Jangan Main-Main dengan Pilkada, Ongkosnya Mahal Cuy...

MAMUJU--Harga menentukan kualitas. Istilah yang sering dipakai untuk menegaskan bahwa produk dengan kualitas terbaik, biasanya dibanderol dengan harga yang mahal.
Tak ada yang salah dari istilah tersebut. Cukup sering memang kita dapati suatu produk dengan harga jual selangit menggandeng kualitas yang terbaik pula.
Bagaimana dengan 'produk' reformasi bertajuk Pemilukada ?. Bisakah disimpulkan bahwa besarnya biaya untuk menggelar Pemilukada bakal sejurus dengan kualitas pemimpin yang dihasilkannya ?.
23 September 2020 mendatang, sebanyak 270 daerah dengan rincian sembilan provinsi, 224 kabupaten, serta 37 kota se-Nusantara bakal menggelar pemilihan Kepala Daerah secara serentak.
NPHD Anggaran Pilkada untuk KPU Mamuju Diteken. (Foto/Manaf Harmay)
Di provinsi Sulawesi Barat sendiri, terdapat empat kabupaten yang akan menggelar pesta demokrasi tersebut. Kabupaten Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu saat ini terus bersiap menyongsong perhelatan lima tahunan itu.
Pemilukada sebagai salah satu 'produk' reformasi tentu berimplikasi pada biaya yang tak sedikit. Untuk sebuah kualitas demokrasi yang mumpuni, negara bahkan tak berfikir berkali-kali untuk menggelontorkan anggaran besar demi sebuah kontes pencarian Kepala Daerah berikut Wakil Kepala Daerah.
Data yang diperoleh dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) provinsi Sulawesi Barat dengan terang benderang mengurai jumlah anggaran pelaksanaan Pemilukada serentak di Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu.
Anggarannya cukup fantastis. Semuanya bersumber dari APBD masing-masing kabupaten yang ber-Pemilukada. Rinciannya sebagai berikut; Bawaslu kabupaten Majene dengan jumlah anggaran sebesar Rp. 6.665.500.000, KPU Majene diplot anggaran senilai Rp. 21.500.000.000.
Di Mamuju, Rp 8.000.000.000 untuk Bawaslu dan KPU Mamuju senilai Rp. 28.000.000.000. Kabupaten Mateng, Bawaslu-nya diserahi anggaran sejumlah Rp. 6.200.000.000, serta Rp. 17.000.000.000 untuk KPU Mateng. Serta kabupaten Pasangkayu dengan rincian anggaran Rp. 6.000.000.000 untuk Bawaslu dan Rp. 20.000.000.000 bagi KPU-nya.
NPHD untuk Anggaran Pilkada Majene Diteken. (Foto/Rumi)
Berdasarkan nota Hibah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara Bawaslu dan KPU di empat kabupaten di atas dengan masing-masing pemerintah daerah, jumlah anggaran untuk Bawaslu Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu senilai Rp. 26.865.000.000. Sementara KPU Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu mengelola anggaran senilai Rp. 86.500.000.000.
Dengan kata lain untuk membiayai Pemilukada di empat kabupaten di Sulawesi Barat, duit senilai Rp. 113.365.000.000 jadi 'tumbal'. Uang senilai itu digunakan demi lahirnya sepasang Kepala Daerah di Majene, Mamuju, Mateng dan Pasangkayu.
Anggaran Pilkada Majene 2020 Setara dengan 30 Persen PAD Tahun 2019
Sekedar membandingkan saja, untuk melihat lebih jauh tentang betapa mahalnya biaya untuk sebuah pesta demokrasi ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Majene di tahun 2019 seperti dikutip dari majenekab.go.id tercatat sejumlah Rp. 63.877.405.140,22.
Sementara biaya pelaksanaan Pemilukada tahun 2020 di kabupaten Majene yang berjumlah Rp. 36.000.000.000 (biaya Bawaslu plus KPU). Itu berarti ongkos Pemilukada Majene tahun 2020 setara dengan sekutar 30 Persen dari total PAD Majene di tahun 2019.
Pertanyaannya kemudian, Pemilukada yang mahal itu akankah jadi jaminan akan kualitas pemimpin yang dihasilkannya ?.
