-buat ini, citra diri kita ini tidak bisa kita buat-buat. Tapi masyarakatlah yang menilai itu semua. Itu yang saya pelajari dari Bapak dan juga saya lakukan sejak dulu. Dan mnenurut saya, itu yang mengantarkan saya sampai ke titik ini, meski saya tidak bisa peris seperti Bapak. Saya masih agak-agak lari-lari lah.
Ketua DPRD Sulbar, Suraidah Suhardi. (Foto/Instagram)
Ada anggapan bahwa dunia politik itu hanya kompatibel dengan kaum laki-laki. Bagaimana anda melihatnya ?.
Saya harus mendobrak anggapan itu. Bahwa dunia politik ini bukan hanya dunia laki-laki, tapi perempuan pun harus tampil. Karena bagi saya, kita ini lah yang harus menyuarakan kepentingan perempuan. Misalnya masalah stunting, itu kan yang berkaitan dengan perempuan. Pernikahan usia dini, itu juga kan persoalan yang erat kaitannya dengan perempuan. Bagi saya, perempuan di dunia politik itu bisa mewakili kepentingan perempuan. Karena akan sangat berbeda kalau misalnya isu perempuan lantas yang menyuarakannya itu laki-laki. Tapi yah memang tantangannya besar, bahwa dunia politik itu memang kesannya jadi dunia lak-laki. Sebab kadang kita sebagai seorang politisi perempuan itu dibatasi oleh berbagai keterbatasan kita. Misalnya kita ini tidak mungkin sampai larut malam bersosialisasi sendiri. Yah kita tentu punya batasannya. Misalnya pertemuan tertentu tidak harus sampai larut malam, kita pun kalau jalan biasanya didampingi oleh keluarga. Bagi saya pintar-pintarnya kita lah.
Apa yang bisa kita share kepada politisi muda, utamanya jelang pelaksanaan Pemilu 2024 nanti ?.
Yah, memang sih politik itu memerlukan cost. Tapi tidak semua juga dinilai dengan uang. Dengan kita turun ke lapangan, meyakinkan masyarakat, bahwa kita bisa diandalkan, bisa jadi penyambung harapan masyarakat. Saya pun di awal karir politik saya seperti itu. Saya mengabdikan diri saya untuk bagaimana bisa menjadi penyambung aspirasi masyarakat, Saya berharap dukungan dari masyarakat. Yakinkan mereka, temui masyarakat itu, rajin turun ke lapangan dan rebut hati rakyat. Karena pasti, sesuatu yang dilakukan dari hati itu juga akan sampai ke hati masyarakat. Karena urusan itu kita tidak bisa buat-buat. Kita tidak bisa memaksakan isi kepala masyarakat tentang citra kita. Memaksakan keinginan kita kepada masyarakat. Tentunya kan masyarakat itu sendiri yang menilai kita. Saya bukan tipe yang memaksakan pilihan masyarakat. Bagi saya, itu tidak bisa dipaksakan. Saya dalam bekerja prinsipnya lebih berserah diri pada Tuhan, disamping terus berusaha berbuat yang terbaik.
Saat ini, anda dalam tahap akhir studi doktoral di UIN Makassar. Seberapa penting seorang politisi punya kualitas akademis yang mumpuni ?.
Pentin lah. Karena tanpa ilmu, kita sebagai politisi harus bagaimana untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Kalau saya menganggap seorang politisi itu harus punya kualitas. Kita tidak mungkin punya kualitas tanpa memproleh pendidikan yang baik juga. Saya adalah orang yang menghargai proses. Saya memulai program doktoral saya itu di tahun 2019, saya berterima kasih sama pandemi, karena pandemi ini membantu saya kuliah. Bayangkan kalau saya harus bolak balik tiap minggu ke Makassar, bagaimana dengan urusan saya yang harus saya tinggalkan. Tapi dengan adanya teknologi informasi saat pandemi, itu benar-benar memudahkan saya. Saya terget Insya Allah tahun ini selesai. Karena memang di kampus itu kita dipaksa, harus cepat selesai. Saya menjalani program doktoral di UIN, konsentrasinya dakwah dan komunikasi. Penting dan sangat erat kaitannya dengan dengan karir saya sebagai seorang politisi. Jadi, pendidikan itu penting. Kita lah yang harus mengaupgrade diri kita. Menurut saya, hal itu akan kembali ke kesadaran masing-masing politisi lah.
Di sepanjang karir anda, hal apa yang belum dapat diwujudkan ?
Masih banyak pekerjaan yang belum saya tuntaskan. Kenapa, karena ruang fiskal kita. Anggaran kita. Bagaimana kita mau mengintervensi kebijakan sementara anggaran kita masih sangat terbatas. Jadi kalau dikatakan apa yang belum tercapai, yah itu, belum mampu mensejahterakan masyarakat karena ruang fiskal APBD kita yang masih terbatas. Secara spesifik itu di sektor infrastruktur. Ketika saya turun ke lapangan, yang menjadi prioritas itu memang infrastruktur. Kenapa itu penting ?. Karena infrastruktur lah yang berkaitan langsung dengan berbagai sektor lainnya. Pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Orang mau ke sekolah, kalau jalannya tidak bagus yah mau bagaimana ?. Pelayanan kesehatan, misalnya orang mau melahirkan kalau jalannya tidak bagus mau bagaimana ?. Jadi memang infrasuktur yang jadi paling prioritas.
(Naf/A)