PKB dan Arus Balik Politik Ulama
Oleh: Munawir Arifin (Kader Muda NU Sulbar / Alumni Magister Ilmu Politik UI)
Ada yang menarik ketika kita membincang prospek Partai Politik Islam maupun Partai Politik yang memiliki basis massa Islam, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) salah satunya.
Terlebih jika meneropong PKB provinsi Sulawesi Barat yang bakal menggelar Pemilihan Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) yang baru. Siapakah yang nantinya akan memimpin PKB di Sulawesi Barat ?.
Pertanyaan di atas sudah barang tentu telah dibincang oleh sebagian kalangan atau internal PKB, bahkan menurut pemberitaan beberapa media lokal, Musyawarah Wilayah DPW PKB Sulawesi Barat yang akan dilaksanakan pekan depan di Mamuju tersebut hanya sekedar seremonial saja. Informasinya, secara internal, telah disepakati sosok Ulama sebagai pemimpin Partai yang berbasis massa NU ini, atau warga Nahdliyyin Sulawesi Barat secara khusus. Pemimpin yang dimaksud adalah KH. Muhammad Syibli Sahabuddin.
Sebagai kader muda NU Sulawesi Barat, tentu menarik untuk terus mencermati prospek dan dinamika internal Partai Politik Islam secara umum yang ada di Sulawesi Barat, terutama PKB dan Partai Politik lainnya yang terus berupaya untuk meneguhkan identitas diri dan kepartaian dalam setiap momentum politik.
Apalagi dalam setiap dinamika serta momentum pesta demokrasi yang akan dilaksanakan di Sulawesi Barat di tahun-tahun politik, 2018 dan 2019 mendatang.
Politik Ulama PKB
Sosok Ulama/Kiai dalam ranah perpolitikan Indonesia, terutama kehidupan kepartaian berbasis Islam atau lebih spesifik adalah PKB, bukanlah hal yang tabu untuk dibincangkan. Ini dikarenakan, PKB bukan hanya lahir dari para Ulama di kalangan Nahdliyyin, tetapi juga Ulama dalam strata sosial digolongkan sebagai figur elit.
Lihat saja para pendiri dan deklarator PKB secara umum yang merupakan para kyai sepuh dari kalangan NU; yaitu KH Munasir Allahilham, KH Ilyas Ruchyat Tasikmalaya, KH. Muchid Muzadi (Jember) dan KH. A. Mustofa Bisri (Rembang) dan ditambah KH. Abddurahman Wahid atau Gusdur (baca; deklarator PKB).
Baik secara historis maupun sosiologis, peran Ulama sebelum maupun sesudah bangsa ini merdeka memang sejak awal tidak dapat dilepaskan, karena sumbangsih pemikiran politik di masa-masa pergerakan dan kemerdekaan bangsa.
Walau secara internal dikalangan NU sendiri, kehadiran Ulama dalam ranah politik praktis kadang memberikan dampak dan pergeseran terhadap kharisma ataupun integritas. Ulama menjadi sosok pragmatis, atau menjadi Ulama yang konsisten terhadap pembangunan umat secara utuh di ranah pesantren. Kiranya hal tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab NU mendirikan wadah partai politik tersendiri (PKB) agar tidak terjebak dalam dunia politik praktis.
Selain itu, upaya para Ulama dalam mendirikan PKB selain dari pada menjadi wadah aspirasi warga politik Nahdliyyin, juga dalam rangka untuk terus mengawal agenda reformasi politik bangsa yang berlandaskan 'Mabadi Khaira Ummah'. Yaitu pertama, 'ash-shidqu' (benar) tidak berdusta; kedua, 'al-wafa bil ‘ahd' (menepati janji) dan ketiga 'at-ta’awun' (tolong-menolong).
Ini dikenal dengan 'mabadi khaira ummah ats-Tsalasah' (Trisila Mabadi). Sebagai kelanjutan usaha itu, pada tahun 1940, Ketua PB NU KH Machfud Shiddiq penggagas 'Mabadi' ini berkunjung ke Jepang untuk melakukan kerja sama ekonomi.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi, maka kemudian dalam Munas NU di Lampung 1992 'Mabadi Khaira Ummah Ats-Tsalatsah' itu dikembangkan lagi menjadi 'Mabadi Khaira Ummah al-Khamsah' (Pancasila Mabadi) dengan menambahkan prinsip 'adalah' (keadilan) dan 'istiqamah' (konsistensi, keteguhan).
