Trust, dan Sikap Saling Menghormati
Oleh: Adi Arwan Alimin
(Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Barat)
Trust atau kepercayaan. Lema yang sedang menguji siapapun dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Apakah ia merupakan jajaran penyelenggara, peserta pemilu pun warga pemilih. Komponen inilah yang sedang berlari kencang di setiap tahapan dan isu apapun saat ini.
Pertanyaan sebelum anda membaca lebih jauh. Apakah Anda percaya pada penyelenggara, apakah anda percaya pada peserta pemilu, apakah anda percaya pada orang-orang yang akan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) menyalurkan hak pilihnya. Atau, masihkah anda percaya pada siapa saja yang akan menjadi bagian dari proses pemilu ini? Meski ia orang-orang yang sangat dekat dengan anda.
Saling percaya seperti sedang blur dalam pandangan mata, dalam sikap, dan ujaran-ujaran kita. Meski tak seluruhnya demikian, mestinya fenomena ini disudahi dalam wacana lebih besar tentang Indonesia. Tentang kelangsungan kita sebagai bangsa yang lebih kuat dan bermartabat. Mengenai pilihan kita tentang demokrasi yang berkeadaban.
Trust tidak hanya beroperasi pada level perorangan namun juga kelembagaan. Setiap pemilih dipercaya untuk mengidentifikasi diri mereka dengan benar dan melakukan apa saja yang paling memungkinkan di bilik suara. Petugas di area pemungutan suara juga harus dipercaya untuk menunjukkan dengan jujur bahwa mereka telah bekerja sesuai prosedur. Pun bagi peserta pemilu seharusnya juga kita percaya bahwa mereka telah mengembangkan cara atau metode untuk terus dipercaya.
Kita sepertinya amat sulit memindai soal percaya dan tak dipercaya. Kecuali dengan kerangka pekerjaan dan fungsi yang masing-masing dilakoni. Jika penyelenggara tidak melakukan pekerjaannya secara teknis sesuai regulasi yang menjadi alur dan mekanisme standarnya, ia tak patut dan layak dipercaya. Tetapi bagaimana dengan mereka yang terus menerus mengirim dugaan tiada terkira tapi menolak obyektifitas. Apakah mereka juga patut dipercaya.
Di sisi ini kita mesti merentang garis keseimbangan batin bahwa setiap orang memiliki ruang, momentum, posisi, dan tanggung jawab pekerjaan berbeda. Agar tumbuh harmoni keindonesian dalam nada kebinekaan memukau. Kecurigaan-kecurigaan telah menjadi rempah yang mengganggu selera kebangsaan kita.
Setiap hal pasti selalu memiliki bias terhadap sistem, apalagi sebuah Pemilu yang membetot perhatian semua pihak. Tapi saya ingin menyampaikan bahwa kita memiliki kekuatan yang amat besar. Bahwa keragaman kita dalam suku bangsa, dialek, agama, dan budaya telah berumur berabad dalam interaksi. Itu lebih berharga dari apapun. Kita hanya perlu kembali saling mempercayai satu sama lain.
Membangun kepercayaan yang diperlukan dalam suatu sistem dan proses yang bekerja bagi orang banyak sesuatu yang tak mudah. Kelembagaan KPU, misalnya, yang mengelola pemilihan umum membutuhkan kompetensi utama itu; kepercayaan.
Menurut Stephen M.R. Covey, penulis buku best seller "The Speed of Trust", cara membangun kepercayaan dapat dimulai dengan membangun kepercayaan pada diri sendiri terlebih dahulu, dan jangan menilai, tapi mulailah dengan menunjukkan perilaku. KPU sejauh ini telah mengembangkan kultur itu, yakni merentang keterbukaan, akuntabilitas, dan akses publik yang amat memudahkan bagi siapapun.
Pengalaman KPU mengelola proses pemilihan umum, dari Pemilu ke Pemilu telah menunjukkan itu secara berharga. Selain tata kelola Pemilu yang makin membaik, pola rekrutmen sumber daya penyelenggara hingga ke level adhoc pun kian berkualitas. Gading semahal apapun tentu tetap memiliki retak tapi tak mematahkan, demikian pula penyelenggara. Mereka juga manusia pada umumnya.
Tahapan menuju 17 April 2019 tak lama lagi. Masih terdapat kesempatan luang untuk menjamin proses penyelenggaraan yang makin berkualitas. Hal yang paling ditakuti oleh semua orang memang hanya mengenai kepercayaan. Bayangkan saja bila setiap langkah dan apapun tak lagi bermakna karena tak dipercaya. Jika trust telah tergerus terkuburlah menjadi bubur.
Bagi publik silakan melihat, dan mengawasi segala gestur penyelenggara, yang ibaratnya seperti bekerja dalam aquarium besar. Di mana setiap orang dapat menukilnya tak berdaya, atau menyematinya lencana keyakinan. Sebab itulah yang tak ternilai. Sikap saling percaya sebenarnya belum pupus, hanya diperlukan rasa hormat bagi sesama. Itulah integritas yang utama. (*)
Istiqlal, 19 Desember 2018