Guruku Sayang, Guruku Malang
Rostina, Jerni dan Hasriani. Ketiganya hanya duduk. Bersandar di pagar pembatas lantai dua gedung DPRD Sulawesi Barat. ketiganya merupakan bagian dari massa aksi yang digelar Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di gedung rakyat itu, Kamis (9/01) siang.
Baik Rostina, Jerni dan Hasriani memilih untuk duduk di luar ruang rapat pimpinan DPRD. Padahal di ruang itu lah dialog antara GTT/PTT berikut perwakilan sejumlah organisasi mahasiswa bersama tiga orang anggota DPRD Sulawesi Barat dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Barat berikut perwkilan TAPD digelar.
Agenda dialognya sendiri tidak jauh dari sekelumit persoalan yang masih menyelimuti para GTT/PTT di Sulawesi Barat. Mulai dari gaji yang sejak lima bulan terakhir belu dibayarkan, Pergub tentang BOMDA yang dianggap sangat merugikan para GTT/PTT, SK GTT/PTT yang lahir di bulan Desember 2018 yang menurut GTT/PTT merupakan sebuah keanehan, serta beberapa persoalan lainnya dikupas di forum itu.
Entah karena alasan apa. Apa karena ruang pertemuan yang begitu dipadati oleh demonstran, staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, staf TAPD, atau karena wartawan.
Mungkin juga karena Rostina, Jerni dan Hasriani sama sekali tak paham tentang hal-hal yang dibincangkan oleh para politisi serta birokrat yang terlibat dalam dialog siang itu.
Ketiganya tetap saja duduk di luar ruangan, bersandar di pagar besi DPRD Sulawesi Barat.
Yang mereka harapkan hanya gaji mereka yang sudah sejak lima bulan terakhir tak juga dibayarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Sulawesi Barat. Melihat ketiganya hanya duduk di luar ruangan, WACANA.Info pun sempat berbincang dengan mereka yang kebetulan sama-sama datang dari kabupaten Mamuju Tengah itu.
"Kami datang ini sejak tadi pagi Pak. Berangkat dari Mateng itu subuh-subuh, hanya untuk ikut aksi ini," ungkap Rostina.
Perempuan yang berprofesi sebagai sebagai PTT di SMK 1 Budong-Budong itu mengaku terpaksa harus menggeluti profesi lain demi untuk membiayai tiga orang buah hatinya.
"Bayangkan Pak, kita tidak digaji selama lima bulan ini. Jadi, saya harus putar otak lagi bagaimana caranya bisa dapat uang untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anak," beber perempuan yang sejak beberapa tahun terakhir ini telah resmi menyandang status janda itu.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, termasuk untuk biaya sekolah ketiga anaknya, ia terpaksa menggeluti profesi sebagai penjual tempe rumahan. Sedikit demi sedikit keuntungan yang ia peroleh dari usaha kecil itulah yang dikumpulkan Rostina hingga ia mampu membiayai kebutuhan ekonomi dan sekolah anak-anaknya.
"Alhamdulillah Pak. Itu mi yang selalu dikumpul-kumpul kasihan. Yah paling tidak untuk kebutuhan sekolahnya anak-anak," ibu yang telah mengabdi sejak 15 tahun yang lalu itu.
Hampir sama dengan apa yang dirasakan oleh Jerni. Ibu dua anak itu pun harus banting tulang demi menambal lubang-lubang kebutuhan ekonomi yang ia hadapi.
GTT bidang studi Bahasa Indonesia itu pun berharap agar pemerintah bisa dengan segera membayar gaji lima bulan terakhir yang belum juga direalisasikan. Semakin galau-lah ia tatkala mendengar kabar bahwa untuk rekruitmen GTT, bakal dilakukan seleksi mengikuti pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Suami cuma bekerja sebagai Satpol PP Pak. Otomatis penghasilannya tidak akan pernah cukup untuk membiayai kebutuhan ekonomi, termasuk biaya sekolahnya anak-anak. Kemarin-kemarin masih bisa je ki bernafas Pak, waktu masih ada gaji. Sekarang mau bagaimana lagi, lima bulan ini sudah tidak ada gaji," keluh Jerni yang hari itu mengenakan jilbab berwarna hitam itu.
