Realisasikan BTT, Segera !
MAMUJU--Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Barat, Akmal Malik meminta OPD terkait untuk menyegerakan realisasi Belanja Tak Terduga (BTT). Itu untuk meng-cover kebutuhan para korban bencana banjir di Kecamatan Kalukku, Mamuju yang terjadi Senin, 11 Oktober 2022.
Dikutip dari sulbarprov.go.id, Akmal yang sedang dalam perjalanan kembali ke Mamuju itu mengaku prihatin atas bencana tersebut. Ia pun membatalkan agendanya menghadiri pembukaan MTQ Nasional ke-29 di Banjarmasin, segera kembali ke Mamuju.
"Kita akan gunakan BTT untuk membantu korban banjir. Saya minta OPD yang menangani agar segera merealisasikan BTT," sebut Akmal.
Akmal juga meminta BPBD Sulawesi Barat untuk senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk memastikan segala kendala yang dihadapi. Penting agar pemerintah provinsi dapat segera membantu mengatasi segala kendala di lapangan.
Termasuk terkait data korban yang terdampak banjir. Data yang valid bikin bantuan yang disalurkan dapat tepat sasaran.
"Penting memperhatikan akuntabilitas sehingga soal data korban harus betul-betul memastikan bantuan tepat sasaran," begitu kata Akmal Malik.
Alih Fungsi Lahan yang Berlebihan Salah Satu Penyebabnya
Cuaca ekstrem memang sedang melanda sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Barat. Curah hujan yang tinggi, termasuk fenomena pasang air laut jadi penyebab terjadinya banjir yang terjadi di Kabupaten Mamuju.
Alat Berat Mulai Membersihkan Batang Kayu yang Terbawa Banjir. (Foto/Firdaus Paturusi)
Bagi Suraidah Suhardi, selain sejumlah faktor di atas, salah satu penyebab banjir di Mamuju adalah maraknya alih fungsi lahan utamanya di wilayah hulu sungai. Aktivitas yang bikin kawasan yang idealnya menjadi daerah resapan air terus tergerus.
"Saya mengimbau kepada masyarakat untuk lebih peduli lagi terhadap keseimbangan lingkungan. Karena aktivitas alih fungsi lahan yang berlebihan itu menyebabkan banjir," ucap Ketua DPRD Sulawesi Barat itu.
Masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada segala yang alam berikan, mesti lebih care lagi terhadap keseimbangan ekosistem alam. Kata Suraidah, rusaknya lingkungan akibat aktivitas alih fungsi lahan yang berlebihan justru merugikan masyarakat sendiri.
"Jadi kita mesti peduli lagi terhadap kondisi lingkungan. Karena kalau sudah seperti ini yang dirugikan yah masyarakat juga," begitu kata Suraidah saat dihubungi via WhatsApp.
Hilangnya 'Kemesraan' antara Manusia dengan Alam
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), 'Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)'. (QS. Ar-rum: 41-42).
Bagi Imam besar Masjid Raya Syuhada Polman, Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly, firman Tuhan tersebut bisa diterjemahkan bahwa segala bentuk bencana alam itu ditumbulkan oleh karena akibat dari akumulasi tingkah laku manusia itu sendiri. Bagaimana perlakuan manusia terhadap alam.
"Jadi kalau kita merujuk ke ayat itu, bahwa manusia ini semakin tidak mesra lagi dengan alam, dengan terlalu mengeksploitasinya secara berlebihan," kata Sayyid Ahmad Fadlu kepada WACANA.Info, Desember 2021 yang lalu.
Bahkan dalam kajian akademik pun seperti itu. Menurut Sayyid Ahmad Fadlu, semakin tereksploitasi alam, itu justru semakin rusak alam itu. Keliru juga jika diartikan bahwa alam itu tidak untuk dimanfaatkan, tetap mesti dan wajib untuk dimanfaatkan. Ia justru berbuah masalah ketika kerakusan yang muncul. Porsi yang diambil oleh manusia rupanya lebih dari yang mereka butuhkan. Maka rusaklah alam itu.
Proses Evakuasi Korban Banjir. (Foto/Basarnas Mamuju)
"Jadi misalnya, hutan yang terlalu dieksploitasi. Itu akan menyebabkan permukaan hutan tak lagi bisa meresap air dengan baik. Akhirnya ketika turun hujan, terjadilah banjir. Segala bentuk fenomena yang terjadi di muka bumi ini juga sudah tidak lagi berada pada jadwalnya. Misalnya angin kencang. Dalam bahasa agama, secara singkat dijelaskan bahwa itu dikarenakan oleh karena ulah kita sendiri. Mungkin ini cara Tuhan untuk mengingatkan manusia. Bahwa mungkin manusia telah berlebihan mengambil sesuatu dari alam sehingga akibatnya begini," tokoh NU Sulawesi Barat itu menambahkan.
Sayyid Ahmad Fadlu pun berharap agar setiap manusia mesti dengan segera menyadari kekeliruannya itu. Tentu dilanjutkan dengan cara menghentikan kerja-kerja berlebihan terhadap alam. Paling tidak manusia moderen yang hidup sekarang ini bisa meneladani cara orang tua dalam menjaga kemesraannya dengan alam, mengejewantahkan penghormatannya terhadap lingkungannya.
"Orang dulu kan sudah melalukan itu. Mereka sudah menjalin hubungan yang mesra dengan alam. Hari ini kita sebagai manusia moderen seolah tak lagi punya hububngan emosional dengan alam. Ditambah lagi teks-teks agama, ceraman-ceramah agama yang kemudian menghantam kita bahwa penghormatan terhadap alam itu dianggap kemusyrikan. Orang dulu itu biasanya sesajennya dibawa ke pohon, ke laut atau ke sungai. Dalam pandangan saya, yah itulah cara orang dulu menghormati alam sekaligus memberitahu generasinya bahwa alam ini punya tempat di hati mereka dan harus dihormati. Belakangan kita dihantam oleh teks-teks agama bahwa cara seperti itu merupakan perilaku yang menyimpang dari agama. Menurut saya, ini persoalan tafsir saja," paparnya.
Fenomena di tengah manusia moderen tersebut, kata Sayyid Ahmad Fadlu bikin manusia seolah mengambil jarak dengan alam. Tak lagi ada rasa hormat kepada alam, kepada lingkungan. Menurutnya, sejumlah tindakan yang dilakukan oleh para orang tua dulu di atas bukan didasari keyakinan tentang ada kekuatan tertentu baik itu di pohon, di laut atau disungai. Itu sekadar cara masyarakat membuktikan penghormatannya terhadap lingkungan yang ia diami.
"Kemudian ada juga bahasa teman-teman yang muncul yang mengatakan bahwa hari ini manusia telah memonopoli kebenaran itu. Bahwa manusia hanya mengakses dan menerima kebenaran dari dirinya sendiri. Padahal orang tua kita dulu itu sebenarnya juga mengadopsi kebenaran, informasi dari alam. Ini yang tidak ada lagi. Isyarat-isyarat alam itu sudah tak lagi dipeduli," urai dia.
"Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan kondisi hari ini bukan jadi azab. Semoga ini semua bagian dari cara Tuhan untuk menguji kita. Sebab azab dan ujian itu menurut saya adalah dua hal yang berbeda," simpul Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly, sebuah prespektif yang masih sangat relevan hingga hari ini. (*/Naf)