Bahkan menurut KH Ahmad Siddiq, dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka 'mabadi' ini digunakan sebagai sarana mengembangkan masyarakat Pancasila, yaitu masyarakat sosialis religius yang dicita-citakan oleh NU dan oleh Negara (Dokumen Munas NU 1992).
Jika berdasarkan fakta di atas dan mempelajari dokumen deklarasi PKB, secara substansi dapat disimpulkan bahwa kelahiran dan kehadiran Ulama sebagai pemimpin spiritual PKB merupakan upaya secara terus menerus bagi warga NU untuk mengambil peran pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Terkhusus lagi bagi warga Nahdliyyin melalui ranah politik kepartaian dan pengambilan kebijakan setelah berhasil merebut kursi di parlemen.
Pertanyaan kemudian, sejauhmana kekuatan PKB di Sulawesi Barat setelah di pimpin oleh sosok seorang Ulama?
Menurut Greg Barton dalam 'Biografi Gus Dur', peran de facto Gus Dur sebagai pemimpin spiritual PKB merupakan hal yang membuatnya malu. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berdalih bahwa partai itu harus menjadi partai non-sektarian dan terbuka untuk semua orang, bukan hanya milik warga NU.
Gus Dur mengatakan, NU tidak punya cara lain kalau ingin mengalahkan dominasi Golkar (Greg Barton, 2003).
Masa Depan PKB Sulawesi Barat
Prediksi terhadap kepemimpinan PKB Sulawesi Barat yang informasinya bakal dinahkodai oleh seorang Kiai yaitu KH. Muh. Syibli Sahabuddin, di sisi lain merupakan angin segar bagi kalangan internal PKB Sulawesi Barat. Bukan hanya karena beliau pernah menjadi figur sentral warga NU Sulawesi Barat ketika menjadi Ketua Tanfidziyah NU Sulawesi Barat di masa lalu. Atau sosok Kyai yang memiliki beberapa jabatan keagamaan, pendidikan (Ketua Yayasan Al Asyariyah Mandar/Unasman) maupun jabatan politik, yaitu sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Perwalikan Sulawesi Barat selama dua periode berturut turut. Tetapi beliau tentunya memiliki massa ideologis (Jama’ah).
Hal ini menjadi kekuatan di tengah iklim politik dan Pemilu langsung berdasarkan 'one vote one person', di mana masyarakat cenderung melihat figuritas dibandingkan warna partai dalam memilih di setiap momentum politik.
Dalam konteks penyerapan aspirasi, suara partai Islam dengan konstituennya dan beberapa hasil penelitian, terutama terkait keberadaan partai Islam dan partai massa berbasis Islam baik secara nasional semisal, PKB, PPP, PKS, PAN, PBB, ditemukan fakta bahwa hingga saat ini partai-partai tersebut kesulitan dalam menyerap aspirasi umat Islam yang merupakan basis massa dalam setiap momentum pemilu. Fakta itu berkebalikan dengan kenyataan lainnya yang menyebut bahwa ini diisi oleh mayoritas warga muslim, sekitar 89 Persen atau sekitar 120 Juta penduduk Indonesia beragama Islam (Lili Romli, 2004).
Problem ini tentunya bukan hanya terkait respon umat Islam dalam melihat partai politik, tetapi kondisi internal partai Islam yang 'kurang laku' di mata pemilih Islam.
Ini bisa dilihat dari beberapa kali perhelatan Pemilu Legislatif. Partai-partai Islam atau partai berbasis Islam tidak mempu menjadi pemenang serta kehilangan pemilihnya dibandingkan partai yang tidak berbasis agama ataupun massa Islam semisal Demokrat, Golkar, PDI-P ataupun Gerindra.
Di tengah sistem politik dan pemilihan umum secara langsung pasca reformasi ini, tentunya harapan bagi Partai Politik untuk mendulang suara pemilih agar untuk tetap bertahan dalam panggung politik, apalagi untuk memenangkan Pemilu dan menguasai parlemen.
Sehingga modernisasi organisasi, kaderisasi yang kuat, kekuatan modal dan popularitas figur dalam Partai Politik menjadi suatu keharusan untuk dimiliki.
