Lebih Dekat dengan Keindahan (dan) Persoalan di Bala Balakang

BALA BALAKANG--Pagi itu, sinar matahari mulai terasa menyengat. Tak biasanya di pelabuhan Kasiwa Mamuju sebuah kapal perang bersandar (katanya) sedari subuh. Mesinnya masih bergemuruh, namun ia tetap menempel di sisi pelabuhan.
Kapal milik TNI Angkatan Laut itu rupanya bersiap mengangkut rombongan pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan pemerintah Kabupaten Mamuju untuk bergerak menuju Kepulauan Bala Balakang.
Saya adalah satu dari puluhan orang yang tergabung dalam rombongan tersebut. Tak lama setelah semua rombongan ada di kapal, kami pun bergerak, berlayar menuju wilayah perbatasan Sulawesi Barat itu.
Di atas KRI Tongkol 813 tersebut ada beberapa orang penting, ada Plt Gubernur Sulawesi Barat, Bupati Mamuju, Kapolda Sulawesi Barat, Dandim Mamuju, perwakilan dari BIN, serta beberapa pejabat eselon II lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Mamuju.
Laut yang maha luas kami belah dengan KRI Tongkol hingga tak kurang dari 4 jam sebelum sampai ke pulau Ambo; pulau pertama dari 12 pulau yang ada di kecamatan Kepulana Bala Balakang. Sekitar pukul 14.00 Wita, kapal yang kami tumpangi telah sampai di pulau Ambo.
Karena alasan tekhnis, rombongan tak bisa langsung menginjakkan kakinya di daratan pulau Ambo. Kapal yang kami tumpangi rupanya tidak bisa begitu dekat dengan pulau tersebut. Jadilah kami terpaksa menaiki kapal yang berukuran jauh lebih kecil untuk sampai ke pulau tersebut.
Satu persatu dari kami menaiki sekoci milik KRI Tongkol atau kapal nelayan pulau Ambo untuk sampai ke daratan pulau tersebut. Dan kami pun sampai di sana. Tiba di pulau Ambo, pulau yang menyimpan segudang keindahan, namun juga menyisakan banyak persoalan sosial ekonomi.
Indah memang. Dari kejauhan saja, melihat pulau Ambo, mata ini sungguh begitu dimanjakan. Daratan tak begitu luas yang berada di tengah luas birunya selat Makassar. Belum lagi hamparan pasir putih yang dengan sangat setia betah mengelilingi pulau ini. Melihat Ambo, seolah lupa garis jarak yang begitu jauh dengan daratan Sulawesi, saking indahnya.
"Daerah kita ini sangat kaya. Sangat indah. Kehidupan bawa lautnya juga begitu indah. Di sini (pulau Ambo) karangnya cukup indah, dengan ragam ikan yang juga indah-indah. Meski di sebagian besar, karangnya banyak yang rusak karena aktivitas bom ikan yang banyak dilakukan oleh masyarakat," tutur Plt Gubernur Sulawesi Barat, Carlo Brix Tewu saat ditemui setelah aktivitas diving yang ia lakoni di Pulau Ambo.
Indah memang, tapi siapa sangka, masyarakat yang mendiami pulau Ambo masih terpenjara oleh sejumlah persoalan sosial. Banyak PR yang mesti dijawab oleh para pemangku kebijakan di daerah ini agar jaminan kesejahteraan kurang lebih 500 jiwa yang mendiami puau Ambo.
Pulau Ambo (Foto/Jalan Jalan Ner)
Sebut saja soal 'hantu' abrasi yang kian menakutkan. Di pulau Ambo, abrasi memang jadi momok yang paling mengerikan. Sejak beberapa tahun silam, warga di sana telah menyuarakan peroslan itu ke para pemnagku kebijakan baik di level provinsi maupun kabupaten untuk menjawab persoalan abrasi tersebut.
Sayang seribu sayang. Sampai saat ini, belum juga ada jawaban pasti perihal problem itu. Hingga di kunjungan pemerintah daerah ke Ambo yang kembali memberi harapan soal bagaimana Abrasi itu bisa dituntaskan.
Bukan hanya abrasi saja yang disoal oleh warga pulau Ambo. Persoalan peningkatan kualitas SDM anak-anak di Ambo juga jadi masalah tersendiri. Di pulau Ambo fasilitas pendidikan terbilang masih sangat minim. Bangunan sekolah hanya tersedia SD dan SMP, dengan kondisi bangunan yang jauh dari kata memadai.
"Puskesmas di Bala Balakang juga itu cuma ada 1, cuma ada di Salissingan. Jarak dari sini cukup jauh, kami harus menempuh jarak sampai 5 jam perjalanan untuk sampai ke sana. Kalau misalnya ada yang mau dirujuk dari sini, dan harus mengambil surat rujukan ke Puskesmas, itu jaraknya sangat jauh kalau harus kembali merujuk ke Mamuju. Kalau misalnya dari Salissingan kami rujuk ke Kalimantan, nanti ada lagi provokator yang bilang kami mau bergabung dengan Kalimantan. Ini juga yang jadi kendala kami di sini Pak," ungkap salah seorang warga pulau Ambo, Dirman.
