Humaniora

Di Balik Fenomena Cuaca Ekstrem yang Terjadi di Sulbar

Wacana.info
Pulau Ambo Terncam Lenyap Karena Abrasi Pantai yang Terjadi Sejak Beberapa Tahun Terakhir. (Foto/Istimewa)

MAMUJU--Banjir, longsor, pasang air laut yang begitu tinggi, serta ragam bencana alam lainnya silih berganti khususnya di pernghujung tahun 2021 ini. Banyak pihak yang berkesimpulan, fenomena alam tersebut disebabkan oleh La nina. 

La Nina merupakan fenomena Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya. Dilansir laman BMKG, dari pendinginan Suhu Muka Laut (SML) ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. La Nina juga berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, dan sebagainya.

Ketua wilayah Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU Sulawesi Barat, Ikhwan Wahid menjelaskan, situasi tersebut tak mesti bikin masyarakat larut dalam kepanikan secara berlebih. Meski di sisi lain, level kewaspadaan wajib ditingkatkan. Dengan meningkatkan kewaspadaan, kerugian yang secara jelas bakal memperburuk situasi dapat lebih diminimalisir.

Ikhwan Wahid. (Foto/Istimewa)

"Untuk pemerintah sendiri, kami berharap telah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk. Kita tidak boleh gagap menghadapi kerumitan situasinya. Pemerintah mesti pasang badan di barisan terdepan. Tingkat bahaya, tingkat kerentanan, tingkat kapasitas, tingkat resiko mestinya sudah dalam hitungan matang karena masyarakat hanya butuh jaminan keselamatan jika situasi makin memburuk," ucap Ikhwan Wahid dalam sebuah diskusi di Ngalo Rock cafe, Mamuju, Selasa (7/12).

Jika intensitasnya tergolong berat, cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini bukan mustahil bakal berlangsung dalam rentang waktu yang lebih panjang. Kata Ikhwan, semua pihak mesti meningkatkan kewaspadaannya menghadapi situasi tersebut. Terlebih jika melihat fakta bahwa 96,8 Persen wilayah di Indonesia saaat ini sudah memasuki musim hujan, termasuk di Sulawesi Barat.

"Mitigasi fenomena La nina harus segera disiapkan oleh pemerintah. Bencana banjir, longsor, serta bencana-bencana lainnya sudah seharusnya bikin Satgas penanggulangan bencana daerah harus diaktifkan. Ini penting dalam merespon kompleksitas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satu contoh yang terlihat jelas di Sulawesi Barat adalah peristiwa longsor yang cukup sering terjadi di sepanjang jalur trans Sulawesi," sambung mantan aktivis PMII itu.

Banjir di Kota Polman. (Foto/Instagram Polman Update)

Di sisi lain, cuaca ekstrem saat ini juga akan sangat berdampak pada berbagai segmen kehidupan masyarakat, pertanian misalnya. Curah hujan yang sangat tinggi jelas punya potensi besar mengganggu produksi pertanian. Produktivitas pertanian dipastikan terganggu hingga berpotensi gagal panen. 

"Akibatnya, stok persediaan pangan kita jadi menipis. Semua pihak akan terdampak. Selain petani, masyarakat umum juga harus mengeluarkan dana lebih besar karena berkurangnya stok dan harga-harga dipasaran pada naik. Begitupun di sektor perikanan. Karena nelayan tentu akan sangat kesulitan melaut di tengah tingginya gelombang air laut sehingga secara otomatis akan memicu kenaikan harga ikan di pasaran," ungkapnya.

Pemerintah, masih oleh Ikhwan, perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi segala kemungkinan terburuk. Terlebih di Sulawesi Barat ini terdapat kurang lebih 56.000 Ha lahan persawahan pemasok kebutuhan pangan yang bukan mustahil akan terganggu. Pun dengan nelayan yang jumlahnya kurang lebih 17.600 di sepanjang pesisir Polewali Mandar hingga Pasangkayu yang dikhawatirkan gagal melaut karena ketinggian ombak serta fasilitas penangkapan yang terbilang sangat sederhana.

Hilangnya 'Kemesraan' antara Manusia dengan Alam

Tentang ragam bencana alam yang terjadi sesungguhnya telah mendapat penegasan di kitab suci Al Quran. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), 'Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)'. (QS. Ar-rum: 41-42).

Bagi Imam besar Masjid Raya Syuhada Polman, Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly, firman Tuhan tersebut bisa diterjemahkan bahwa segala bentuk bencana alam itu ditumbulkan oleh karena akibat dari akumulasi tingkah laku manusia itu sendiri. Bagaimana perlakuan manusia terhadap alam. 

"Jadi kalau kita merujuk ke ayat itu, bahwa manusia ini semakin tidak mesra lagi dengan alam, dengan terlalu mengeksploitasinya secara berlebihan," kata Sayyid Ahmad Fadlu kepada WACANA.Info, Selasa (7/12).

Sayyid Ahmad Fadly Almahdaly. (Foto/Istimewa)

Bahkan dalam kajian akademik pun seperti itu. Menurut Sayyid Ahmad Fadlu, semakin tereksploitasi alam, itu justru semakin rusak alam itu. Keliru juga jika diartikan bahwa alam itu tidak untuk dimanfaatkan, tetap mesti dan wajib untuk dimanfaatkan. Ia justru berbuah masalah ketika kerakusan yang muncul. Porsi yang diambil oleh manusia rupanya lebih dari yang mereka butuhkan. Maka rusaklah alam itu.

