Keajaiban Terdekat

Oleh: Abdul Muttalib (Pegiat Budaya)
Aku tergolong orang yang sangat rapuh menghadapi rasa rindu, apalagi jika harus sampai berhari-hari jauh dari keajaiban yang sering kusebut sebagai rumah. Keajaiban terdekat yang tak perlu tercatat di Guinness World Records, rumah.
Rumah sebagai pusat keajaiban yang dipenuhi ciuman basah dari kedua putri berusia tiga dan dua tahun. Si kakak selalu girang memeluk, tangannya sambil memelintir telinga, dan dengan lincah mencium ke hampir seisi wajah.
Adikya seolah tak mau kalah. Keajaiban yang ditunjukkan sang adik sering ia bahasakan lewat ciuman paling basah yang acap kali gagal fokus. Berniat mencium bibir, kenanya malah hidung, atau hendak mencium bibir, kenanya justru dagu. Betapa ajaibnya.
Keajaiban lainnya itu bernama degup mesra kepada mantan pacar yang mewejud sebagai ibu dari kedua putri cantik di atas. Keduanya yang begitu manja, risau, ceria, nakal dan bersikap semaunya. Hanya sebuah keajaiban dari ibunya yang begitu tulusnya merawat, membesarkan kedua putri itu. Ia sampikan secara ikhlas lewat keteladanan dan kemesraan tiada tara.
Kemesraan yang terkadang menumbuhkan rasa cemburu dan kerap membuat aku kalap mencari pelarian, kemana lagi kalau bukan ke ibu biologis, perempuan yang melahirkanku. Tempatku meluapkan kasih sayang begitu rupa. Ia ibu yang sedikitpun tak kuasa ku gambarkan.
Seolah tiada abjad yang sanggup memuat kasih sayangnya di rumah keajaiban itu.
Aku tidak habis pikir, mengapa dua ibu di rumah itu begitu ajaib. Sedang bersantai, keluar roti bakar, sedang bekerja keluar kopi panas, mengepul. Rumah ajaib itu laksana cafe tanpa bill. Betapa ajaibnya.
Pulang larut malam ditunggui. Pintu rumah jika terbuka, satu dari kedua ibu itu pun muncul dengan senyum yang 'ting'. Seketika lelah meluruh, sumpek meluber, capek berhamburan. Rengkuh daku dengan kasih kemesraan tanpa tendensi.
Dunia ini terlihat indah berkat ibu. Satu ibu tanpa bilangan, dua ibu tanpa hitungan. Kedua-duanya ajaib. Keajaiban yang semoga tertularkan kepada kedua gadis kecil itu untuk terus mencerahkan dunia.
Tidak heran jika banyak tokoh idola sering berujar "Nilai kepemimpinan tidak selalu muncul dari sifat maskulin, tetapi justru kebanyakan muncul dari sifat-sifat feminim". Sifat feminim yang telaten menjaga, menyuburkan, dan menghidupkan.
Lebih sering merangkul, mencium, dan mendoakan, itu lah ibu. Bagi kedua ibu dan kedua gadis kecil itu, dalam hati aku berikrar akan terus belajar menjadi anak yang baik, bapak yang ramah, sekaligus jadi kekasih penuh romansa.
Mungkin terkesan sepele dan remeh, tapi aku tak akan pernah lupa atas jasa mereka yang telah mendekatkan sumber keajaiban itu. Saking dekatnya, terkadang aku sampai tak menyadari keajaibannya. (*)