Menilik Ruang Publik Jurgen Habermas

Wacana.info
Syarifuddin Mandegar

Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)

Jurgen Habermas salah seorang sosiolog ternama dari jejeran sosiolog yang pernah menorehkan kiprahnya dari Benua Eropa, Amerika hingga Benua asia telah memberikan sumbangsi pengetahuannya kepada umat manusia. Hanya orang-orang yang tak mencintai pengetahuan yang tak pernah memahaminya.

Tokoh seperti Jurgen Habermas ini sangat tertarik mengkaji sebuah persoalan krusial dalam kehidupan sosial yang tak asing lagi dibenak kita, teori itu adalah Ruang Publik. Habermas melukiskan bahwa ruang publik adalah suatu medium yang otonom dan sangat jauh dari hiruk-pikuk persoalan negara dan pasar. Ruang Publik tidak lahir dari rahim kekuasaan administrasi, juga tidak tercipta dari realitas politik melainkan ruang yang hidup bersama masyarakat sipil.

Ruang Publik merupakan manifestasi masyarakat sipil yang tidak memandang strata sosial golongan masyarakat. kaya ataupun miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, semua dapat mengakses ruang publik tersebut dengan bebas. Pengertian ini merupakan legalitas kodrati manusia sebagai makhluk sosial.

Yakni, makhluk yang memiliki kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijkan publik tanpa mengabaikan nilai-nilai etis yang dianutnya. Karenanya, ruang publik berperan sebagao medium interaksi sosial yang menghubungkan berbagai kepentingan indipidu maupun antar masyarakat.

Hanya saja, kendatipun Ruang Publik itu otonom, bukan berarti terlepas dari nilai-nilai etis yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dari nilai-nilai itu sehingga Habermas menekankan adanya ruang publik yang didalamnya terdapat toleransi serta saling menghormati setiap perbedaan. Pendekatan sederhananya adalah semua bentuk interaksi dalam ruang publik tidak terlepas dari pendekatan akal sehat. Sebab itu, ruang publik ikut andil dalam merawat ikatan-ikatan sosial kemasyarakatan secara kodrati.

Berkenaan dengan peran ruang publik, selain Habermas, adalah Stephen Carr dkk (1992:19) juga memberikan perhatian yang serius soal pentingnya ruang publik.

Menurutnya, terdapat tiga kualitas utama sebuah ruang publik. Yaitu : pertama, ruang publik harus reponsip yakni ruang publik dirancang dan dikelola dengan tidak mengabaikan kepentingan para penggunanya. Kedua, ruang publik juga harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan setiap penggunanya secara demokratis artinya pengguna ruang publik dapt terfasilitasi serta mendapatkan perlindungan dimana pengguna ruang publik bebas mengaktualisasi ekspresinya sepanjang tidak melanggar norma-norma yang dianut. Ketiga, ruang publik dapat memberi makna kepada penggunanya yang mencakup ikatan-ikatan emosional antara ruang tersebut dengan para penggunanya.

Habermas  dan Sthepan Carr terhadap telah mengorbankan banyak energi memusatkan perhatiannya terhadap ruang ruang publik dengan satu misi menciptakan ruang publik sebagai medium merawat interaksi sosial masyarakat. Sayangnya, Era Industrialisasi telah menggantikan kemandirian ruang publik dengan wajah modernitas yang datang membawa wabah komersialisasi lahan diatas panggung privatisasi.

Hal itu, merupakan imbas dari pertumbuhan kota yang makin sesak, hingga akhirnya ruang publik pun tak punya tempat. Tidak ada lagi ruang yang mampau diamamfaatkan oleh masyarakat untuk bertemu dan saling berbagi sebagai wadah aktualisasi kreatifitas masyarakat. demikian halnya dengan anak-anak, jika ketersediaan ruang publik cenderung digantikan oleh industrialisasi, maka mereka akan kehilangan tempat bermain. Padahal dunia anak adalah dunia bermain untuk membangun jiwa sosial mereka sejak dini. Tidak hanya itu, hilangnya ruang publik juga rentan memicu timbulnya masalah-masalah sosial ditengah masyarakat imbas dari kebersamaan dan sosialisasi yang kehilangan ruang.

Dengan demikian, bagi Habermas, menganggap bahwa ruang publik sangat besar perannya tidak hanya bagi masyarakat di pedesaan namun masyarakat perkotaan jauh lebih membutuhkan adanya ruang publik sehingga fungsi dan makna sosial kultural tidak kehilangan esensi.

Adanya privatisasi lahan telah menggerus eksistensi ruang publik bahkan eksistensinya makin termarjinalkan. Bahkan di kompleks-kompleks perumahan juga tidak memiliki ruang publik. Jangan kalangan orang tua, anak-anak pun tidak memiliki ruang bermain sehingga jangan heran jika jalanan pun satu-satunya tempat bagi mereka mengaktualisasi jiwa sosialnya sejak dini meskipun terbilang berbahaya dari lalu-lalangnya kendaraan. Hal itu pula harus menyita waktu orang tuanya untuk mengawasinya (awas kendaraan, jangan main dijalan nak nanti ditabrak motor), seruan para ibu rumah tangga dikompleks perumahan.

Mau tidak mau, sepakat atau tidak, Itulah wajah realitas perkembangan zaman, kenyataan itu harus dijalani sebagai konsekuensi sosial masyarakat yang hidup diperkotaan. seperti itulah dalih apatisme sebagian masyarakat yang sedikit kehilangan paradigma sosialnya. Tapi dalih makin memberi sinyalemen bahwa masyarakat yang kehilangan ruang publim secara perlahan kehilangan jiwa sosialnya, sebagaimana pendalih tersebut.  

Sejalan dengan Habermas, sosiolog lainya seperti Geof Eley juga memberikan pandangan beranggapan bahwa penyediaan ruang publik tidak hanya diperuntukkan pada kalangan masyarakat elit padahal  masyarakat ekonomi lemah juga adalah bagian dari tatanan kehidupan sosial yang memiliki hak untuk mendapatkan akses ruang publik.

Menurut Geof bagaimana mungkin kita bisa menjeneralisasi corak ideal ruang publik kalau sedari awal kemunculannya ia ekslusif dan partikulistik. Eley mengidealisasi keberadaan ruang publik tidak hanya bagi kalangan masyarakat menengah keatas saja, namun juga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa ada diskriminasi dan pembedaan strata sosial.

Demikian halnya dengan Nancy Fraser. Menurutnya penyediaan ruang publik memerlukan kajian lebih dalam tentang berbagai aspek atas keberadaan ruang publik, dimana ruang publik tidak cukup hanya mengakui kemajukan persaingan publik akan tetapi yang terpenting adalah kita juga perlu menyusun konsep ruang publik yang benar-benar faktual yang jauh ketimpangan pada struktur sosial.

Kedua tokoh ini Eley dan Nancy ini sesungguhnya tidaklah menggugurkan teori Habermas namun teori yang mereka bangun itu semakin memperkuat pentingya ruang publik ditengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Tujuanya, tidak lain untuk merawat ikatan-ikatan sosial dan mempersempit kesenjangan sosial, dimana ruang publik tidak hanya milik golongan ekonomi keatas melainkan ruang publik dapat diakses oleh seluruh kalangan. (*)