Dalam konteks Sulawesi Barat, keberadaan Partai Politik Islam maupun yang berbasis Islam selama beberapa kali Pemilu nyatanya belum mampu memaksimalkan infrastruktur dan mesin politik partai dalam menyerap aspirasi warga muslim yang menjadi mayoritas pemilih di Sulawesi Barat.
Sama halnya yang dihadapi oleh PKB. Apalagi mayoritas penduduk muslim di Sulawesi Barat adalah pemilih Islam tradisional dan kultural, tetapi tetap saja PKB belum mampu menjadi wadah aspirasi dan mendapatkan kepercayaan pemilih dalam setiap momentum politik.
Fakta tersebut terlihat dalam beberapa kali Pemilu baik di tahun 2009, dan 2014, PKB Sulawesi Barat belum mampu menjadi partai pemenang, apalagi sekedar mendudukkan wakilnya di kursi legislatif DPR RI yang selama ini di dominasi oleh partai Golkar dan Demokrat, serta Gerindra.
Bahkan pada Pemilu 2014 lalu, PKB hanya berada di urutan kelima perolehan jumlah suara dan gagal mendapatkan satupun dari 3 kursi DPR RI yang dimenangkan oleh Golkar, Demokrat dan Gerindra.
Lili Romli juga memperlihatkan dan menemukan fakta bahwa ketidakmampuan Partai Politik Islam maupun partai berbasis massa Islam dalam menyerap aspirasi dan mendapat dukungan dari pemilih Islam itu sendiri dikarenakan orientasi pemilih Islam tidak lagi bersifat simbolik dan formalistik. Tetapi lebih bersifat pada program/platform partai yang ada.
Sehingga di masa mendatang, PKB Sulawesi Barat diharapkan lebih mendekatkan diri dan mengarahkan program kerja partai pada basis-basis pemilihnya sendiri, yaitu kaum Nahdliyyin pedesaan dan kelompok-kelompok kultur (petani, nelayan, buruh), kelompok keagamaan dan kebudayaan. Di sanalah mayoritas pemilih dan warga Nahdliyyin berada.
Sebagaimana komitmen lahirnya PKB, yaitu sebagai embrio dalam memperjuangkan aspirasi warga NU secara khusus dan masyarakat secara umum.
Dalam Muktamar II PKB Tahun 2005, PKB mendeklarasikan dirinya sebagai Partai Advokasi, dimana PKB harus senantiasa terlibat dalam isu pemberdayaan rakyat, yang akan sangat penting dalam rangka membangun hubungan simetris antara rakyat dan penguasa.
Melalui kebijakan tersebut juga PKB bisa menarik garis persamaan antara kepentingan masyarakat perkotaan yang umumnya bukan basis pendukung partai ini, yang sering kali lebih diuntungkan oleh kebijakan negara.
Di sisi lain, masyarakat perdesaan, yang umumnya merupakan basis konstituen utama PKB yang cenderung lebih diabaikan oleh berbagai kebijakan negara atau pemerintah.
Kebijakan ini dengan sendirinya menempatkan langkah PKB dalam jalur yang sesuai dengan kepentingan sebagian besar konstituen. Bukankah warga Nahdliyyin itu mayoritas masyarakat pedesaan dan miskin?. Bukankah hak-hak mereka itulah yang harus diperjuangkan dan dibela. Sebagaimana Slogan PKB selama ini, yaitu 'Membela yang Benar' ..!
Sosok Ulama yang memimpin partai dapat saja membawa angin segar bagi PKB Sulawesi Barat. Terutama dengan kharisma dan figuritas yang dimiliki oleh KH. Muh. Syibli Sahabuddin yang dapat menjadi modal dalam memimpin juga ikut serta dalam setiap momentum dan pertarungan politik Sulawesi ke depan.
Hal ini dapat menjadi arus balik politik Ulama dalam memperjuangkan kepentingan PKB dan warga NU secara khusus.
Di sisi lain, momentum Muswil PKB Sulawesi Barat nanti dapat menjadi ujian terhadap kepemimpinan dan integritas seorang Ulama. Apalagi di tengah arus demokrasi politik hari ini yang menuntut para elit politik untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan kepentingannya ,.!.
Bukankah sepak terjang sosok Ulama sekaligus politisi ini menarik untuk dinanti…???
Wallahua’lam Bissawab…