Islam, Perdamaian dan Keadilan
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari (Mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah 2015-2020
Kita mulai tulisan ini dengan mengaji kata Islam itu sendiri. Kata Islam berasal dari akar kata salima (huruf shin, lam, dan mim). Dari akar kata ini terbentuklah kata (verbal noun/isim mashdar) al-salam yang artinya kesejahteraan, al-salamah yang artinya keselamatan, dan al-silmu yang artinya damai. Dari akar kata berhuruf s, l, dan m ini bisa dibentuk kata kerja transitif aslama yang bentuk verbal noun-nya adalah islam (al-Islam) yang artinya menyerahkan diri dengan penuh kedamaian. Setiap orang yang bersikap menyerahkan diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah disebut muslim (laki-laki) atau muslimah (perempuan), bentuk jamak (plural)-nya muslimun/muslimin (masculinum) dan muslimat (femininum).
Idries Shah, seorang otoritas besar dalam sufisme, dalam bukunya The Elephant in the Dark, menyatakan bahwa Islam adalah nama dan makna. Namanya damai dan maknanya damai. Tak heran jika Muhammad SAW, Nabi Islam, memerintahkan kepada setiap pengikutnya untuk afsu ‘l-salam, menyebarluaskan salam (perdamaian, kesejahteraan dan keselamatan) kepada semua orang. Pertemuan atau perjumpaan dua atau lebih orang juga sangat dianjurkan diawali dengan ucapan salam. Bahkan seringkali perlu diikuti dengan berjabat tangan alias ber-salaman.
Dalam Shalat, sembahyang dalam Islam, wajib ataupun sunat, terutama dalam tahiyyat awal orang harus membaca salam kepada seluruh para Nabi (al-salamu ’alaika ayyuha l-nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh), salam kepada kita semua dan salam kepada seluruh hamba Allah yang salih (al-salamu ’alaina wa ’ala ’ibadillahi l-sholihin), dan salam (atau shalawat) kepada Nabi Muhammad SAW dan kepada keluarganya; dan dalam tahiyyat akhir dianjurkan mengucapkan salam kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Sebuah shalat akhirnya ditutup dengan dua kali salam sambil berpaling ke kanan dan ke kiri. Artinya menyerukan perdamaian ke sekitar kita. Seorang muslim adalah seorang yang bisa membuat orang lain aman, damai, dan selamat dari (keusilan atau kejahatan) mulut dan tangannya.
Maka jalan Islam disebut juga dengan subulu ‘l-salam, yakni jalan-jalan keselamatan dan perdamaian. Bahkan negara kaum muslim disebut daru ‘l-salam, yang artinya kampung perdamaian. Demikian juga dengan Surga dalam Islam: sering disebut dengan kata daru’l-salam, yang artinya rumah atau kampung perdamaian. Coba perhatikan noktah-noktah ajaran itu: betapa kuat dan dahsyatnya penekanan Islam terhadap kesejahteraan, perdamaian, dan keselamatan bersama.
Perdamaian Berdasar Keadilan dan Persaudaraan
Mohamad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama sekaligus salah seorang founding fathers yang sangat dihormati, ternyata seorang yang sangat menaruh perhatian pada soal Islam dan perdamaian ini. Membaca tulisan-tulisannya dan juga pidato-pidatonya yang sangat banyak itu sampailah dia pada kesimpulan bahwa (1) perdamaian tidak syak lagi adalah cita-cita Islam; (2) didikan Islam adalah didikan damai; (3) kata kunci dalam Islam adalah perdamaian; (4) perdamaian senantiasa menjadi titik tolak Islam; (5) Islam memimpin kita ke jalan damai; dan karena itu, (6) hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam adalah damai.
Perdamaian dalam Islam, bagi Hatta, sangat berkaitan dan harus dikaitkan dengan keadilan. Sebab, perdamaian tidak akan pernah terwujud tanpa adanya keadilan. Maka menuntut dan memperjuangkan keadilan merupakan kewajiban agar tercapai perdamaian. Tidak akan pernah ada perdamaian jika tidak terdapat keadilan. Oleh sebab itulah orang harus menuntut keadilan demi tercapainya perdamaian. Selama masih ada sistem penjajahan (dalam segala bentuk dan manifestasinya) maka keadilan tidak akan ada. Sebab itu maka perjuangan untuk menghilangkan penjajahan dalam segala bentuknya adalah kewajiban bagi orang Islam. Keadilan adalah syarat untuk mencapai perdamaian sejati.