"Jadi misalnya, hutan yang terlalu dieksploitasi. Itu akan menyebabkan permukaan hutan tak lagi bisa meresap air dengan baik. Akhirnya ketika turun hujan, terjadilah banjir. Segala bentuk fenomena yang terjadi di muka bumi ini juga sudah tidak lagi berada pada jadwalnya. Misalnya angin kencang. Dalam bahasa agama, secara singkat dijelaskan bahwa itu dikarenakan oleh karena ulah kita sendiri. Mungkin ini cara Tuhan untuk mengingatkan manusia. Bahwa mungkin manusia telah berlebihan mengambil sesuatu dari alam sehingga akibatnya begini," tokoh NU Sulawesi Barat itu menambahkan.

Salah Satu Titik Longsor di Jalur Trans Sulawesi. (Foto/Instagram Info Manakarra)

Sayyid Ahmad Fadlu pun berharap agar setiap manusia mesti dengan segera menyadari kekeliruannya itu. Tentu dilanjutkan dengan cara menghentikan kerja-kerja berlebihan terhadap alam. Paling tidak manusia moderen yang hidup sekarang ini bisa meneladani cara orang tua dalam menjaga kemesraannya dengan alam, mengejewantahkan penghormatannya terhadap lingkungannya.

"Orang dulu kan sudah melalukan itu. Mereka sudah menjalin hubungan yang mesra dengan alam. Hari ini kita sebagai manusia moderen seolah tak lagi punya hububngan emosional dengan alam. Ditambah lagi teks-teks agama, ceraman-ceramah agama yang kemudian menghantam kita bahwa penghormatan terhadap alam itu dianggap kemusyrikan. Orang dulu itu biasanya sesajennya dibawa ke pohon, ke laut atau ke sungai. Dalam pandangan saya, yah itulah cara orang dulu menghormati alam sekaligus memberitahu generasinya bahwa alam ini punya tempat di hati mereka dan harus dihormati. Belakangan kita dihantam oleh teks-teks agama bahwa cara seperti itu merupakan perilaku yang menyimpang dari agama. Menurut saya, ini persoalan tafsir saja," paparnya.

Fenomena di tengah manusia moderen tersebut, kata Sayyid Ahmad Fadlu bikin manusia seolah mengambil jarak dengan alam. Tak lagi ada rasa hormat kepada alam, kepada lingkungan. Menurutnya, sejumlah tindakan yang dilakukan oleh para orang tua dulu di atas bukan didasari keyakinan tentang ada kekuatan tertentu baik itu di pohon, di laut atau disungai. Itu sekadar cara masyarakat membuktikan penghormatannya terhadap lingkungan yang ia diami.

"Kemudian ada juga bahasa teman-teman yang muncul yang mengatakan bahwa hari ini manusia telah memonopoli kebenaran itu. Bahwa manusia hanya mengakses dan menerima kebenaran dari dirinya sendiri. Padahal orang tua kita dulu itu sebenarnya juga mengadopsi kebenaran, informasi dari alam. Ini yang tidak ada lagi. Isyarat-isyarat alam itu sudah tak lagi dipeduli," urai dia.

"Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan kondisi hari ini bukan jadi azab. Semoga ini semua bagian dari cara Tuhan untuk menguji kita. Sebab azab dan ujian itu menurut saya adalah dua hal yang berbeda," simpul Sayyid Ahmad Fadlu Almahdaly. 

Hujan Lebat Masih Akan Terjadi

Potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat diperkirakan masih akan terjadi di sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Barat pada hari Rabu (8/11). Prakirawan Cuaca, BMKG  Majene dalam siaran persnya bahkan telah mengeluarkan pringatan dini kepada masyarakat dalam hal peningkatak kewaspadaan akan potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang dapat disertai kilat/guntur serta angin kencang di sejumlah wilayah Sulawesi Barat. 

Salah Satu Rumah Warga di Pesisir di Desa Tammeroqdo, Majene Rusak Diterjang Ombak Pasang Air Laut. (Foto/Istimewa)

Wilayah yang diperkirakan menyimpan potensi potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang dapat disertai kilat/guntur serta angin kencang pada Rabu (8/11) diantaranta di Kabupaten Majene (Banggae, Banggae Timur, Pamboang, dan Sendana), Polewali Mandar, dan Mamasa (Mambi, Mamasa, Bambang, Tabang, Tawalian, Balla, Rantebulahan Timur, Mehalaan, Tanduk Kalua, Sesena Padang, Pana, Nosu, Sumarorong,  Messawa) pada dini hari.

Potensi hujan sedang juga diperkirakan bakal terjadi di wilayah Kabupaten Majene, Mamasa, Polewali Mandar di pagi hari. Sementara di siang dan sore hari, potensi hujan ringan diperkirakan akan terjadi di wilayah Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah, Pasangkayu. Potensi hujan sedang di wilayah Kabupaten Polewali Mandar, Mamasa, dan Majene.

Sementara malam hari, Rabu (8/12), seluru wulayah Sulawesi Barat berpotensi digutur hujan dengan intensitas sedang. Dini hari, potensi hujan sedang terjadi di wilayah Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu. Potensi hujan lebat justru terjadi di wilayah Majene, Mamasa, dan Kabupaten Polewali Mandar. (Naf/A)