Untuk menutupi berbagai kebutuhan ekonominya, Jerni terpaksa memilih untuk lebih fokus pada usaha depot air minum kecil-kecilan yang ia kelola. Karena berharap pada penghasilan sebagai seorang tenaga pengajar adalah hal yang sia-sia, setiaknya selama lima bulan terakhir.
Pun begitu dengan Hasriani. Perempuan yang telah mengabdi sebagai salah satu tenaga sejak SMK 1 Budong-Budong berdiri di tahun 2014 itu juga mengeluhkan gaji yang tak kunjung dibayarkan. Padahal, sehari-harinya, untuk sampai ke tempat ia mengajar, ia harus menempuh jarak yang cukup jauh.
"Sudah jauh, jalanannya juga jelek Pak. Kalau hujan itu, biasa kita simpan motor di jalan, baru kita jalan kaki 1 Kilometer lebih menuju sekolah," papar Hasriani, GTT untuk mata pelajaran Matematika ini.
Dialog Antara Anggota DPRD, Pihak Eksekutif, dengan GTT/PTT dan Perwakilan Organisasi Mahasiswa. (Foto/Manaf Harmay)
Rasa-rasanya adalah hal yang sangat wajar bagi para GTT/PTT meluapkan kejengkelannya atas apa yang mereka alami di atas. Mereka hanya digaji selama tujuh bulan, sementara SK yang mereka kantongi berlaku untuk satu tahun. Lantas, dimana lima bulan gaji yang harusnya mereka terima selanjutnya ?.
Yang juga menjadi agenda utama dalam aksi unjuk rasa GTT/PTT tersebut ialah menuntut pemerintah untuk mencabut Pergub tentang BOMDA. Menurut GTT/PTT, Pergub itu sangat merugikan para GTT/PTT, khususnya mereka yang menbadi di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Seperti yang diakui oleh Ramli, GTT di SLB Sendana, Majene. Di sela-sela dialog di ruang rapat pimpinan DPRD Sulawesi Barat, Ramli mengaku, jika merujuk ke Pergub BOMDA itu, ia yang seorang GTT di SLB hanya akan menerima gaji Rp. 150 Ribu per lima bulannya.
"Kalau Pergub itu yang mau digunakan, maka dalam kita hanya akan menerima bayaran Rp. 150 Ribu untuk lima bulan," kata Ramli.
Rahmatiah, GTT di SLB Polewali juga mengungkapkan hal yang lebih miris lagi. Dari pengakuan dia, profesinya sebagai GTT di SLB hanya akan dihargai dengan gaji Rp. 100 Ribu untuk lima bulan. Itu jika Pergub tentang BOMDA tersebut dijadikan acuan.
"Kira-kira bagaimana kita rasa Pak ?. Kita mengajar sekian anak yang berkebutuhan khusus. Lantas kita hanya digaji Rp. 100 Ribu per lima bulan ?. Ini sangat tidak manusiawi. Kira-kira, tidak usah lima bulan, cukup kah itu Rp. 100 Ribu setiap bulannya Pak ?. Tidak toh ?. Yang lajang saja, pasti tidak cukup, apalagi seperti kami ini yang sudah berkeluarga," keluh Rahmatiah dengan begitu menggebu-gebu.
15 Januari 2018 mendatang, DPRD provinsi Sulawesi Barat telah bersepakat dengan GTT/PTT serta pihak eksekutif bersama beberapa organisasi kemahasiswaan yang mengawal persoalan ini untuk menggekar rapat pimpinan diperluas. Khusus untuk membahas problematika yang dihadapai para GTT/PTT di Sulawesi Barat.
Rencananya, di forum itu lah akan diputusakan apa solusi yang paling tepat untuk mengakhiri begitu panjang junto berlarut-larutnya masalah GTT/PTT di Sulawesi Barat ini.
Jika tak ada aral melintang, selain akan dihadiri seluruh unsur pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPRD Sulawesi Barat, rapat pimpinan diperluas itu juga akan mendudukkan Gubernur, Sekda, serta OPD terkait. Serta akan diikuti oleh perwakilan GTT/PTT dan organisasi mahasiswa lainnya. (Naf/A)