Menghabiskan semalam di pulau yang kecil nan indah itu, keesokan harinya, kami pun melanjutkan misi sosial ke satu pulau lainnya; pulau Salissingan. Masih dengan menumpang KRI Tongkol yang masih setia dengan rombongan kami. Dan, kami pun melanjutkan pelayaran menuju Salissingan, pusat pemerintahan kecamatan Kepulauan Bala Balakang.
Menempuh jarak yang nyaris sama dengan jarak Mamuju-pulau Ambo, pelan tapi pasti, kami telah bisa melihat rupa bentuk pulau Salissingan. Cara kami merapat ke Salissingan masih sama dengan yang di pulau Ambo. Kapal kami tak bisa begitu merapat ke daratan pulau, maka jadilah kami diantar dan dijemput via kapal kecil menuju Salissingan.
Pulau Salisingan via Udara (Foto/Jalan Jalan Ner)
Indahnya pun nyaris sama. Wujud Salissingan juga alamak cantiknya. Hamparan pasir putih, ditambah rindang pepohonan yang hijau kian menghibur mata dan lelahnya pikiran setelah kejenuhan perjalanan panjang di tengah laut.
Bahkan, penuturan warga di sana menyebutkan, wisatawan asal Kalimantan Timur cukup sering menghabiskan waktu santainya di pulau Salissingan. Bersantai, melupakan sekelumit rutinitas pekerjaan dengan memanjakan mata dan pikiran di pulau terdepan yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat ini.
Indah memang indah, cantik memang cantik. Tapi sama dengan yang ada di pulau Ambo, Salissingan pun tak lepas dari ragam persoalan sosial.
Pemenuhan fasilitas kesehatan dan pendidikan jadi persoalan utama bagi masyarakat yang mendiami pulau Salissingan. Bangunan sekolah yang juga terbilang miris, ditambah tenaga kesehatan yang juga masih sangat minim terus dikeluhkan oleh warga di sana.
Belum lagi isu klaim kepemilikan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur atas wilayah Kepulauan Bala Balakang juga jadi isu utama dalam kunjungan ke Salissingan.
"Separuh warga memang mau gabung ke Kalimantan, tapi cuma sebagian kecil saja," ungkap Kamaluddin saat ditemui di sela-sela kegiatannya di Salissingan.
Menurutnya, kurangnya perhatian pemerintah, baik pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, maupun pemerintah Provinsi Sulawesi Barat jadi alasan utama hingga sebagian masyarakat menginginkan untuk bergabung ke Kalimantan Timur.
"Alasannya, karena kurangnya perhatian pemerintah. Itu saja alasan utama mereka. Memang, sebagian besar aktivitas masyarakat di sini itu lebih banyak ke Kalimantan Timur, dari pada ke Mamuju karena memang jaraknya dekat," begitu katanya.
Jika dipikir-pikir, cukup masuk akal mengapa masih ada warga Salissingan lebih memilih untuk bergabung ke Kalimantan Timur. Selain karena jarak Salissingan dengan Kalimantan Timur yang jauh lebih dekat, sebagian besar aktivitas warga di sana juga dihabiskan di daerah penghasil minyak itu.
"Memang benar bahwa jarak Mamuju dengan Salissingan itu sangat jauh ketimbang ke Kalimantan. Bapak ibu boleh beraktivitas di Kalimantan, tapi camkan dalam diri bahwa bapak ibu adalah warga Sulawesi Barat. Silahkan beraktivitas di sana, karena di sana juga saudara kita. Kita masih sama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," cetus Carlo dalam kesempatannya ke Salissingan.
Kami tak sempat mengabiskan malam di pulau tersebut. Para orang penting yang bersama kami itu telah ditunggu oleh banyaknya tumpukan kesibukan di Mamuju, Sulawesi Barat.
Saat hari mulai gelap, satu per satu dari kami akhirnya meninggalkan pulau yang indah itu kembali ke KRI Tongkol dan kembali berlayar ke Mamuju. Menempuh perjalanan sekitar 8 jam lamanya kami membelah teduhnya lautan di bawah gemerlap bintang di langit selat Makassar.
Hingga saat hari mulai terang, KRI Tongkol dengan selamat mengantarkan kami ke daratan Mamuju. Pulang berlabuh di pelabuhan ferry Simboro, rombongan pun telah ditunggu oleh sejumlah kendaraan mewah berplat; para penjemput orang-orang penting dalam perjalanan menyenangkan itu.
Kami pulang dengan jutaan kesimpulan masing-masing. Tentang pulau yang indah, tentang masyarakatnya yang masih didera banyak masalah, dan tentang banyak cerita lainnya selama perjalanan ke Bala Balakang. (Naf/A)