Membedah Metode Pemilu Sainte Lague

Wacana.info
Suhardi Duka. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Suhardi Duka

Undang-Undang Pemilu telah ditetapkan, walaupun terdapta 4 fraksi di DPR RI yang memilih walk out. Itu jelas membuka potensi uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Apapun itu, semuanya menjadi bagian dari proses demokrasi di Indonesia, khusunya tarik menarik kepentingan di Pilpres 2019 nanti.

Pertanyaannya, apakah Undang-Undang Pemilu yang baru lebih baik ketimbang Undang-Undang sebelumnya ?.

Untuk itu, maka mari kita telusuri beberapa perbedaan, dan apakah perbedaannya lebih baik atau justru lebih buruk. Saya tidak akan membahas presidential threshold yang saat ini lagi trend karena terkait dengan keputusan MK tentang Pemilu serentak. Karena prinsipnya dengan Undang-Undang sebelumnya juga sama saja 20 Persen presidential threshold. 

Yang ingin saya soroti adalah tentang sistim perhitungan suara yang menggunakan metode berbeda dengan Undang-Undang yang lalu yakni dengan metode kuota hare dan yang baru menggunakan metode sainte lague.

2 metode ini cukup penting dan mempengaruhi tiga hal yaitu jumlah perolehan kursi yang berbeda dan sistem kepartaian serta proporsional suara. Bila menggunakan sistim lama kuota hare, maka kursi itu bisa terbagi rata pada partai politik dengan kurang mepertimbangkan jumlah suara dalam kursi. Artinya nilai kursi partai A bisa berbeda dengan partai B. Atau partai A kursinya bernilai 5.000 suara dan partai B Bisa bernilai hanya 1.500 suara.  

Mengapa demikian, karena kursi dinilai berdasarkan BPP atau bilangan pembagi pemilih dari jumlah suara yang sah dibagi jumlah kursi pada suatu tingkatan  parlemen. 

Contoh, bila BPP di DPRD kabupaten sama dengan 4.000/kursi, Partai A mendapat suara 5.000 dan partai B mendapat suara 1.500 dan partai C mendapat 1.100 dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 3 kursi, maka Partai A mendapat 1 kursi dengan nilai BPP 4.000 sisa suara 1000. Partai B dan C tdk mendapatkan kursi murni, kemudian pembagian tahap kedua sisa suara, maka partai B dapat 1 kursi, 1.500 dan partai C juga dapat 1 kursi dengan nilai 1.100 suara. Dengan demikian kursi habis sisa suara partai A 1.000, tidak mendapat kursi. Berarti kursi partai A nilainya menjadi 5.000. Bandingkan dengan partai C hanya 1,100 suara. Kurang proporsional dan tidak adil.

Metode ini disukai oleh partai kecil, dan partai-parti baru karena kursi lebih merata ke partai politik peserta Pemilu sebagaimana yang digunakan selama ini. Dalam satu Dapil partai politik sulit mendapat 2 kursi, tapi justru merata masing-masing satu kursi seperti halnya yang terjadi 2 Dapil di Polman untuk DPRD Provinsi saat ini.

Coba kita bandingkan dengan metode yang baru yang akan diterapkan pada Pemilu 2019 yaitu metode sainte lague.  Metode ini tidak akan memberikan toleransi kepada partai kecil atau sisa suara, karena cara menghitungnya berbeda jauh dengan metode sebelumnya.

Seperti halnya contoh diatas partai A = 5.000, partai B = 1.500, partai C = 1.100 di Dapil yang memperebutkan 3 kursi. Maka cara menghitungnya adalah bukan pada kuota kursi tapi 1,3,5,7, dan seterusnya. Maka kursi pertama adalah partai A = 5000. Kemudian kursi kedua 5.000/3 = 1.666.

Maka juga di dapat oleh partai A karena lebih besar dari partai B 1.500. Selanjutnya kursi ke 3 adalah partai A = 5.000/5 = 1.000, kemudian partai B 1.500. Maka kursi, ketiga adalah partai B karena lebih besar dari 1.000 partai A dan  1.100 partai C. Dengan demikian maka partai C tidak mendapat kursi. Karena hanya 1.100 jumlah suaranya sedangkan partai A 5.000 suara wajar mendapat 2 kursi dengn nilai 1 kursi sama dengan 2.500 dibanding partai B hanya 1.500 dapat kusri 1. 

Perbedaannya jelas Partai A menjadi sedikit lebih adil dapat 2 kursi walaupun nilai kursinya masih tinggi dibanding partai B.