Di samping itu, perdamaian juga mengharuskan persaudaraan. Sebab, persaudaran juga merupakan prasyarat perdamaian. Persaudaraan dalam hidup di dunia ini berarti membukakan hati terhadap persoalan bangsa-bangsa lain, untuk saling tolong menolong mencapai kemakmuran bersama. Dunia ini dilahirkan Tuhan bagi kita untuk diperbaiki, tempat kita mempergunakan akal dan budi untuk kebaikan umat manusia. Bukan untuk dielakkan atau ditiadakan, apalagi semata-mata untuk mencapai kesenangan bangsa sediri. Berusahalah kita untuk memperbaiki dunia ini sebagai tangga ke akherat, supaya tercapai perdamaian yang sejati yang nyata-nyata merupakan tuntutan Islam. Bukankah damai adalah hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam?
Memperbaiki dunia yang penuh kedamaian dan persaudaraan tersebut, menurut Dr Mohamad Hatta, adalah tuntutan dari kepercayaan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu merupakan tuntutan ajaran Islam itu sendiri. Hal ini karena kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu mengharuskan manusia yang berkepercayaan itu melaksanakan harmoni dalam alam raya ini. Kesemuanya itu harus dilakukan dengan jalan bersedia untuk memupuk persahabatan dan persaudaran antarseluruh manusia dan bangsa karena bagi Tuhan manusia adalah sama. Tanpa persamaan tidak akan pernah tercipta keadilan, tanpa keadilan tidak akan tercipta persaudaraan, dan tanpa persaudaraan mustahil tercipta perdamaian.
Persaudaraan Berdasar Persamaan
Persaudaraan segala bangsa itu hendaklah menjadi tujuan kita, karena hanya di atas persaudaraan itulah dapat tercapai kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan antarbangsa. Dan itu semua hanya mungkin tercapai apabila diletakan di atas asas dan prinsip persamaan derajad. Persaudaraan hanya mungkin di atas persamaan derajad. Antara tuan dan budak, antara patron dan client, dan antara boss dan cecunguk tidak mungkin tercapai persaudaraan yang sebenarnya. Untuk mencapai dasar bagi persaudaraan bangsa-bangsa sedunia, maka perlulah dihapuskan dan dilenyapkan terlebih dulu imperialisme dan penjajahan, yang menimbulkan penindasan oleh bangsa yang satu atas bangsa yang lain.
Perdamaian mesti diletakkan di atas dasar persaudaraan (brotherhood, ukhuwah), keadilan (justice, al-‘adalah), dan persamaan (equality, musawwah). Kesemuanya itu hendaknya dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Karena perdamaian adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah. Maka untuk menghindari keanekaragaman pengertian perdamaian itu sendiri, perdamaian haruslah dikaitkan secara organis dan positif dengan hukum. Tanpa hukum dan keadilan maka perdamaian menjadi tidak memiliki subtansi, dan karena itu tidak lebih dari pada sekedar slogan kosong alias utopia belaka.
Perdamaian yang dituju oleh Islam hanya mungkin tercapai apabila tata dunia internasional telah terbentuk dengan berdasarkan hukum. Bukan hukum yang dipaksakan oleh yang kuat kepada yang lemah –karena ini sebenar-benarnya perkosaan– melainkan hukum yang lahir dari sumbernya yang terdalam yang menjelma ke dunia sebagai hasil dari pada permusyawaratan seluruh bangsa.
Hukum yang setinggi-tingginya menurut Islam ialah damai. Dan hukum jang lahir dari bermusyawarah dan berdamai adalah pula keadilan yang sebesar-besarnya yang dapat dicapai oleh umat manusia. Di atas dasar itu dunia bisa jadi aman dan damai, bangsa-bangsa di dunia akan merasa hidup dalam lingkungan hukum yang adil. Wallahu a’lam. (*)
Sumber: www.muhammadiyah.or.id