WTP itu Standar Minimal, yang Penting Masyarakatnya Sejahtera

MAMUJU--"Masa kesadaran harus dari luar. Opini itu hanya menjadi syarat minimal bagi pemerintah daerah dalam mensejahterakan masyarakatnya. Uang yang digunakan itu harus sesuai dengan syarat dan aturan yang berlau,".
Hal itu disampaikan mantan Kepala BPK perwakilan Sulawesi Barat, Eydu Oktain Panjaitan dalam media workshop pemahaman tugas dan wewenang BPK di gedung BPK perwakilan Sulawesi Barat medio Agustus 2019 silam.
Diksi 'standar minimal' yang digunakan Eydu di atas merupakan penegasan bahwa WTP berdiri di garis paling bawah atas apa yang diidealkan oleh BPK bagi pengelolaan keuangan daerah. Ada hal yang jauh lebih ideal yang disemogakan BPK dalam setiap proses audit yang dilakukannya. Makanya, WTP bukan untuk dibanggakan.
WTP yang diterima baik oleh pemerintah provinsi Sulawesi Barat, maupun pemerintah kabupaten, masih menyisakan setumpuk catatan dalam bentuk rekomendasi. Poin dalam rekomendasi tersebut adalah berbagai catatan minor yang mesti segera ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.
"Opini yang kami keluarkan memang WTP. Tapi WTP dengan banyak masalah. Jangan bangga dengan opini itu, sebab masalah yang ada itu harus segera ditindaklanjuti," tegas pria asli Pematang Siantar itu.
Dikatakan sebagai standar minimal, Eydu mengurai, pihaknya sesungguhnya punya agenda yang jauh lebih mulia ketimang 'hanya' memastikan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang dijalani pemerintah daerah. Kata Eydu, audit keuangan dengan memastikan prinsip akuntablitasnya terpenuhi itu hanya bagian kecil dari apa yang sebenarnya harus dilakukan BPK.
Menurutnya, ada tugas yang jauh lebih penting dari pada sekedar menguggurkan kewajiban dengan mengeluarkan opini (dengan seabrek rekomemdasinya). Kata Eydu, mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah tujuan akhir dari berbagai jenis audit yang dilakukan BPK.
"Sulbar ini masih fokus dalam urusan akuntabilitas. Kami jujur, kami fokus di pemeriksaan akuntabilitas. Kita belum melihat efektifitas dari perencanaan penganggarannya. Apakah ia sudah sesuai dengan tujuan mensejahterakan masyarakat, apakah sudah efisien. Kita belum sampai pada tataran itu," urai Eydu kala itu.
Padahal, BPK punya jenis pemeriksanaan lain selain 'sekadar' memeriksa akuntabulitas pengelolaan keuangan daerah. Audit Kinerja adalah item yang belum disentuh oleh BPK RI perwakilan Sulawesi Barat selama ini.
"Kita masih di tataran akuntabilitasnya saja. Belum masuk ke Kinerja dengan tujuan kesejahteraan masyarakat," papar dia.
Jangankan audit Kinerja, untuk memastikan akuntabulitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah saja, BPK masih harus kerja ekstra. Menurut Eydu, perbaikan kualitas SDM di internal pemerintah daerah adalah salah satu poin yang hendaknya segera dilakukan pemerintah daerah.
"Permasalahan (dalam rekomendasi BPK) itu sebaiknya sudah tidak ada. Idiealnya kan bukan karena diperiksa anda bertanggungjawab, yang jauh lebih penting, tanpa diperiksa pun tanggungjawab itu muncul dari kejujuran," harap Eydu pada kegiatan yang diikuti oleh sejumlah awak media tersebut.
Mungkin, banyak di antara kita yang tahunya BPK adalah lembaga yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan pemerintah daerah. Sementara audit Kinerja bisa saja terdengar asing di telinga kita. Padahal di audit Kinerja itu lah kepastian akan efektifitas dan efisiensi anggaran itu mendapat kepastian.
Merujuk dari data BPK perwakilan Sulawesi Barat, pemeriksaan Kinerja adalah audit atas aspek ekonomis dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan internal pemerintahan.
Jika BPK perwakilan Sulawesi Barat terus-terusan hanya fokus pada pemeriksanaan akuntabilitas saja, kapan lembaga itu menyentuh aspek Kinerja di Sulawesi Barat ?.
"Kendala kita di Sulbar ini adalah kualitas SDM. Misalnya, bendahara APBD itu kualitasnya harus sama dengan bendahara APBN, kita sudah rekomendasikan hal tersebut. Ia minimal harus tersertifikasi. Hanya saja masalahnya kita di Sulbar ini ada banyak kasus pemerintah daerahnya enggan untuk mengangkat pejabat bendahara yang tersertifikasi," tutup Eydu Eydu Oktain Panjaitan.
Saat ini, Eydu Oktain Panjaitan tak lagi di Sulawesi Barat. Akhir Februari 2020 lalu ia resmi diserahi amanah sebagai Kepala BPK perwakilan Sumatera Utara. Jabatan yang ditinggalkannya di Sulawesi Barat tersebut kini ditempati Muhammad Toha Arafat yang sebelumnya ada di posisi Kepala Auditorat IV C.
Pemerintah provinsi Sulawesi Barat untuk keenam kalinya secara beruntun diganjar opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan pengelolaan keuangan tahun 2019. Penyerahan laporan hasil pemeriksaan atas pengelolaan keuangan itu diserahkan BPK RI di forum rapat paripurna DPRD Sulawesi Barat, Kamis (25/06) siang.
Meski kembali meraih WTP (untuk keenam kalinya), sejumlah catatan minor masih juga mengiringi prestasi yang teramat sangat dibanggakan itu. Termasuk beberapa fakta yang disampaikan anggota VI BPK RI/pimpinan pemeriksaan keuangan negara VI, Prof. Harry Azhar Azis di forum rapat paripurna hari itu.
Prof. Harry Azhar yang mengutip data BPS tahun 2019 dan 2020 mengatakan, terdapat beberapa indikator kesejahteraan masyarakat menunjukkan tren yang terbilang negatif.
Misalnya, tingkat kemiskinan di Sulawesi Barat tahun 2019 sebesar 10,95 Persen yang nyatanya lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni di 9,22 Persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Barat taun 2019 yang berada di angka 65,73, lebih rendah dari pada capaian nasional yang ada di 71,92.
Termasuk di dalamnya gini ratio di Sulawesi Barat tahun 2019 sebesar 0,365, yang lebih rendah dibandingkan nasional yakni 0,382. Serta tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Mei) 2020 di Sulawesi Barat sebesar 1,73 Persen, pada periode yang sama persentase tersebut menunjukkan lebih tinggi dari nasional 0,90 Persen.
Meski di sisi lain, tingkat pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Barat pada triwulan I tahun 2020 tumbuh 4,92 Persen, lebih tinggi dari nasional sebesar 2,97 Persen. Termasuk tingkat pengangguran terbuka tahun 2019 di Sulawesi Barat sebesar 3,18 Persen, yang masih lebih rendah dari nasional sebesar 5,28 Persen.
"Kami berharap pada tahun 2020 ini pemerintah provinsi mampu menekan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan laju inflasi," tuntas Prof. Harry Azhar.
===
* Artikel di atas sudah pernah tayang dengan judul 'BPK, Jangan Berhenti pada Pemeriksaan Akuntabilitas Saja' pada hari Senin, 12 Agustus 2019. Hanya mengalami sedikit editing agar tetap relevan dengan kondisi saat ini