Faktanya, tidak. Cukup sering kita melihat, mendengar dan merasakan aura kekecewaan publik atas pemimpin yang dihasilkan lewat gelaran Pemilukada yang mahal itu. Atau dengan fakta bahwa ada beberapa Kepala Daerah yang harus berurusan dengan aparat lantaran terseret kasus hukum. Itu membuktikan harga menentukan kualitas tak berlaku untuk even Pemilukada.
Tulisan di atas telah dimuat di kolom opini, Harian Radar Sulbar edisi Rabu 15 Januari 2020.
Jangan Cuma Jadi Tim Sukses
Publik masyarakat mestinya memaknai Pemilukada sebagai sebuah perubahan dalam dinamika demokrasi. Mereka wajib untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi itu dengan mengusung satu visi bersama tentang konsep pembangunan daerah.
"Bukan hanya terlibat dalam kontestasi praktis atau biasa kita kenal dengan sebutan tim sukses," ujar Ketua PKC PMII Sulawesi Barat, Joko Prianto kepada WACANA.Info, Selasa (14/01).
Masyarakat, sambung Joko, harus mulai cerdas dan menyadari bahwa dengan ongkos yang begitu besar yang digunakan untuk ber-Pemilukada harus dimanfaatkan dengan baik. Caranya dengan terlibat secara langsung merumuskan keinginan mereka dam mendorong program-program yang diinginkan kepada Bacalon yang akan maju di Pemilukada. Bukan hanya sekedar diam, melihat, dan mendengar.
Ketua PKC PMII Sulbar, Joko Prianto. (Foto/Net)
"Yang kedua, publik harus ikut terlibat mengawasi jalannya proses Pilkada yang berlangsung dengan jujur dan adil dan tentu saja bisa berakhir damai tanpa konflik," ucap dia.
Yang Tak kalah pentingnya bagi Joko, adalah sistem pengawasan penggunaan anggaran yang digunakan oleh seluruh stakeholder Pemilukada yang wajib tetap berjalan. Itu penting demi menfhindari penyelewengan kewenangan atau terjadinya kasus korupsi di penyelenggara Pemilu.
"Semoga anggaran yang begitu besar berbanding lurus dengan perbaikan kualitas demokrasi kita," tutup Joko Prianto.
Pilkada Sebagai Rangkaian Keberlanjutan Peradaban
Substansi Pemilukada tidak hanya lekatknya pada memilih Kepala Daerah dan wakilnya saja. Jauh dari itu semua, Pemilukada merupakan prosesi politik sebagai rangkain dari keberlanjutan pembangunan peradaban.
Dewan pembina Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar menilai, bukan hanya materi yang fantastis saja yang dibutuhkan untuk terwujudnya Pemilukada yang baik. Partisipasi publik pun ikut menjadi penentu apakah Pemilukada benar-benar berjalan jujur dan adil.
"Artinya, publik tidak bisa diam dan menunggu masa pemilihan tanpa ikut menyorot proses pelaksanaan Pilkada secara tidak langsung. Anggaran yang cukup besar ini tidak hanya bicara soal pemenuhan proses pelaksanaan Pilkada semata, tetapi kualitas Pilkada harus berbanding lurus dengan jumlah anggaran yang digunakan," kata Syarifuddin Mandegar.
Dewan Pembina Esensi Sulbar, Syarifuddin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)
Syarifuddin yang mantan aktivis HMI itu mengajak semua pihak untuk belajar dari beberapa persoalan pada pelaksanaan Pemilukada sebelum-sebelumnya. Mulai dari DPT yang bermasalah, termasuk jenis-jenis pelanggaran di tingkat TPS.
"Dengan jumlah ketersediaan anggaran yang ada, tentu saja segala kesiapan penyelenggara Pemilu harusnya sudah terpenuhi. Karena itu, publik tidak bisa pasif begitu saja dan menunggu masa pemilihan tiba," bebernya.
"Disamping itu, sudah saatnya perilaku politik transaksional juga sangat penting untuk dihindari oleh publik. Sebab harus diingat, hasil dari Pilkada ini terpulang kepada publik itu sendiri selama 5 tahun yang akan datang," tutup Syarifuddin Mandegar. (Naf/A)