Tapi tidak separah dengan cara pertama dengan metode kuota hare yang partai A hanya mendapat 1 kursi. Metode sainte lague memang cara perhitungan yang disukai partai besar, karena akan bisa menambah kursinya di parlemen sesuai dengan jumlah perolehan suaranya di satu Dapil. 

Demikian juga tidak menjadi banyak fraksi di parlemen walaupun banyak partai peserta Pemilu. Karena sisa suara menjadi besar dari masing masing partai besar, partai kecil yang tadinya hanya berharap pada sisa suara menjadi tidak kebagian kursi.

Jadi memang berpengaruh dengan proporsional jumlah perolehan kursi dan suara, demikian juga akan bisa mempengaruhi sistim kepartaian, artinya orang berpikir panjang untuk ingin membentuk partai baru dan dicalonkan oleh partai baru.

Menggunakan metode sainte lague sesungguhnya sudah bisa menggunakan sistim proporsional tertutup, terpilih berdasarkan nomor urut calon karena kemunkinan untuk mendapatkan 2-3 kursi dalam satu Dapil oleh partai tertentu sangat terbuka. Tidak sama denga metode kuota hare memang kemungkinan 2-3 kursi untuk satu Dapil itu sulit kecuali memang suara partai tertentu besar mampu mengkapiltalisasi bilangan pembagi pemilih. Seperti halnya partai Demokrat di Dapil 1 Mamuju, mampu memperoleh 5 kursi di satu Dapil pada tingkat DPRD Mamuju. 

Dengan metode sainte lague pada Pemilu 2019, memungkinkan partai tertentu mendapatkaan 2 kursi di DPR-RI Dapil Sulbar yang saat ini 4 kursi. Bila dibanding dengan metode kuota hare Dapil Sulbar hampil mustahil partai politik tertentu bisa mendapat 2 kursi. Karena dengan 800.000 jumlah vote maka nilai satu kursi menjadi besar atau sama dengan 200.000/perkursi. 

3 kali Pemilu di Sulbar tidak ada satupun partai politik memperoleh suara sampai dengan bilangan pembagi pemilih. Artinya setiap kursi yang diperoleh partai politik di Sulbar adalah kursi sisa suara.

Dicontohkan, Partai A = 199.000, partai B  = 120.000, Partai C = 70.000, Partai D = 40.000, partai E = 30.000 dan partai selanjutnya 25.000 dan seterusnya sampai suara sah 780.000. Pembagian kursinya adalah kursi pertama adalah partai  A = 199.000. Kursi kedua adalah partai A 199.000/3 = 66.333, partai B = 120.000, partai C = 70.000, maka kursi kedua adalah milik partai B. Kemudian kursi ke 3 adalah partai A 199.000/3 = 66.333, partai B = 120.000/3 = 40.000, dan partai C = 70.000, serta partai E = 30.000 maka kursi ketiga adalah milik partai C = 70.000 suara.
 
Kemudian kursi ke 4  partai A 199.000/3 = 66.333, partai B 120.000/3 = 40.000, partai C 70.000/3 = 23.333, dan partai D = 40.000, maka kursi ke empat kembali menjadi hak partai A yang mendapat 66.333. Mengalahkan partai B,C,D dan E.

Dengan demikian maka Pemilu kali ini lebih berkeadilan dan proporsional antara jumlah kursi dan suara. Suara partai besar akan terkoversi dengan adil kepada jumlah perolehan kursi. Partai-partai kecil tidak akan bisa berharap aji mumpung dengan sisa suara dari bilangan pembagi pemilih yang sudah habis di partai besar. 

Bila merujuk pada perolehan kursi tingkat provinsi pada Pileg 2014 yang lalu, 2 Dapil di Polman Golkar bisa mendapat 4 kursi, Demokrat di Mamuju dan Mamasa juga bertambah 2 kursi, artinya Golkar menjadi 11 kursi dan Demokrat menjadi 12 kursi. Dengan demikian akan ada 4 partai politik yang kehilangan kursi di 4 Dapil diatas.

Semoga Pemilu 2019 lebih demokratis, lebih adil penyelenggaranya, tidak dalam tekanan dan ancaman hukum serta tidak membawa misi tertentu sehingga demokrasi menjadi sehat. 

Daerah yang demokrasinya baik akan cepat melakukan perubahan dan mampu menggerakkan semua potensinya dan mengenyampingkan konflik. (*/Naf)

Batik air, 23 juli 2017